PM Vietnam Jenderal Vo Nguyen Giap -- tamu Menhamkam L.B. Moerdani yang baru saja bertolak ke negerinya -- adalah tokoh yang legendaris. Ia bagaikan Rommel di Jerman atau Mac Arthur di Amerika. Lebih dari 30 tahun menggempur penjajahan Prancis, Amerika, dan saudaranya di Vietnam Selatan. Ia berhasil merontokkan benteng Dien Bien Phu, dalam pertempuran yang sejajar dengan Waterloo dan Gettysburg. Inilah penuturan Stanley Karnov dalam The New York Times Magazine, 24 Juni 1990, serta pengakuan Giap sendiri dalam bukunya Dien Bien Phu, 1958. IA kini seorang kakek Vietnam biasa yang berumur 79 tahun, menghabiskan masa tuannya di sebuah rumah cantik bergaya kolonial Prancis di Hanoi. Seorang lelaki tua yang menerima tamu sambil memangku cucunya. Yang dengan kebanggaan seorang "manula", memperkenalkan putri sulungnya sebagai ahli fisika nuklir. Sementara itu, istrinya yang cerah dan gemuk menghidangkan buah-buahan. Tetapi di ruang tamu kakek itu ada sesuatu yang lain. Sebuah patung (sebatas dada) Karl Marx. Potret Marx, Lenin, dan Ho Chi Minh. "Saya jenderal yang belajar sendiri," katanya -- seperti menyemburkan api -- sambil terbahak. Bekas penyandang empat bintang ini tersohor karena otak dan hatinya yang istimewa. Ia Jenderal Vo Nguyen Giap yang legendaris itu. Giap bekas komandan angkatan bersenjata Vietminth. Karier kepemimpinan militernya sering dibandingkan dengan Jenderal Rommel di Jerman dan Mac Arthur di Amerika. Lebih dari 30 tahun ia melawan penjajah Prancis-Amerika dan saudaranya di Vietnam Selatan. Jasanya yang terbesar adalah menyusun kembali pasukan gerilya yang berantakan menjadi satu kekuatan tentara paling efektif di dunia. Ia melakukan yang tak terbayangkan orang sebelumnya, yaitu menghancurkan pasukan Prancis. Hingga sempat dijuluki "gunung berapi yang berselimut salju" -- tetap dingin meskipun emosinya sedang turun naik. Tentara Amerika dengan kekuatan berlimpahan di Vietnam pun bisa disikatnya. Itulah satu-satunya kekalahan yang pernah dialami Amerika dalam sejarah. Sejak awal abad ke-20, Prancis telah menaklukkan Vietnam. Tetapi kekuasaan mereka berulang kali ditantang oleh para pemberontak. Sering pembangkangan ini ditumpas dengan cara-cara brutal. Giap -- dilahirkan pada 1911 di Desa An Xa, Provinsi Quang Binh -- dibesarkan dalam iklim yang panas itu. Ia anak tertua dari dua bersaudara. Di taman kanak-kanak di kampungnya, Giap belajar bahasa Prancis, tapi bila kembali ke rumah, orangtuanya hanya mau berbicara bahasa Vietnam. "Untuk menumbuhkan patriotisme dalam diriku," kata Giap mengenang. Ayahnya, seorang petani berpendidikan, mengajarinya membaca buku pertama tentang sejarah Vietnam untuk anak-anak. Dalam "jendela dunia" itu, kata Giap, "saya mengenal nenek moyang, para martir, dan kewajiban kami untuk menghapus noda yang memalukan di masa lalu." Ia ingat ketika akan memasuki sekolah dasar, "Itulah hari pertama saya dan ibu berpisah, kami sama-sama menangis." Pada 1924, ia berangkat ke ibu kota kerajaan lama Hue untuk mengikuti pendidikan di Akademi Quoc Hoc yang bergengsi itu. Alumni Quoc Hoc antara lain Ho Chi Minh dan Ngo Din Diem, yang di kemudian hari menjadi presiden antikomunis di Vietnam Selatan. Di sinilah Giap muda -- baru lepas 13 tahun -- memulai pendidikan politik. Diam-diam para siswa sering mendiskusikan artikel antipenjajahan. Khususnya yang ditulis oleh seorang misterius yang memakai nama Nguyen Ai Quoc -- "Nguyen si Pecinta Tanah Air". Ternyata orang itu adalah Ho Chi Minh. Tapi Giap lebih dipengaruhi oleh pikiran Phan Boi Chau, seorang nasionalis muda yang dijadikan tahanan rumah oleh penjajah. Giap ingat betul dan sering menirukan kata-kata wasiat Chau. "Ayam telah berkokok. Bangun, bangun, dan siapkan aksi!" Kata-kata ini sempat membangkitkan semangat anak-anak muda untuk ikut protes terbuka melawan Prancis dalam kegiatan nasional. Sayang, protes-protes itu melempem. Malah akibatnya Giap dikeluarkan dari sekolah. Giap bingung, ia merasa kehilangan kompas. Tak lama kemudian Giap menemukan "kiblat" yang lain, waktu menjadi asisten guru Vietnam. Guru itu punya simpanan gelap, buku-buku Marx. "Saya menghabiskan malam dengan membacanya. Hasilnya, mata saya terbuka," katanya. Giap merasa itu makin menggemakan seruan Ho Chi Minh: bahwa rakyat tertindas harus bergabung dengan kaum proletar di seluruh negeri untuk mendapatkan kemerdekaan. Bila seruan itu mendapat sambutan luas, termasuk di kalangan kaum intelektual dan mahasiswa karena hal itu dianggap sejalan dengan Konfusius, kepercayaan nenek moyang yang tertanam subur dalam keyakinannya. Kemuraman melanda Vietnam pada 1930. Kerusuhan para petani menyebar ke seluruh negeri, memacu kekuatan radikal untuk melawan penjajah. Tapi dalam waktu singkat penguasa membalas dengan menghukum mati ratusan penduduk. Giap ditangkap dengan kesalahan "menghasut". Ia dipenjara 3 tahun. Tapi sebelum waktunya, ia dilepas oleh pejabat Prancis yang bersimpati. Pemuda itu kemudian menetap di Hanoi. Ia belajar di sekolah Prancis "Lycee Albert Sarraut", dilanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Hanoi. Untuk ongkos hidupnya ia mengajar di sekolah swasta, mata pelajaran sejarah Vietnam dan Revolusi Prancis. Pokoknya, yang ada hubungan dengan propaganda kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Pada usia 25 tahun Giap bergabung dengan partai komunis. Ia mengawini Minh Khai, seorang komunis militan yang memberinya seorang anak perempuan. Tapi istrinya kemudian ditangkap dan meninggal di penjara, menyusul kematian saudaranya -- juga komunis -- oleh regu tembak Prancis. Giap putus asa ketika mempelajari sebab-sebab kematian orang-orang yang dicintainya itu. Kemudian ia kawin lagi dengan Dang Bich Ha, putri seorang profesor. Giap tak pernah lepas membaca tulisan-tulisan Ho Chin Minh. "Saya ingin sekali bertemu dengan orang ini suatu kali," ujarnya dalam batin setiap kali. Kesempatan itu tiba di awal 1940, di Kunming, ibu kota Provinsi Yunnan. Orang yang disangkanya "raksasa" itu ternyata cuma pria ringkih yang berjanggut. Giap sempat kecewa. "Inikah legenda? Cuma lelaki biasa, seperti orang lain juga." Orang biasa itu menugasi Giap agar berangkat ke Yenan, di selatan Cina, tempat komunis Cina memberikan kursus perang gerilya. Giap sempat menolak. "Saya biasa menggunakan pena, bukan pedang," ujarnya. Tapi ia berangkat juga dengan seragam tentara Cina yang kedodoran. Di perjalanan ia menerima telegram dari Ho, membatalkan perintah. Pasalnya, Prancis telah takluk oleh Jerman. Situasi di Vietnam telah berubah total. Waktu telah tiba untuk kembali ke Vietnam. Pada 1941, Ho kembali ke tanah airnya setelah mengungsi selama 30 tahun. Ia mendirikan tempat perlindungan di sebuah gua dekat Pac Bop, desa terpencil dekat bukit kapur. Di situlah bersama Giap dan lain-lainnya ia mendirikan Vietnam Doc Lap Dong Minh atau Vietnam Independence League, disingkat Vietminth. Dari sinilah sebenarnya Ho mendapat nama Ho Chi Minh, artinya "Pembawa Cahaya". Prinsip Ho, "Aksi politik harus didahului aksi militer". Giap dan komandannya mulai merekrut orang-orang miskin, suku terasing di daerah setempat. Mereka melintas pegunungan, dan membentuk sistem sel lima pria dan wanita, hingga jumlah penduduk desa yang bergabung cepat berbiak. Giap membentuk pasukan gerilya untuk mengawal kader-kader politik, meskipun ia tak punya pengalaman militer. Dalam kejaran patroli Prancis, pasukan Giap bersembunyi di hutan. Giap mendidik prajuritnya cara mengarungi sungai atau bertahan di hujan badai, menyimpan bekal untuk berkomunikasi secara rahasia, atau menguber informan. Di sela ketakutan dan kegagalannya, gerakan itu pun berkembang. Saat itu Jepang menyerbu Vietnam, setelah memasuki Perang Dunia II. Gerilya Vietminth bertahan, sebagaimana juga Prancis. Pada 1944, Ho yakin Amerika akan memenangkan perang dan menyokongnya. Tidak hanya Presiden Franklin D. Roosevelt mencela kolonialisme Prancis, tapi Kantor Dinas Strategi, pelopor CIA, juga membantu memberikan info pada Vietminth tentang penyebaran tentara Jepang. Setelah menghitung kekuatannya, Ho memerintahkan Giap agar membentuk "tim propaganda bersenjata" yang lebih luas. Lalu menyerang garnisun Prancis yang tersembunyi. Dalam waktu singkat Giap membentuk tim yang terdiri dari 34 gerilyawan -- tiga di antaranya wanita. Menyamar sebagai petani dengan topi kerucut dan piyama ungu, mereka menyerang dua pos kecil Prancis di Hari Natal. Opsir-opsirnya dibunuh dan mereka bebas menguasai gudang senjata. Pertempuran itu, meskipun kecil, kini diingat sebagai kelahiran tentara Vietnam. Kemenangan itu melambungkan derajat Ho Chi Minh. Pada 2 September 1945, Ho menyatakan kemerdekaan setelah Jepang menyerah di akhir PD II. Giap ditetapkan sebagai komandan Angkatan Bersenjata Vietminth dan dianugerahi pangkat jenderal. Dia juga ditetapkan sebagai menteri dalam negeri. Dalam posisi itu Giap membubarkan sejumlah partai nasional non-komunis, bahkan tokoh-tokoh komunis saingannya. Lepas dari Jepang, Vietnam kembali diperintah Prancis. Ho menawarkan untuk bergabung. Prancis menolak mentah-mentah. Pada 1946, perang pecah lagi. Giap mempersiapkan timnya dan menarik simpati banyak orang. Pada akhir 1949, komunis Cina yang telah berhasil merajai negerinya mengirimkan senjata-senjata berat, yang memungkinkannya untuk memperbesar pasukan gerilyanya jadi batalyon, resimen, dan akhirnya divisi. Giap membuka jalan untuk pengiriman senjata ke Vietnam dengan menghancurkan pos perbatasan yang dikuasai Prancis melalui serangkaian serangan kilat. Menghadapi gencarnya serangan ini, Prancis mengirim jenderal termasyur, Jean de Lattre de Tassigny. Dengan jantannya Giap mengumumkan, "Kini Vietminth mendapat musuh yang layak". Namun, di tengah rencana serangan Prancis yang menggebu, de Lattre tewas digerogoti kanker. Tiga tahun berikutnya kedua seteru sama-sama bertahan. Prancis, di bawah pimpinan Jenderal Henri Navarre, meramalkan bahwa kemenangan hampir tiba. Pada 1953, Ho mempertimbangkan untuk berunding dengan Prancis. Tapi ia sadar harus menang di medan perang lebih dulu untuk memenangkan meja perundingan. Dipilihlah arena Dien Bien Phu -- yang sejajar dengan Waterloo dan Gettysburg dalam sejarah perang besar. Prancis akhirnya menyerah pada 7 Mei 1954, pada hari berlangsungnya pertemuan internasional di Jenewa untuk mengakhiri perang. Tapi Vietminth gagal mengubah kemenangannya di medan perang menjadi kemenangan diplomatik penuh. Di bawah tekanan Soviet dan Cina, para wakil dalam perundingan menerima pembagian Vietnam Utara dan Selatan serta menunda pemilu yang seyogyanya diselenggarakan 1956. Vietnam Selatan kemudian dipimpin oleh Presiden Ngo Dinh Diem. Celakanya, dengan persetujuan Amerika, Diem menahan ratusan Vietminth militan, dan menghukum mati mereka tanpa pengadilan. Pada 1957, Hanoi memerintahkan aktivis Selatan untuk membentuk tim dan menyuplai mereka dengan senjata dan kader melalui apa yang mereka sebut "Sisa-Sisa Ho Chi Minh". Dengan petunjuk Hanoi, tim itu menyerang orang-orang dekat Diem. Tiga tahun kemudian menyusul munculnya Vietkong, yang menyamar sebagai Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan. Kehadiran bantuan dari John Kennedy untuk Vietnam dianggap saat yang tepat untuk menghancurkan tentara Diem. Masuknya sejumlah petani yang merasa terasing dengan aturan-aturan keras Diem menambah kekuatan. Pada akhir 1963, Diem dibunuh dan itu menimbulkan kecemasan dalam rezim Hanoi. Junta yang baru di Saigon menjanjikan perubahan dan mendesak pengikut Vietkong untuk mengubah pendirian. Tapi presiden pengganti Kennedy, Lyndon B. Johnson, belum mau menarik pasukannya dari Vietnam. Awal 1965, Johnson melepaskan serangan udara ke Vietnam Utara dan sekaligus mengirim pasukan tempur. Giap mulai berkampanye untuk membuka jalan buntu. Kampanye ini kemudian dikenal sebagai serangan "Tet" pada 1968. Yakni menyerbu ke kota-kota Vietnam Selatan secara terkoordinasi. Pada malam 31 Januari 1968, 70 ribu tentara komunis menyerbu lagi kota-kota di Vietnam Selatan. Pasukan berani mati menyerbu halaman kedutaan Amerika di Saigon. Berminggu-minggu tentara Amerika berjuang. Rakyat Amerika yang membenci perang dan menonton adegan ini di televisi terkejut dan menyebarkan rasa antiperang. Akibatnya, Johnson cepat-cepat melakukan pemilu kembali di Vietnam. Giap menganggap serangan Tet itu sebagai kemenangan "yang memperlihatkan disiplin, kekuatan, dan semangat". Meskipun untuk itu ia harus membayarnya dengan jumlah korban yang "mengerikan". Bunga Surawijaya