Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berdialog, Bukan Balas Dendam

Pengusutan kasus pembunuhan terhadap Kepala BIN Daerah Papua, Brigadir Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, sepatutnya dilakukan untuk menegakkan hak asasi manusia, bukan karena balas dendam.

28 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah diminta tidak mengabaikan hak asasi manusia dalam menyelesaikan konflik di Papua.

  • Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta pengusutan kasus pembunuhan terhadap Kepala BIN Daerah Papua, Brigadir Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, oleh kelompok bersenjata dilakukan tuntas untuk menegak

  • Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus mengawasi upaya penegakan hukum dengan memastikan agar warga sipil tak bersalah di wilayah itu terlindungi dengan baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Aktivis gereja dan hak asasi manusia meminta pemerintah tidak mengabaikan hak asasi manusia dalam menyelesaikan konflik di Papua. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta pengusutan kasus pembunuhan terhadap Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Papua, Brigadir Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, oleh kelompok bersenjata dilakukan tuntas untuk menegakkan hak asasi manusia, bukan karena balas dendam.

Pejabat Hubungan Masyarakat PGI, Philip Situmorang, mengatakan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus mengawasi upaya penegakan hukum oleh anak buahnya dengan memastikan agar warga sipil di wilayah itu terlindungi. Ia juga meminta agar pengembangan tata kelola kebijakan keamanan di Papua berjalan humanis dan mengedepankan pendekatan budaya.

Menurut Philip, pendekatan keamanan yang represif akan meningkatkan teror, ketakutan, dan semakin menggali luka lama Papua. “Ini sekaligus mempertebal memoria passionis (ingatan-ingatan tentang penderitaan) bagi generasi Papua masa depan," ujar Philip, kemarin.

PGI juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meningkatkan pemantauan terhadap potensi pelanggaran HAM dalam kasus kekerasan yang terjadi di Beoga dan seluruh Papua. Philip menuturkan, masyarakat Papua berhak mendapat ketenangan dan kenyamanan hidup yang dijamin undang-undang.

PGI mendorong Presiden Joko Widodo membuka ruang bagi berlangsungnya dialog Jakarta-Papua dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat Papua. PGI berpendapat bahwa inilah pilihan jalan yang bermartabat bagi penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh dalam koridor kebangsaan.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan lembaganya tidak menoleransi tindakan kekerasan, siapa pun pelakunya. Komnas HAM mengecam kekerasan itu dan meminta pemerintah melakukan penegakan hukum yang terukur dengan meminimalkan resiko pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut Beka, Papua memiliki persoalan yang sangat kompleks. Pendekatan keamanan dan infrastruktur yang selama ini dijalankan pemerintah belum menjawab soal ketidakadilan, penyelesaian pelanggaran HAM berat, dan keberlanjutan hidup. Pendekatan itu juga tak menjadi solusi atas ketimpangan dan tidak memenuhi hak-hak mendasar masyarakat Papua, termasuk kebebasan berpendapat.

Beka mengatakan pemerintah perlu segera melakukan pendekatan sosial-budaya. Harus ada lembaga yang dipercaya dan tokoh nasional yang relatif dipercaya oleh masyarakat Papua yang memulai dialog. "Untuk membangun kepercayaan bahwa pemerintah serius menyelesaikan problem di Papua," kata dia.

Sejumlah prajurit Kopassus bersiap mengusung jenazah Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua Mayjen Anumerta I Gusti Putu Danny Karya Nugraha untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, 27 April 2021. ANTARA/Muhammad Adimaja

Peristiwa kekerasan dengan korban jiwa di Papua meningkat dalam beberapa hari terakhir. Kepala BIN Daerah Papua Mayor Jenderal TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha menjadi korban penembakan kelompok bersenjata saat mengobservasi Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Ahad lalu. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang dipimpin Lekagak Telenggen mengaku sebagai pelaku.

Kemarin, kelompok yang sama diduga melakukan kontak tembak dengan pasukan TNI-Polri di sekitar markas Lumawi, Kampung Makki, Distrik Ilaga Utara, Kabupaten Puncak. Dalam peristiwa itu, tiga personel Brimob terkena tembakan. Satu di antaranya, Bharada Komang, meninggal.

Presiden Joko Widodo memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri mengejar dan menangkap seluruh anggota kelompok bersenjata di Papua. "Saya tegaskan, tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata, baik di tanah Papua maupun di seluruh pelosok Tanah Air," ujarnya.

Ketua MPR Bambang Soesatyo bahkan meminta aparat menurunkan kekuatan penuh dalam menumpas kelompok bersenjata di Papua dan menomorduakan aspek lain. "Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian," kata Bambang.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan respons Ketua MPR justru akan memicu kekerasan dan kompleksitas konflik di Papua. Dengan berkembangnya spiral kekerasan ini, ancaman jatuhnya korban jiwa makin besar. "Pelbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil, semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di tanah Papua," kata Ikhsan.

Ketimbang meletakkan HAM sebagai urusan belakangan, Ikhsan menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan halus dalam bentuk negosiasi. Terlebih, para aktor yang terlibat masih dapat dijumpai. "Yang dilakukan terhadap GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh seharusnya dapat menjadi pembelajaran," kata dia.

Ikhsan mengingatkan negosiasi pemerintah dalam meluluhkan kombatan GAM terbukti sukses dengan ditandai penyerahan diri pemimpin kelompok itu, Din Minimi, yang kemudian diikuti 120 anak buahnya. Dengan strategi itu, penyelesaian konflik dapat dilakukan tanpa memakan korban jiwa lagi, terutama dari masyarakat sipil.

Dalam penyelesaian konflik di Papua, Setara mendesak kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan penghentian permusuhan agar dialog mencari jalan damai dapat dilakukan. Selanjutnya, baru mengedepankan penegakan hukum. “Upaya perlu dilakukan untuk mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana penyelesaian, ataupun pemecah masalah keamanan,” kata Ikhsan.

FRISKI RIANA | AVIT HIDAYAT | MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus