Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Glasgow: Sepak Bola, Ras, dan Agama

RIVALITAS Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers bukan sekadar drama sepak bola. Kedua klub telah bersaing menjadi yang terbaik di tanah Skotlandia selama 130 tahun. Derby—pertandingan klub rival sekota—Celtic dan Rangers, yang terkenal dengan sebutan Old Firm, disebut-sebut sebagai laga sepak bola paling brutal di muka bumi. Persaingan kian pelik karena berkelindan dengan isu ras, kelas, sentimen nasionalisme, dan agama di antara kedua pendukung klub. Bagi warga Glasgow, mendukung salah satu klub tersebut menjadi penabal identitas di luar agama dan kebangsaan. Politik kebencian yang diwariskan secara turun-temurun itu memang telah mereda. Upaya menurunkan ketegangan terus diupayakan, termasuk intervensi dari pemerintah setempat. Namun jejak persaingan kedua kelompok suporter masih terasa hingga hari ini. Laga terakhir pada 31 Maret lalu menegaskan derby ini tetap berlangsung dalam tensi tinggi. Laporan Tempo dari Glasgow, Skotlandia.

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU You’ll Never Walk Alone seketika menyambut saat saya datang ke Celtic Park pada 31 Maret lalu. Suara puluhan ribu pendukung Glasgow Celtic terdengar hingga jauh ke luar stadion. Hari itu, Glasgow Celtic bakal menjamu Glasgow Rangers dalam Liga Primer Skotlandia. Kickoff masih 15 menit lagi. Saya berusaha mencari pemegang tiket terusan yang barangkali enggan menonton pertandingan hari itu. Namun saya kecele. Celtic Park, yang berkapasitas 60 ribu penonton, tak menyisakan satu pun kursi kosong.

Saya hanya bisa mengintip dari celah terali pintu-pintu masuk yang mengelilingi stadion. Kaus hijau dengan corak putih memenuhi seluruh tribun. Suara gemuruh penonton di stadion terdengar. Kadang meninggi, kadang merendah. Mungkin ada peluang pemain Celtic yang terlepas. Namun Odsonne Edouard pada menit ke-27 mengguncang Celtic Park siang itu. Pekik bergemuruh penonton membuat saya merinding. Hari itu, Celtic Park menjadi saksi kemenangan 2-1 Celtic atas Rangers dalam derby atau pertandingan rival sekota yang dikenal sebagai Old Firm tersebut.

Glasgow menjadi tempat lahir dan saksi pertarungan dua kutub keagamaan yang terepresentasi lewat klub sepak bola. Celtic adalah simbol kelompok Katolik, pendatang Irlandia, dan kelas bawah. Sebaliknya, Rangers adalah representasi penganut Protestan, Britania, dan kelas menengah-atas. Analis sepak bola Matt Gault dalam A Tale of One City melukiskan Old Firm sebagai perseteruan paling brutal dan tanpa kompromi yang ada di planet bumi. “Ini simbol pertarungan antara Katolik dan Protestan. Mereka membawa pertarungan itu ke dalam hidup mereka,” tulis Gault.

Pendukung Rangers di Skotlandia, Mei 2011. REUTERS/David Moir

Sejarah kedua klub terentang panjang hingga satu abad ke belakang. Celtic Football Club berdiri pada 6 November 1887 di sebuah gereja bernama St. Mary di kawasan Calton, Glasgow bagian timur. Bill Murray dalam buku The Old Firm: Sectarianism, Sport and Society in Scotland menjelaskan, klub ini didirikan seorang biarawan Katolik bernama Bruder Walfrid. Dia menulis, klub ini dibentuk mula-mula untuk mendapatkan uang bagi komunitas Katolik miskin di kota itu. Walfrid dibantu asistennya, Bruder Dorotheus. “Organisasi ini bertujuan menyediakan makanan dan pakaian gratis bagi pemeluk Katolik miskin,” tulis Murray. Atas jasanya mendirikan Celtic, Walfrid menjadi salah satu tokoh Katolik terkemuka di Glasgow.

Harry McNeill, seorang fan Celtic, mengantar saya ke gereja tersebut. Dia begitu antusias ketika saya mengatakan akan menulis tentang Old Firm. “Nanti saya tunjukkan tempat-tempat penting bagi Celtic,” katanya, setengah berpromosi. Saat kami datang, pintu gereja dibiarkan terbuka tak terkunci. Kami pun bebas melenggang ke dalam. Di depan altar, saya melihat sebuah lukisan bergambar wajah seorang pria. Saya menoleh kepada Harry. “Itu gambar Walfrid, pendiri Celtic,” ujarnya.

Odsonne Edouard. REUTERS/Jason Cairnduff

Gereja ini hanya berjarak sepelemparan batu dari Gallowgate. Daerah ini terkenal sebagai area Celtic karena banyak komunitas Irlandia menetap. Saya dengan mudah menemukan pub-pub yang mengibarkan bendera Irlandia di sini. Mereka juga terang-terangan mendukung penegakan hak-hak warga Irlandia di Skotlandia. Harry- menerangkan, pendukung Celtic umumnya berkumpul di kawasan ini sebelum berjalan ke Celtic Park, markas Glasgow Celtic, yang berjarak sepuluh menit dari situ.

Dulu Celtic dan Rangers juga menjadi simbol pertarungan kelas, yakni antara kaum miskin dan kalangan menengah. Apalagi pendukung Celtic kebanyakan warga pendatang Irlandia. Sedangkan Rangers didukung penduduk Skotlandia atau Britania. Harry mengatakan jurang ekonomi di antara dua kubu itu telah menipis. “Yang masih tersisa ya soal Katolik versus Protestan dan orang Irlandia versus Britania,” tutur Harry, mahasiswa University of Glasgow.

Adapun Rangers Football Club didirikan pada 1872 oleh sekelompok anak muda dari Gareloch, sebuah kawasan perdesaan di pinggiran Glasgow. Tokoh terkemuka pada awal klub ini berdiri adalah John Ure Primrose, politikus anti-Irlandia dan anti-Katolik. Secara politik, Primrose terafiliasi dengan Orange Order, komunitas Protestan yang berbasis di Irlandia Utara. Prim-rose dengan cepat menjadi patron bagi pendukung Rangers sebagai simbol komunitas Protestan yang mendiami bagian selatan Glasgow. Klub ini kini bermarkas di Stadion Ibrox, Govan, kawasan selatan kota.

Awalnya hanya begitu. Persoalan baru muncul ketika imigran Irlandia berdatangan ke Skotlandia. Pada akhir abad ke-18, bencana hama kentang melanda dataran Irlandia. Sebagian warga mengalami kesulitan bahan pangan dan kelaparan. Mereka meninggalkan tanah leluhur mencari tanah baru. Yang kaya bermigrasi ke Amerika Serikat. Sedangkan yang minim dana memilih menyeberangi Laut Irlandia. Maka berlabuhlah mereka di Skotlandia. Bill Murray menuturkan, para imigran ini berperan penting dalam revolusi industri di Skotlandia. Mereka bekerja di sektor informal dengan menjadi pekerja pembangunan jembatan dan jalan.

Pendukung Rangers di Skotlandia, Mei 2011. REUTERS/Jason Cairnduff

Pada 1901, Matt Gault memperkirakan jumlah imigran Irlandia mencapai 205 ribu jiwa. Kakek dari kakek Harry salah satunya. Harry adalah generasi keempat dalam keluarga McNeill. Ayahnya lahir dan besar di Glasgow. Harry memiliki aksen Skotlandia yang sangat kental. Ketika kami berbincang, dia berkali-kali memastikan saya memahami apa yang ia katakan. Sebagai laki-laki yang terlahir dalam keluarga Irlandia, dia secara alami menjadi pendukung Celtic. “Saya orang Glasgow yang mewarisi kultur Irlandia,” ujarnya.

Tradisi itu dipegang teguh para imigran Irlandia dan keturunannya. Keluarga Harry secara turun-temurun bersekolah di St. Aloysius College, salah satu sekolah Katolik terkemuka di Glasgow. St. Aloysius College didirikan pada 1859 oleh Serikat Yesus untuk mendidik anak-anak Katolik. Ketika awal berdiri, sekolah ini hanya memiliki 25 siswa. Sekolah tersebut menyelenggarakan pendidikan tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Kini kolese ini memiliki lebih dari 1.250 pelajar.

Lingkungan Katolik dan tradisi Irlandia membuat Celtic mendarah daging bagi Harry sejak bocah. Klub ini menjadi identitas dalam hidupnya. Keluarganya memegang tiket terusan di Celtic Park selama bertahun-tahun. Pernah ada masa dia hanya memikirkan klub idolanya itu. Dia menangis sesenggukan berhari-hari ketika Celtic gagal meraih gelar juara karena kalah dalam pertandingan terakhir. Harry remaja pun rela menempuh perjalanan berjam-jam ke Aberdeen untuk menonton klub kesayangannya itu. “Sulit menggambarkan hubungan saya dengan Celtic,” katanya.

Sementara Harry berada di barisan pendukung Celtic, di sisi berbeda ada Luke Dawson, yang lahir dan besar dalam keluarga pendukung Rangers. Dawson mengatakan Rangers sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Dia lebih banyak memikirkan klub itu ketimbang persoalan lain. Ia selalu mengawali pagi dengan membuka situs Follow-Follow, forum khusus pendukung Rangers. Dia pernah menempuh perjalanan darat ke Jerman selama 40 jam untuk sebuah pertandingan tandang. “Rangers sudah menjadi bagian dari hidup saya,” ucapnya.

Sebenarnya, ketika awal berdiri, hubungan dua klub ini relatif hangat. Hubungan sosial kedua pendukung pun berlangsung akrab, termasuk setelah laga derby pertama pada 28 Mei 1888. Bibit rivalitas memang ada, tapi tidak mengental menjadi perseteruan fisik. Willie Maley dalam The Story of the Celtic mengatakan, sebelum 1912, tidak ada persoalan serius di antara kedua klub. Situasi berubah setelah perusahaan perkapalan Harland and Wolff memindahkan galangannya dari Belfast, Irlandia Utara, ke Govan, daerah di tepi Sungai Clyde.

Ribuan buruh perusahaan ini yang beragama Protestan mulai menyebarkan paham anti-Katolik, yang penganutnya kebetulan sebagian besar imigran Irlandia. Di kalangan Protestan, sentimen anti-Katolik ini dengan cepat juga menjadi anti-Irlandia. Persaingan memperebutkan sektor ekonomi salah satu pemicunya. Kelompok Protestan, yang sebagian orang Skotlandia-Britania, menyalahkan imigran Irlandia atas kesulitan mereka dalam mendapat pekerjaan. Sejak itulah persaingan kedua kelompok ini memasuki dimensi yang lebih berwarna.

Ketegangan lalu menemukan bentuk paling efektif lewat klub sepak bola. Celtic dan Rangers pun menjadi tumpuan saluran kebencian itu. Rangers menjadi kanal kelompok Protestan yang anti-Katolik. Sentimen ini dibangun dengan ajek di semua level klub. Tidak ada anggota dewan pengurus di klub ini yang beragama Katolik. Bahkan sentimen anti-Katolik meresap ke semua level karyawan, dari staf keuangan, petugas kebersihan stadion, hingga agen tiket. “Termasuk akhirnya muncul kutukan bahwa tak ada pemain Rangers yang cukup beruntung untuk mendapatkan gadis Katolik,” kata Bill Murray.

Polarisasi kedua klub menjalar ke level penjaja informasi. Media massa, terutama koran, juga menjadi saluran ekspresi kedua pendukung. Komunitas Katolik, misalnya, mendirikan koran Glasgow Observer. Adapun Rangers didukung The Bush, yang terafiliasi dengan kelompok Protestan. Pernah dalam sebuah iklan lowongan pekerjaan koran ini mencantumkan tulisan besar-besar di halaman muka: “Apakah Anda Katolik? Ini menjadi syarat Anda terdiskualifikasi dari lamaran apa pun di Stadion Ibrox”.

 


 

Celtic adalah simbol kelompok Katolik, pendatang Irlandia, dan kelas bawah. Sebaliknya, Rangers adalah representasi penganut Protestan, Britania, dan kelas menengah-atas.

 


 

Salah satu orang yang terkena imbas perseteruan ini adalah Alexander Matthew “Matt” Busby, legenda sepak bola Skotlandia. Busby, yang pernah bermain untuk Manchester City dan Liverpool, adalah salah satu manajer tersukses di Manchester United setelah Perang Dunia II. Kisah mengenai kegagalan Busby berlabuh di Rangers diceritakan Denis Lehane lewat tulisan bertajuk “Celtic Rangers and God” di koran New Statesman edisi 28 November 1980. Menurut Lehane, Matt Busby tak bisa menjadi manajer di Rangers hanya karena dia beragama Katolik. Sebenarnya Rangers pernah mempekerjakan seorang Katolik lantaran ia memiliki nama Protestan. “Namun dia segera dipecat dari klub,” tulis Lehane.

Dalam soal agama, Celtic agaknya lebih longgar ketimbang rivalnya. Mereka masih menerima pemain beragama Protestan asalkan berkebangsaan Irlandia. Dalam laga final Piala Skotlandia 1980, tulis Lehane, enam dari sebelas pemain Celtic beragama Protestan. Namun ihwal dukungan terhadap Irlandia, Celtic tak bisa ditawar. Pendukung mereka mengibarkan bendera tiga warna milik Irlandia di Celtic Park dan menyanyikan lagu dukungan untuk Tentara Republik Irlandia.

Celtic kemudian menjadi simbol perlawanan terhadap kemapanan Inggris Raya. Pendukung klub ini, yang telah mencapai generasi ketiga atau keempat dan memegang kewarganegaraan Inggris, tetap mendukung Tentara Republik Irlandia. Bagi Kerajaan Inggris Raya, Tentara Republik Irlandia diasosiasikan sebagai kelompok separatis. Namun tidak bagi Celtic dan pendukungnya. Pernah pada 1931 Celtic melawat ke Amerika Serikat. Bill Murray menulis, tuan rumah meminta klub ini menyanyikan lagu kebangsaan Irlandia di bawah bendera Irlandia. “Klub ini kemudian dijuluki ‘The Bhoys’ dan ‘The Irishmen’,” tulisnya.

Panggung paling sempurna untuk menunjukkan kebencian kepada pihak lawan tentu saja tribun penonton saat kedua klub bertemu. Dalam pertandingan derby itulah kebencian disuarakan dengan paripurna melalui lirik yang amat brutal. Pendukung Rangers memiliki berbagai nyanyian untuk menghina Paus, pemimpin umat Katolik sedunia. Misalnya lagu Fuck the Pope and the IRA, No Pope of Rome, dan Hijack the Pope Mobile. Sebaliknya, suporter Celtic kerap menyanyikan lagu Fuck the Queen sebagai kritik terhadap monarki Inggris Raya dan dukungan atas Tentara Republik Irlandia.

Aksi saling ejek ini pun kerap berujung pada kekerasan fisik. Murray mencatat, pemain Celtic pernah diserbu pendukung Rangers saat klub itu memenangi liga pada Oktober 1965. Kekacauan juga terjadi dalam partai final Piala Skotlandia pada 1980 di Hampden Park. Suporter Celtic kala itu seketika melompati pagar lapangan setelah peluit tanda pertandingan usai berbunyi. Melihat rivalnya memasuki lapangan, pendukung Rangers melakukan hal yang sama. Tak pelak, kerusuhan tak terhindarkan. “Ini seperti invasi kemarahan pendukung Bay City Rollers,” kata fotografer Donald McLeod, merujuk pada sebuah grup musik Skotlandia, seperti dikutip Matt Gault.

Di Glasgow, cerita tentang sejarah kekerasan kedua kelompok pendukung menjadi cerita lazim. Seorang pengemudi taksi yang menggunakan nama “Darkhorse” dalam wawancara dengan Vice pada 2012 menuturkan bagaimana dia kerap menjadi saksi perseteruan fisik kedua grup suporter. Dia sering membawa orang yang terluka seusai pertandingan Celtic melawan Rangers. Rata-rata, kata dia, para korban mengalami luka akibat disambit pecahan botol atau pisau. “Bahkan pernah ada seorang fan yang diserang saat bersama anaknya.”

Lukisan Bruder Walfrid di Gereja St. Mary di kawasan Calton, Glasgow. TEMPO/Wayan Agus Purnomo

Pemerintah Skotlandia bukannya tidak melakukan apa pun untuk meredam isu sektarian dalam sepak bola. Mereka, misalnya, memberlakukan regulasi Offensive Be-haviour at Football and Threatening Communications Act pada Desember 2011. Regulasi ini menyasar pendukung yang menyebarkan hasutan dan mengekspresikan kebencian dalam pertandingan sepak bola. Namun, pada Maret 2018, Parlemen Skotlandia mencabut peraturan ini lewat pemungutan suara yang selisih hasilnya tipis.

David Child dalam “’An eternal relationship’: Scotland’s famous football rivalry” yang terbit di Al Jazeera menyebutkan terjadi 673 serangan berbasis agama pada 2016-2017. Sebanyak 80 persen serangan ini ditujukan pada kelompok Katolik atau Protestan. Namun hanya 46 dari total serangan itu yang diproses dengan Football Act. Dua persen kasus diproses di lingkungan stadion.

Kini tensi di antara pendukung klub tak sepanas dulu. Child memperkirakan salah satu penyebabnya adalah meningkatnya jumlah penganut ateisme di Skotlandia. Berdasarkan laporan BBC pada 2017, sebanyak 58 persen penduduk Skotlandia menyatakan tak memeluk agama. Angka ini meningkat dibanding pada 1999, yang hanya 40 persen. Jumlah pemeluk Katolik dan Protestan pun turun menjadi 30 persen pada 2017 dari 49 persen pada 1999.

Kini, setelah 130 tahun, rivalitas Celtic dan Rangers menjadi warna tersendiri dalam sejarah sepak bola Skotlandia. Keduanya merupakan tim tersukses dari negara tersebut. Celtic adalah satu-satunya tim Skotlandia yang pernah mengangkat trofi European Cup—kini bernama Liga Champions—yakni pada 1967, yang sekaligus membuatnya menjadi klub Inggris Raya pertama yang meraih piala itu. Di level domestik, Rangers lebih unggul karena sudah merebut 54 trofi. Koleksi piala Celtic hanya 45. Dalam laga Old Firm, Rangers pun mengungguli saudara mudanya itu. Keduanya telah bertemu 415 kali dengan kemenangan Rangers sebanyak 160 kali dan Celtic 156 kali, sementara 99 laga berakhir imbang.

Pada akhirnya, Old Firm bukan melulu cerita olahraga, tapi drama sepak bola yang berkelindan dengan banyak faktor, seperti ras, agama, dan kelas. Meskipun rivalitas tidak sepanas pada masa lalu, berharap kedua pendukung berbaur dengan harmonis bukan perkara mudah. Setidaknya ini tecermin dalam perkataan Harry McNeill. Secara alami, dia merasa tidak bisa bergaul dengan kelompok pendukung Rangers. “Mereka orang yang membosankan.”

WAYAN AGUS PURNOMO (GLASGOW)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus