Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gerobak Kayuh Street Coffee Yogyakarta

Pedagang kopi di dekat Stadion Maguwoharjo, Yogyakarta, menjual dagangannya dengan konsep street coffee. Ia merestorasi gerobak bekas penjual dawet untuk menjajakan aneka minuman.

19 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penjual kopi di dekat Stadion Maguwoharjo, Yogyakarta, memilih konsep street coffee dalam menjual dagangannya.

  • Ia memodifikasi gerobak bekas penjual dawet untuk menjajakan aneka minuman.

  • Street coffee membuat penjual gampang mengenalkan kopi kepada masyarakat.

YOGYAKARTA Awan mendung menggantung di langit kawasan jalan menuju Stadion Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarum jam sudah melewati angka lima ketika tiga pemuda menghentikan sepeda motornya di tepi jalan. Mereka menyapa Trisna Indira Gandhi, 23 tahun, pemilik gerobak kopi kayuh “3 INDIGA COFFEE” yang mangkal di sana. Nama usaha kopinya diambil dari singkatan nama pemilikya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Masih lama (bukanya), Mas?” tanya pemuda itu pada sore 10 Maret lalu. “Masih. Sebenarnya tutup jam enam sore. Tapi cuaca bagus bisa lanjut,” jawab Gandhi—panggilan akrab Indira Gandhi. Bahkan, ketika cuaca cerah, paling telat pukul sepuluh malam, Gandhi mulai bergegas pulang. Dan esok hari pukul sembilan pagi, ia mulai berjualan lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gandhi pun menyodorkan daftar menu yang tertulis pada papan kayu berbentuk talenan. Ada tiga varian menu yang disajikan. Ada mix yang meliputi aneka latte, seperti capuccino, mocca, hazelnut, caramel latte, vanilla latte, dan strawberry latte. Varian menu ini disajikan bagi pelanggan yang tak suka kopi rasa pahit atau asam.

Ada juga menu filter, berupa aneka kopi hitam, seperti Americano, Japanese, Vietnam, long black, dan tubruk. Ia pun menyediakan menu non-kopi, seperti aneka cokelat, red velvet, dan teh tarik. Harganya beragam, mulai Rp 10 ribu hingga Rp 16 ribu. Gandhi menyajikannya dalam cup kopi dari kertas atau plastik, sehingga bisa dibawa pulang. Hanya beberapa cangkir beling yang disediakan. “Karena konsepnya street coffee. Jadi, rata-rata pembeli terus pergi,” kata barista asal Riau itu. “Karena pembeli punya kesukaan masing-masing, meskipun sesama penyuka kopi,” kata Gandhi.

Gandhi menyatakan tak semua pembeli penyuka kopi hitam. Sebab, kopi hitam identik dengan rasa pahit. Sedangkan menyeduh kopi yang benar adalah tanpa gula. Di situlah Gandhi mencoba meluruskan. Bahwa tak semua kopi itu pahit. Kopi juga punya beragam jenis. Penyuka pahit bisa memilih kopi robusta. Orang yang tak suka pahit bisa menyeduh kopi arabika yang cenderung asam. Atau kopi excelsa yang berasa fruity. “Kalau enggak suka kopi hitam, saya usulkan untuk kopi latte,” kata Gandhi. Kopi latte diseduh dari kopi jenis robusta yang diberi campuran susu. Tetap tak ada gula yang disajikan.

Sebenarnya, belum lama Gandhi menekuni kopi berkonsep jalanan ini. Tepatnya pada 17 Agustus 2020, dia mulai mangkal di jalan berjarak sekitar 500 meter dari stadion. Lokasinya menyendiri dari penjual-penjual lain yang lebih memilih berkumpul di depan stadion. Pemilihan lokasi di pinggir jalan berlatar kebun pohon sengon itu pun ada alasan tersendiri bagi Gandhi. “Di sana terlalu padat (penjual). Lapaknya sudah ada sendiri dan sewa,” kata Gandhi.

Street coffee 3 Indiga Coffee berupa gerobak kayuh yang mangkal di jalan menuju Stadion Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY, 19 Maret 2022, TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Pemilihan konsep street coffee pun, Gandhi punya cerita. Bermula pada masa pandemi Covid-19 awal yang mengharuskan pelajar sekolah dan karyawan perkantoran lebih banyak bekerja dari rumah. Bahkan sejumlah perkampungan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta pun ditutup. Gandhi, yang tengah kuliah D-1 Sekolah Kuliner Budi Mulia Dua di Sleman, merasa bosan di rumah kos. “Saya tidak bisa berdiam lama tanpa aktivitas,” kata Gandhi.

Kebetulan dia melihat gerobak bekas jualan dawet yang mangkrak. Ditawarlah harga gerobak yang memang dijual itu. Dari harga Rp 900 ribu hingga disepakati Rp 850 ribu, Gandhi bisa membawa pulang gerobak. Dalam benaknya sudah terpikir untuk menjadikan gerobak dawet itu untuk jualan kopi di jalan.

Lantaran desain gerobak kopi berbeda dengan gerobak dawet, Gandhi langsung merestorasinya. Pertama kali, gerobak dibawa ke tukang las untuk membuat atap dengan kerangka besi. Kemudian dibawa ke tukang kayu untuk membuatkan meja bar mini versi gerobak sesuai dengan desain yang dibuat Gandhi.

Dilihat dari penampakannya, gerobak cukup efektif. Bagian gerobak yang menjadi mini bar berada di depan. Di atas gerobak yang terbuat dari kayu jati belanda itu diletakkan aneka alat seduh manual brew yang dimiliki Gandhi. Mulai dari Vietnam drip, chemex, V-60, aeropress, rok presso, serta grinder listrik dan manual. “Listriknya tinggal nyolok. Bayar Rp 50 ribu per bulan,” kata Gandhi, menunjuk kabel panjang yang memanjang dari arah stadion.

Alat-alat kopi itu tak sekadar digunakan, tapi juga sekaligus dipajang untuk hiasan. Dia harus merogoh isi kocek cukup dalam untuk membeli alat-alat seduh kopi itu melalui toko online. Total Rp 10 juta. Sebagian alat kopi sudah dimilikinya sejak masa SMA. Pada masa itu, Gandhi sudah mulai mengumpulkan alat-alat seduh kopi. “Jadi, memang sudah suka main di kopi. Saya belajar barista otodidak,” kata Gandhi, yang kini sudah lulus kuliah.

Adapun biji-biji kopi disimpan dalam pouch terpisah, bukan dalam stoples-stoples kaca agar tak makan tempat. Ada delapan varian kopi yang rata-rata dari Sumatera, seperti kopi Gayo, Aceh; kopi Mandailing, Sumatera Utara; kopi Lereng Kaba, Bengkulu; dan kopi Solok, Sumatera Barat. Ada juga kopi Temanggung, Jawa Tengah.

Mini bar itu juga dibuat seringkas mungkin dengan banyak laci untuk menyimpan barang. Gandhi juga memasang kotak kecil di sisi kiri mini bar untuk menampung ampas kopi. Kemudian pada sisi kanan ada laci besar untuk tempat kompor kecil menjerang air. Apabila tak digunakan, laci itu disorong ke dalam. Di sisi kanan laci itu adalah tempat sadel sepeda. Di belakang sadel ada boks kayu untuk meletakkan aneka perkakas juga. “Total sekitar Rp 3 juta habis untuk reparasi,” kata Gandhi.

Street coffee 3 Indiga Coffee berupa gerobak kayuh yang mangkal di jalan menuju Stadion Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY, 19 Maret 2022, TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Dengan konsep gerobak kayuh itu, dia merasa nyaman ketimbang saat mengoperasikan dengan sepeda motor. Sebab, saat menggunakan sepeda motor, dia harus bongkar-pasang gerobak ketika mengisi bensin maupun saat persiapan jualan dan setelah pulang. Payung yang digunakan pun payung besar bulat yang riskan terlepas saat ada tiupan angin kencang.

Berbeda dengan konsep sepeda kayuh, ketika gerobak dan sepeda menjadi satu. Begitupun atap gerobak dibuat semipermanen, tapi lebih kokoh. Meskipun demikian, Gandhi mengakui cuaca buruk berupa hujan disertai angin adalah tantangannya. “Pernah kertas-kertas penyaring kopi beterbangan,” tutur Gandhi, mengenang.

Namun sejauh ini Gandhi masih merasa nyaman dengan konsep street art. Meski demikian, ada keinginan untuk mempunyai usaha kopi berkonsep kafe. Sejumlah alasan menjadi pertimbangan, selain kehadiran kafe kopi yang sudah banyak bertebaran di wilayah DIY. “Dengan street coffee, gampang mengenalkan kopi kepada masyarakat,” kata Gandhi.

Terutama, kata dia, publik yang belum menjadi penyuka kopi atau setidaknya masih menganggap kopi sebagai minuman pahit. Di situlah ada ruang bercengkerama yang akrab terjalin antara barista dan pembeli. Orang yang baru mengenal kopi tak segan datang, bertanya, dan mencoba. Ini berbeda dengan di kafe yang rata-rata pengunjungnya adalah orang-orang yang sudah tahu tentang kopi. “Orang mau mampir juga segan. Kan kafe, ya? Dan harus buka pintu dulu,” kata Gandhi.

Namun, di kopi jalanan, orang tinggal parkir kendaraan di pinggir jalan dan memesan di gerobaknya. Meskipun demikian, soal alat seduh, Gandhi mengakui, kalah dalam hal teknologi. Sebab, kafe kopi lebih banyak menggunakan alat seduh bertenaga listrik. Sedangkan proses penyeduhan kopi di kopi jalanan secara manual dimulai dari menggiling kopi.

Karena itu pula, Gandhi menyediakan fasilitas kursi lipat dan tikar bagi para pembelinya ketika menunggu atau bahkan ingin minum sembari nongkrong di sana. Bahkan dia berinisiatif membawa papan catur buat pengunjung. “Kami ini slow bar,” kata Gandhi, sambil tertawa.

PITO AGUSTIN RUDIANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus