Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Gelinding Gengsi Si Seli

Sepeda lipat seharga puluhan hingga ratusan juta rupiah menjadi kesenangan baru sebagian kalangan berduit. Bukan sekadar sarana olah raga.

9 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekitar 50 orang berpakaian serba hitam memadati ruangan sebuah kafe mungil di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan, Jumat malam dua pekan lalu. Ibarat anggota sekte yang hendak melakukan ritual, mereka duduk dengan khidmat pada deretan kursi yang memanjang di kedua sisi ruangan. Perhatian mereka terpusat ke bagian tengah kafe.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sana terpajang benda yang kehadirannya ditunggu hadirin pada malam itu: tiga unit sepeda. "Inilah Flyte dan XTB, produk baru plus limited edition buatan Moulton," kata Tjandra Kisnata, tuan rumah malam itu, menunjuk ke sepeda yang dipajang. Buru-buru Tjandra menambahkan, sepeda tipe XTB yang ia tunjuk sudah ada pemiliknya. "Jadi, kalau bapak-ibu mau punya, harus bersabar dulu, tunggu kiriman dari Inggris, entah kapan." Mendengar informasi itu, beberapa tamu tampak kecewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Minat konsumen untuk memiliki sepeda asal Inggris itu, kata Tjandra, cukup tinggi. Tapi pendiri toko sepeda Spin Warriors di BSD, Tangerang Selatan, itu tak berani berjanji kapan produk serupa akan tersedia. Padahal Tjandra sudah ditunjuk menjadi distributor tunggal Moulton di Indonesia. "Soalnya, sepeda ini buatan tangan. Produksinya sangat terbatas."

Jumlah yang sedikit ditambah prestise pada merek sepeda itu membuat banderol satu unit Moulton sangat fantastis. Harga untuk tipe XTB yang baru diperkenalkan Tjandra, misalnya, bisa mencapai Rp 80 juta. Dan itu bukanlah tipe termahal yang dimiliki Moulton. "Yang paling mahal tipe Double Pylon. Rangkanya terbuat dari baja untuk pesawat terbang. Harganya sekitar Rp 340 juta." Di Indonesia, kata dia, pemilik sepeda termahal itu ada empat orang.

Puluhan orang berpakaian serba hitam yang menjadi tamu Tjandra malam itu adalah separuh dari pemilik dan kolektor Moulton di Tanah Air. Tak sedikit dari mereka yang punya lebih dari satu sepeda tersebut. Sebelum ada distributor resmi, para kolektor ini membeli produk Moulton langsung dari luar negeri. "Paling dekat dari Singapura atau Hong Kong," kata Ketua Moulton Bicycle Club Indonesia (MBCI), Irwanto.

Selain eksklusivitas, kelebihan sepeda Moulton yang disukai para kolektor adalah desain dan performanya. "Dibanding merek lain, sepeda ini memang sangat enak dikendarai," Irwanto menjelaskan. Secara bentuk, sepeda ciptaan insinyur Inggris, Alex Moulton, pada 1962 itu sebetulnya agak aneh. Ukuran rodanya kecil, 17 atau 20 inci. Sedangkan roda sepeda biasa berukuran 26 inci. Bentuk rangkanya pun banyak dibilang mirip menara listrik "sutet" karena berupa batang besi yang saling menyilang.

Namun Moulton unggul dalam hal kenyamanan. Bobotnya tak sampai 15 kilogram. Rangkanya pun bisa dilepaskan dan dilipat jika disimpan atau dibawa untuk bepergian. Sepeda ini juga dilengkapi dengan sistem suspensi yang disebut flexitor, yang membuat sepeda terasa empuk saat melaju di jalanan kasar. "Buat saya, faktor kenyamanan ini yang paling penting," kata Agus Rudianto, 61 tahun, salah seorang anggota MBCI.

Adapun menurut Irwanto, yang juga menjabat Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional, rata-rata pemilik Moulton adalah mereka yang sudah "khatam" segala jenis sepeda. "Ini semacam level paling topnya-lah." Tipe Moulton yang dimiliki polisi berpangkat brigadir jenderal itu adalah AM Speed keluaran 1964. Memang bukan yang paling mahal, bahkan usianya sudah tua. "Tapi masih enak dibawa ngebut." Setiap ada waktu luang, biasanya pada akhir pekan, Irwanto meng-gowes sepedanya itu bersama rekan-rekannya di MBCI.

Memanfaatkan waktu di sela kesibukan pekerjaan untuk gowes juga kerap dilakoni Direktur Utama PT Pelni (Persero) Insan Purwarisya L. Tobing. Sudah tiga tahun terakhir, pria kelahiran 1965 ini membawa-bawa sepeda lipat merek Brompton kala bepergian. "Setiap hari, sepeda saya simpan di mobil. Pas ke luar kota, kalau memungkinkan, saya bawa juga," ujar Insan kepada Tempo, Rabu lalu. Ia memilih merek ini karena kepraktisannya.

Sama seperti Moulton, Brompton adalah merek sepeda asal Inggris. Sementara Moulton lebih pantas dijuluki sepeda bongkar-pasang (knock-down), para pengguna Brompton kerap dengan bangga memuji merek ini sebagai sepeda lipat (seli) terbaik. Berbeda dengan merek sepeda lain yang mengeluarkan banyak varian dan model sepeda, sejak pertama kali didirikan, Brompton hanya punya satu model sepeda. Variasi yang ditawarkan kepada konsumen hanyalah material rangka, warna cat, konfigurasi transmisi, dan bentuk setang. Hal itu membuat rentang harga Brompton cukup panjang, dari Rp 25 juta hingga di atas Rp 80 juta.

Fitur utama sepeda ciptaan Andrew Ritchie pada 1976 itu memang punya dimensi yang kompak ketika dilipat, tak lebih besar dari koper ukuran L. Bobotnya juga ringan, sekitar 12 kilogram. Pada rangkanya terdapat roda kecil yang membuat sepeda ini bisa digeret atau didorong dalam kondisi terlipat. Hanya butuh waktu 15-20 detik untuk melipat ataupun membuka sepeda ini.

Insan menyatakan sangat terbantu oleh aneka kelebihan Brompton itu. Salah satunya saat ia terjebak macet di jalanan. Sebetulnya, sehari-hari, Insan, yang tinggal di Jakarta Timur, diantar-jemput oleh sopir. Tapi sering kali kondisi lalu lintas memaksa dia mengeluarkan sepeda dari mobilnya dan ngegowes menuju kantornya di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Berkat kebiasaan itu, ia jarang datang terlambat. "Sampai kantor tinggal mandi, ganti baju, segar lagi."

Tanpa mau menyebut jumlah koleksinya, Insan mengaku memiliki beberapa unit Brompton. Tapi salah satu tipe favoritnya adalah Brompton CHPT3. Ini merupakan edisi khusus Brompton yang diklaim paling ringan dan ringkas. Harganya di atas Rp 50 juta. Ihwal kegemaran mengoleksi sepeda ini, Insan punya analogi. "Sama kayak pemakai handphone, pas keluar model baru pasti ingin ganti. Brompton juga begitu," ujar dia seraya tertawa.

Hobi Insan ini rupanya menular kepada koleganya. Di Pelni setidaknya ada lima orang yang ikut menggunakan Brompton gara-gara Insan. "Kayak virus, hobi gowes ini cepat sekali menular ke teman-teman, ha-ha-ha..." Berkat hobi ini pula, Insan dan pejabat lain di Pelni mendapatkan ide untuk mengembangkan bisnis perusahaan. "Kami tengah mengembangkan program wisata Jelajah Nusantara menggunakan kapal Pelni. Salah satu target penggunanya adalah komunitas pesepeda."

Salah seorang pesepeda yang pernah mengikuti tur memakai kapal Pelni adalah Hendri Kesuma, 56 tahun. Pengusaha yang tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan, itu bercerita pernah berlayar ke Kepulauan Karimun Jawa pada 2018. "Di sana kami gowes ramai-ramai berkeliling pulau." Sama seperti Insan, Hendri juga menggemari sepeda Brompton. Dia punya tiga unit sepeda lipat merek itu yang kerap ia gunakan untuk berjalan-jalan bersama istrinya.

Jarak tempuh dan jam terbang Hendri "ber-Brompton" sudah lumayan tinggi. Ia pernah beberapa kali membawa sepedanya berkeliling Eropa dan beberapa negara di Asia. Untuk menyalurkan hobi jalan-jalan sambil bersepeda itu, Hendri membentuk komunitas Brompit yang beranggotakan teman-temannya sesama pemakai Brompton. Jika tak ke luar negeri, komunitas beranggotakan 65 orang itu menggelar acara gowes bersama di luar kota.

Sengaja membawa sepeda saat tugas ke luar negeri juga kerap dilakukan Wakil Kepala Polisi Daerah Metro Jaya Brigadir Jenderal Wahyu Hadiningrat. Saat ada tugas ke San Francisco dan Dallas, Amerika Serikat tahun lalu, ia menyempatkan diri menggowes Brompton-nya. "Selepas subuh saat orang-orang masih terlelap, saya sudah muterin kota."

Wahyu mengenal Brompton gara-gara diracuni salah satu sahabatnya. Awalnya ia sempat ragu akan kemampuan sepeda mungil ini. "Ternyata sepeda ini sangat stabil." Sekarang ia justru jatuh cinta pada sepeda ini. Brompton kepunyaan Wahyu berjenis nickel titanium yang sangat ringan.

Sewaktu masih bertugas di Badan Intelijen Negara ia menjadikan sepeda ini sebagai kendaraan menuju kantornya. Lima hari dalam seminggu Wahyu bike to work dari rumahnya di kawasan Mayestik, Kebayoran Baru, ke kantornya di Kalibata.

Meski dirancang sebagai sepeda perkotaan, sebagian pemilik Brompton ada yang menggunakan sepedanya secara ekstrem: dipakai touring dengan jarak ratusan kilometer dengan membawa banyak barang bawaan. Seperti yang sering dilakukan pasangan Tony Hartawan dan Camelia Anastasia. Sejoli asal Jakarta itu punya sepasang Brompton yang sudah melanglang buana dari Hong Kong, Singapura, hingga tempat-tempat eksotis di Tanah Air.

Salah satu perjalanan jarak jauh yang pernah dilakukan suami-istri itu adalah mengelilingi Pulau Lombok dari Senggigi, Sembalun, hingga wilayah Praya. Mereka menghabiskan waktu selama empat hari untuk melakukan perjalanan dengan medan jalanan penuh tanjakan dan turunan.

Untuk menunjang hobi itu, Tony dan istrinya melakukan modifikasi pada sepeda yang mereka beli pada 2012 tersebut. Aneka percobaan mereka lakukan, seperti mengganti gir depan (crankset) dan menggerinda rangka agar bisa menambahkan gir di bagian belakang sepeda. "Gue ingin memaksimalkan kemampuan sepeda ini."

Sering gowes blusukan ke luar kota dan daerah terpencil, Tony melakukan trik sederhana untuk menjaga keamanan sepeda kesayanganya itu. Caranya adalah dengan menghilangkan semua identitas "Brompton" yang menempel di sepedanya. "Gue justru enggak mau kelihatan mereknya." Menurut dia, cara itu bisa mengurangi niat jahat dari orang yang melihat sepedanya. "Apalagi kalau pas gue ke tempat yang jauh dari mana-mana." PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus