Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka Bukan Kejar-kejaran Biasa

Permainan TAGnRUN tengah tren di kalangan anak muda. Kompetisi kejar-kejaran ini diadakan sejak awal tahun.

13 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • TAGnRUN menjadi ajang kejar-kejaran pertama yang diadakan secara profesional.

  • TAGnRUN membangkitkan memori masa kecil akan permainan tradisional.

  • Permainan terbuka untuk berbagai penghobi olahraga.

Empat pemuda mengenakan kaus merah tengah berolahraga di area workout Taman Menteng pada Rabu malam, 9 Agustus lalu. Ada yang sedang pull-up, sit-up, dan lari jarak pendek. Hampir satu bulan ini, mereka rutin berkumpul dua pekan sekali untuk olah tubuh. "Full all out. Dari sprint, naik ke obstacle tembok-tembok, hingga latihan strength di pull-up bar," kata Nasafi Pramunuha, salah satu pemuda itu, saat ditemui Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegiatan ini bukan sekadar menjaga kebugaran. Nuha—demikian pria itu akrab disapa—bersama Bukhori Ahya, Andriyansyah, dan Muhammad Naufal Ismail tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti babak final kompetisi TAGnRUN yang dilangsungkan pada November mendatang. Keempatnya tergabung dalam satu tim bernama Track Movement 2.0.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAGnRUN merupakan permainan kejar-kejaran yang diadakan Indo Chase Tags, promotor acara olahraga. Ajang ini bisa dibilang kejar-kejaran pertama yang diselenggarakan secara profesional, mengadopsi permainan tag dari Amerika Serikat. 

Kejuaraan dunianya, World Chase Tag, sempat booming pada 2020. Nuha mengaku cukup sering menyaksikan laga kejar-kejaran itu dari tayangan YouTube. "Full isinya World Chase Tag. Karena mungkin enggak ada lagi tontonan. Terus mikir, kayaknya seru nih main kayak gini," katanya.

Ndilalah, keinginan Nuha yang muncul selintas itu justru terwujud. Pertandingan perdana TAGnRUN diawali dengan babak kualifikasi pada 28-29 Januari lalu. Nuha menjadi salah satu pesertanya. Ia segera mendaftar begitu mendapat informasi dari sebuah grup WhatsApp.

Pemain TAGnRUN Nasafi Pramunuha dalam sesi latihan di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Menteng, Menteng, Jakarta, 9 Agustus 2023. TEMPO/ Nita Dian

Adapun Naufal Ismail mengetahuinya dari akun di Instagram. Kebetulan, lingkup pertemanannya kebanyakan pemain parkour. World Chase Tag merupakan kompetisi kejar-kejaran yang mensyaratkan pesertanya harus atlet parkour. Hanya di Indonesia kompetisinya terbuka untuk semua kalangan.

Persaingannya antarkelompok yang dibagi ke beberapa grup. Namun tak semua peserta yang mendaftar sudah punya tim. Nuha berkongsi dengan Andri dan Ismail karena dibentuk panitia. "Kalau pendaftaran harus lima orang, saya enggak tahu siapa yang mau diajak. Nyari dua orang saja susah," Nuha berujar. Saat itu, nama timnya Track. Sebetulnya, satu kelompok minimal lima anggota. Karena dua orang tidak hadir, Track hanya diisi tiga pemain.

Untuk memenangi pertandingan, tim harus meraih 11 poin. Maka, probabilitas jumlah permainan bisa mencapai maksimal 21 kali. Dengan jumlah anggota yang minim, Nuha dkk kewalahan menghadapi lawan yang full team. Mereka pun kalah. 

Kesempatan tampil dalam kompetisi itu datang kembali. Nuha mendapat undangan dari panitia untuk berkompetisi di babak kualifikasi kedua pada awal Juli lalu. Syaratnya, ia harus mencari dua peserta tambahan dan mengganti nama tim. Akhirnya, ia mengajak teman kerjanya, Khori (Bukhori Ahya) dan Achmad Qayyim.

Kesempatan kedua itu tak disia-siakan. Tim barunya yang kini bernama Track Movement 2.0 berhasil menjadi juara Grup C. Padahal, dalam pertandingan penentuan, posisi tim sedang tidak menguntungkan. Mereka dalam posisi sebagai runner atau pihak yang akan dikejar. 

Ditambah arena bermain yang terbatas, hanya berukuran 10 x 10 meter dan diberi halang rintang. "Lari ke mana pasti kena. Makanya harus benar-benar lincah dan turun ke bawah, naik ke mana," ujar Nuha. "Tapi alhamdulillah kami bisa menang. Modal bismillah."

Pemaian TAGnRUN Andriyansyah (kiri) berkompetisi TAGnRUN di Cilandak Town Square, Jakarta, 28 Januari 2023. Dok. Indo Chase Tags (ICT)

Pada November nanti, mereka akan tampil di babak 16 besar dan bersaing dengan para juara grup lainnya untuk merebut takhta juara utama. Karena itu, Nuha dkk kini rutin berlatih, mempelajari teknik pernapasan, dan menyiapkan strategi.

Selain membekali diri agar menang, latihan ini dilakukan untuk meminimalkan cedera. Nuha dan Ismail menyebutkan cedera yang paling umum adalah lecet-lecet, tulang kering terbentur, ataupun kepala terantuk tiang obstacle. "Karena ada kondisi di mana harus turun ngolong. Kepentok kepalanya," ujar Ismail.

Nuha pernah mengalami cedera pergelangan kaki saat bermain di babak kualifikasi pertama. Sementara itu, Andri dan Khori mengalami otot kaku. Tapi kondisi itu baru dirasakan beberapa hari selepas bertanding. Khori sampai kesakitan saat kaki kanannya dipakai untuk jalan. 

Meski ada risiko tersendiri, mereka tak kapok. Pasalnya, Andri merasakan latihan rutin ini membuat staminanya meningkat. Khori juga merasa lebih segar dan jarang pegal-pegal. Sedangkan Ismail jadi punya kesempatan untuk rutin berolahraga.

Selain itu, permainan TAGnRUN membangkitkan memori masa kecil. Menurut Nuha dan Ismail, TAGnRUN mirip permainan polisi kejar maling atau kucing-kucingan. Adapun Andri menyebutnya seperti galah asin. 

Promotor TAGnRUN, Roberto Olawan Christian, mengatakan pada dasarnya kompetisi ini mirip permainan tradisional Indonesia. Namun pihaknya mengadopsi permainan ini dari kejuaraan dunia World Chase Tag. Bedanya, WCT khusus dimainkan atlet parkour. Sedangkan di Indonesia, TAGnRUN terbuka untuk semua bidang olahraga. 

Di babak kualifikasi pertama, peserta turut diramaikan oleh kalangan pemain parkour. "Tapi itu hanya 15 persen. Yang lain ada basket, futsal, runner, atau jujitsu. Sepeda pun ada," kata Roberto.

Pemain TAGnRUN dari tim Track Movement 2.0 Andriyansyah (kiri), Bukhori Ahya dan Nasafi Pramunuha dalam sesi latihan di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Menteng, Menteng, Jakarta, 9 Agustus 2023. TEMPO/ Nita Dian

Agar lebih ramah untuk berbagai kalangan, rintangannya juga dimodifikasi lebih sederhana. Seperti meja-meja setinggi pinggang orang dewasa, lalu disusun memanjang atau bertingkat. Walhasil, pemainnya cukup melewati kolong atau melompat.

Walau permainan ini terlihat sederhana, Andri, yang hobi bermain basket, menilai TAGnRUN cukup sulit. Saat turun ke arena, ia kerap membayangkan dirinya sedang bermain basket. Misalnya, saat menjadi runner, ia mengandaikan bola basketnya sedang direbut. Ketika menjadi tagger, ia membayangkan dirinya harus merebut bola lawan.

Lain lagi dengan Khori yang pernah menjadi atlet lari dan senam lantai semasa sekolah. Saat bermain TAGnRUN, ia justru merasa percaya diri dengan kecepatan dan kelenturan saat menjadi tagger. Apalagi ia juga rutin bermain futsal, yang membuatnya mampu mengatur napas agar tidak mudah lelah.

Tak mengherankan, peluang kemenangannya ketika menjadi pengejar bisa mencapai 100 persen. Adapun ketika menjadi runner, Khori mengaku mudah panik saat dikejar. "Kalau jadi runner, banyak yang missed," ujar pemuda berusia 21 tahun itu.

Ismail, yang bermain parkour sejak SMP, juga mengaku terbantu oleh skill-nya dalam kompetisi TAGnRUN. Terlebih saat melewati rintangan. Namun, karena sudah lama tak berlatih, laki-laki berusia 27 tahun itu merasa kurang seimbang dan kecepatannya juga tak sebaik anggota timnya.

Pemain TAGnRUN Muhammad Aries Fadillah berpose di area parkour di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Puring, Kebayoran Baru, Jakarta, 10 Agustus 2023. TEMPO/ Nita Dian

Menguasai teknik parkour saja belum tentu menjadi juara. Muhammad Aris Fadillah, misalnya, yang gemar bermain parkour sejak SMP, kalah pada babak kualifikasi pertama TAGnRUN, Januari lalu.

Pemuda yang bergabung dengan tim Bajigur itu tak menampik bahwa keahliannya dalam parkour memudahkannya dalam melewati rintangan. Apalagi obstacle di arena TAGnRUN lebih mudah karena banyak peluang untuk dilalui. "Jadi, bisa lebih bebas," kata dia.

Adapun kekalahan yang dialaminya, menurut Aris, lebih pada soal teknis, yaitu penilaian wasit dan rekaman kamera yang bertentangan. Namun akhirnya keputusan wasit memenangkan lawannya.

Roberto mengatakan konflik yang dialami Aris memang umum terjadi saat pertandingan. Ada yang merasa sudah mengenai lawan, tapi di satu sisi merasa tidak begitu. "Kami ikuti keputusan wasit." 

FRISKI RIANA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus