Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Guru Besar Lintas Kampus Tolak Revisi Undang-Undang KPK

Revisi Undang-Undang KPK hanya akan membuat lembaga antirasuah melemah.

9 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis pegiat antikorupsi melakukan aksi menolak revisi Undang-Undang KPK yang diajukan DPR, di Bundaran HI, Jakarta, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Ratusan guru besar dan pengajar lintas universitas menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menggalang dukungan untuk melawan segala upaya melemahkan KPK. Guru besar dan dosen yang mengumpulkan dukungan ini di antaranya berasal dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Universitas Brawijaya Malang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guru besar ilmu hukum dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini tidak menunjukkan upaya memperkuat KPK sebagai lembaga yang bisa menindak kejahatan luar biasa. "Jika nanti direvisi, roh memberantas extraordinary crime enggak kena," kata Hibnu kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Hibnu, sejumlah pasal yang tercantum dalam draf revisi undang-undang tersebut malah akan menghambat pemberantasan korupsi. Misalnya, poin pembentukan Dewan Pengawas yang berperan memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Adanya penambahan lapisan birokrasi, kata dia, hanya akan membuat penindakan korupsi melambat. Apalagi dalam draf revisi Undang-Undang KPK juga disebutkan bahwa fungsi penuntutan harus melalui kerja sama dengan kejaksaan.

Pasal yang juga krusial bakal melemahkan KPK adalah status penyelidik yang harus berasal dari kepolisian. Poin ini janggal karena KPK didirikan karena ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian dan kejaksaan. "Jika penyelidik polisi dianggap bisa memperkuat pemberantasan korupsi, kenapa mereka tidak memperkuat instansinya saja," katanya.

Senada dengan Hibnu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sigit Riyanto, mengatakan revisi Undang-Undang KPK hanya akan membuat karakter spesial lembaga antirasuah melemah. Banyaknya kewenangan yang dipreteli melalui revisi undang-undang bakal membuat KPK tak ada bedanya dengan aparat penegak hukum lain.

Melihat proses pembahasan di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang tertutup, Sigit meyakini bahwa revisi Undang-Undang KPK tidak relevan dengan pemberantasan rasuah. Apalagi, selama pembahasan, DPR tak pernah mendengarkan pendapat dan aspirasi masyarakat. "Dari segi kelayakan, DPR ini tinggal beberapa hari masa kerja, tapi justru bikin agenda yang sangat tidak mungkin dilaksanakan, dan justru bertentangan dengan mandat reformasi," katanya.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Achmad Sodiki, berpendapat, untuk merevisi undang-undang yang menyandang status lex specialis, tak boleh sembrono. Menurut dia, pembahasan undang-undang sepenting ini harus matang. "Pembuatan undang-undang khusus yang menyangkut tindak kriminal luar biasa seharusnya tidak mendadak begini," tuturnya.

Menurut Sodiki, alasan Dewan bahwa tak adanya efek jera pada koruptor tidak bisa dikaitkan dengan urgensi pembaruan Undang-Undang KPK. Alih-alih melucuti kewenangan KPK, mestinya Dewan mengkaji tentang masih banyaknya politikus bermain proyek. "Jadi celah tikusnya yang ditutup, bukan mengkandangkan kucingnya. Ini celahnya dibuka, kucingnya dikandangin," katanya.

Penolakan terhadap revisi Undang-Undang KPK juga datang dari kalangan akademikus Universitas Airlangga. Sebanyak 41 dosen di kampus ini menandatangani surat solidaritas menolak upaya pelemahan KPK. "Kami menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK. Kami mengajak semua elemen bangsa bergerak dan berjuang melawan korupsi sesuai dengan kapasitas masing-masing," kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M. Zaidun.

Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, membantah revisi Undang-Undang KPK untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Menurut dia, ada pasal yang justru menambah kewenangan lembaga antirasuah. Salah satunya adalah penambahan pasal yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengeksekusi. "Selama ini belum ada. Ini yang luput dari pengamatan masyarakat," kata Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan itu.

AVIT HIDAYAT | MAYA AYU PUSPITASARI


"Di dalam sistem legislasi Indonesia di era Reformasi ini, peran masyarakat sangat penting. Kalau dulu saat Orde Baru didominasi pemerintah. Begitu diumumkan hanya basa-basi kepada rakyat. Kalau sekarang, rakyat harus didengar apa maunya, untuk itu biar diumumkan dulu. Kalau saya sih terlalu buru-buru."

Guru besar Universitas Islam Indonesia dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md.

"Ini adalah upaya sistematis untuk melumpuhkan dan membunuh KPK secara perlahan, yang dapat ditelaah dari beberapa poin krusial mematikan yang terkandung dalam draf revisi UU KPK."

Akademikus dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus