Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIAMAT sedang mengancam La Cosa Nostra -- alias "mafia" yang terkenal itu. Ketika Paul Castellano, gembong mafia AS, ditembak mati di 46th Street, New York, tahun lalu, pasang surut tampaknya mulai melanda sindikat bandit yang paling ditakuti di seantero AS itu. Castellano, 70, dibunuh menurut "efisiensi" mafia yang paling khas. Setelah kejutan singkat, reaksi masyarakat kemudian bangkit di luar dugaan. Orang mulai secara terbuka mengejek para pemeras, para tokoh bisnis palsu, dan para centeng yang selama ini merupakan pilar-pilar serikat gelap. "Inilah pertanda betapa merosotnya sudah sindikat kejahatan yang paling ditakuti di sepanjang sejarah," kata Fred Wehner, yang menulis serangkaian laporan untuk surat kabar South China Morning Post. Beberapa tahun yang silam, rakyat Amerika bahkan tidak mempunyai keberanian hanya untuk mengucapkan kata "mafia". Kini, mereka mengolok-olok istilah itu. Sejak pergantian abad yang lalu, dua patah kata bersayap cukup untuk menjamin perlindungan, atau mengharapkan sebuah pembunuhan, penyiksaan, pemerasan, dan tindakan balas dendam lain dari sindikat ini. Kata bersayap itu ialah: "Saya koneksi." Dengan dua kata ini, terbayanglah sudah pertalian seseorang dengan mafia, lengkap dengan seluruh jaringan, dan mesin perangnya di latar belakang. Namun, keadaan akhirnya berubah. Ke atas panggung permainan muncul generasi penumpas bandit tipe baru: para birokrat yang berdarah dan berkepala dingin. Dan hasilnya sungguh menakjubkan. Castellano, yang pernah memegang jabatan Capo Di Tutti Capi dan sekaligus menjadi Godfather para "mafiosi" di seluruh penjuru AS, kebetulan, pula sedang terancam akan dipensiunkan oleh para anak buahnya. Kebetulan, tokoh yang berbicara lembut ini sedang bersiap untuk diadili dalam sebuah perkara jaringan pencurian mobil yang sangat piawai dan bertaraf internasional. Ia dituduh sebagai otak jaringan itu. Dan beberapa perkara lain, termasuk pembunuhan, sudah menunggunya pula. Bersama dia, akan duduk pula di kursi terdakwa empat "kepala keluarga" mafia New York. Para kakap ini bisa diseret ke pengadilan berkat satuan super-efisien yang terdiri dari penumpas kejahatan jenis baru yang sedang berkembang di AS. Terutama setelah kematian bekas Direktur Biro Pengusut Federal (FBI), J. Edgar Hoover. Sejak 1981, sejumlah pemuka mafia dari 17 kota besar di AS dapat didudukkan di kursi terdakwa -- beberapa bahkan sudah dijatuhi hukuman. Di belakang semua hasil besar ini berdiri Rudolph Giuliani, pria muda dengan wajah pucat dan perawakan kurus tetapi alot. Dalam kepala Giuliani terpendam sebuah cita-cita: membersihkan nama orang orang Italia-Amerika, dan menjadikan benua itu sebuah tempat yang menyenangkan untuk didiami. Sebagai Jaksa Federal, ia nekat tampil di televisi New York untuk menantang para gangster mafia, dan mengatakan kepada mereka bahwa "permainan sudah selesai". Padahal, selama puluhan tahun, para penegak hukum hanya mengikuti jalan pikiran masyarakat: biarkan para penjahat itu saling membunuh, kita tak perlu ambil peduli. Kini keadaan berubah. Para polisi lokal dan anggota FBI sudah berani mengusut pembunuhan anggota mafia sama gencarnya dengan mengusut pembunuhan biasa. "Tekanan terhadap para bandit mafia itu makin kentara, dan tidak jarang di antara mereka kemudian ada yang bersedia membuka mulut," ujar Ronald Goldstock, direktur Satgas Antikejahatan Terorganisasi, salah seorang tokoh di antara barisan penumpas kejahatan tipe baru. "Untuk waktu yang cukup lama, orang-orang itu seperti dibiarkan," kata Goldstock. "Sekarang, Sudah tiba saatnya untuk menumpas mereka." Selama tahun-tahun terakhir ini, dinas-dinas penegak hukum AS menghabiskan sekitar HK$ 1,1 milyar (Rp 160 milyar) setiap tahun untuk melawan sindikat kejahatan. Giuliani lalu muncul dengan gagasan orisinil: membiayai perang terhadap kejahatan itu dengan dana yang digali dari harta mafia yang bisa disita. Senjata makan tuan, memang. Menurut taksiran kasar, di seluruh AS terdapat sekitar 20 ribu pendukung mafia -- sepuluh persen di antaranya anggota aktif. Sejak 20 tahun lalu, sudah diletakkan dasar hukum yang bisa digunakan oleh para penegak keadilan untuk melawan serikat bandit ini. Tapi tak satu perubahan besar pun yang terjadi. Pada pertengahan 1960-an, berbagai komite Kongres dan kepresidenan dibentuk untuk mengetahui mengapa langkah-langkah Jaksa Agung Robert Kennedy untuk menumpas kejahatan terorganisasi akhirnya melempem begitu saja. Tak ada kesimpulan pasti. Kemudian, pada 1968, FBI diizinkan menggunakan perangkat elektrik dalam sistem pengawasannya. Selang dua tahun, Kongres mengesahkan sebuah peraturan: bahwa menjadi anggota mafia itu sudah merupakan kejahatan. Tetapi, mafia memang sudah berkembang menjadi serikat rahasia dengan jaringan yang meruyak ke seluruh lapisan masyarakat. Menurut desas-desus yang tidak pernah bisa dibuktikan -- Direktur FBI J. Edgar Hoover mempunyai kontak bawah tanah khusus dengan asosiasi bajingan itu. Orang lalu mengingat Hoover sebagai tokoh yang selalu menolak untuk mengakui eksistensi sindikat kejahatan Amerika yang terorganisasi. Padahal, bukti-bukti semakin banyak. Walaupun kapasitasnya memungkinkan, barulah pada 1972 FBI mengubah fokus kegiatannya dari menguber bandit-bandit kampungan menjadi berburu para organisator kejahatan canggih. Lima tahun yang lalu, "perang" itu dimulai secara serius. FBI menyusun strategi yang membuat lembaga ini mampu menyerang kekaisaran mafia terkemuka di segenap penjuru Kota New York -- "keluarga" demi "keluarga". Ketika perang suci ini mulai berkobar itulah, Rudolph Giuliani ditunjuk sebagai Jaksa Federal. "Sistem ini sebetulnya sangat sederhana," tutur Thomas Sheer, agen khusus pada divisi kriminal FBI. "Tahun lalu, kami menyebarkan 175 agen untuk mengusut dan menembus lima 'keluarga' New York. Sementara itu, polisi New York memperbantukan 25 detektif. Kami juga secara luas menggunakan perkakas elektrik, penyadap telepon, dan informan. Lebih dari sekadar mengusut berbagai kejahatan yang terpisah, kami membentuk satuan-satuan khusus yang dipusatkan menangani kelima 'keluarga' tadi." Beberapa metode yang digunakan FBI mengingatkan kita pada film-film action buatan Hollywood. Misalnya kisah Joseph Pistone, agen berusia 43 tahun. Selama tidak kurang dari enam tahun, Pistone harus meninggalkan anak-istrinya, menyusup menjadi anggota "keluarga" Mafia Bonanno. Berdasarkan rencana yang diatur secara saksama, ia menggunakan sebuah nama kriminal fiktif, "Donnie Brasco". Tokoh "bayangan" ini digambarkan sebagai pencuri permata, pembongkar, dan penjahat pesanan. Semua perlengkapan identifikasi yang diperlukan untuk mendukung peran ini disiapkan dengan cermat oleh FBI. Pistone memainkan rolnya demikian meyakinkan, hingga dia menjadi kawan terpercaya Dominick "Sonny Black" Napolitano, capo "keluarga Bonanno. Bahkan, kepada Pistone "Sonny Black" mengaku bahwa ia sedang "membina tiga anak buah", dan Pistone akan dijadikan "anak buah keempat". Artinya, agen FBI itu akan diangkat sebagai anggota aktif. "Pelantikan"-nya memang ditunda. Tetapi, bukan karena mereka mencurigai dia, melainkan justru karena keempat klik di dalam "keluarga" Bonanno saling memperebutkan Pistone, yang dinilai layak diproyeksikan sebagai tokoh penerus. Tiga capo yang paling mengagumi Pistone ialah Benjamin "Lefty Guns" Ruggiero, Antonio "Boots" Tomasulo, dan Napolitano sendiri. Ketiga tokoh ini terkejut setengah mati ketika mereka tiba-tiba dipanggil ke pengadilan dengan tuduhan pemerasan. Mereka makin terperanjat ketika "saksi bintang" ditampilkan: orang yang selama ini mereka kenal sebagai Donnie Brasco! Agen lain yang bekerja bersama Pistone ialah Edgar Robb, yang menyamar dengan nama "Tony Rossi". Ia membuka sebuah klub di Florida, dan atas rekomendasi "Donnie Brasco", klub ini kemudian menjadi langganan para gangster Bonanno. Salah satu persekongkolan yang melibatkan Robb ialah rencana mencuri permata milik Syah Iran, ketika bekas Raja-Diraja itu mengungsi ke AS, 1979. Rencana ini kemudian dibongkar Robb, dan Washington segera memperingatkan Syah, sehingga pencurian itu tidak pernah terjadi. Contoh-contoh di atas barulah dua di antara sekian keberhasilan FBI menyelundupkan agen-agennya ke sarang mafia. Penggunaan perangkat penyadap elektrik membuka dimensi baru di bidang pemberantasan terhadap sejumlah serikat gelap. FBI kemudian mentranskripsikan pita-pita rekaman itu, dan memetik hasil yang luar biasa. Tidak jarang, isi percakapan adalah fitnah-memfitnah di antara sesama anggota mafia. Strategi inilah, antara lain, yang banyak membantu dalam menyeret sejumlah tokoh mafia ke pengadilan -- atau lebih jauh lagi: ke penjara. Bos "keluarga" Genovese, Frank "Funzi" Tieri, merupakan bandit pertama yang dihukum karena pemerasan. Ia sedang berusaha mengelakkan hukuman sepuluh tahun penjara yang dijatuhkan mahkamah pada 1981, ketika ia tiba-tiba mati. Sebaliknya dengan Carmine "Lilo" Galante, yang pernah dijuluki "Bos dari sekalian Bos". Tokoh berusia pendek ini disikat habis oleh seseorang, segera setelah ia keluar dari penjara. Selama tahun 1984, Joseph "Joe Bananas" Bonanno, 80, meringkuk di penjara Terminal Island, Los Angeles, karena terlibat dalam sebuah persekongkolan. Philip "Rusty" Rastelli, 68, "letnan" yang mengambil alih "bisnis" Bonanno setelah Galante terbunuh, dibuat tidak berdaya setelah keluar dari penjara, 1980. Dengan syarat yang dikenakan terhadap pembebasannya, ia tidak dimungkinkan lagi terlibat dalam dunia kejahatan. Nasib yang sama menimpa Carmine "the Snake" Persico, 53, tatkala ia dibebaskan pada tahun yang sama. Tetapi, berbeda dengan Rastelli, Persico tidak segan mengambil risiko. Enam bulan kemudian, ia digiring lagi masuk penjara karena terlibat perkara pemerasan. Kakaknya, Alphonse "Allie Boy" Persico, 56 -- yang memimpin gang Colombo setelah sang adik diringkus -- mengambil uang jaminan sekitar Rp 253 juta, kemudian lenyap. Penjabat bos Colombo, Genaro "Jerry Lang" Langella, 48, mati-matian berusaha tetap tinggal di luar penjara. Maret tahun lalu ia dijatuhi hukuman 10 tahun dengan tuduhan antara lain mengangkat sumpah palsu, dan pemerasan. Selama beberapa tahun terakhir ini, sejumlah "serdadu", capo, dan "bos" telah dijebloskan ke penjara dengan berbagai tuduhan. Tetapi, tidak jarang mereka juga dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih pelik. Menurut perkiraan Giuliani, "Dalam dua atau tiga tahun mendatang, La Cosa Nostra, baik di sini, maupun di Sisilia, akan segera tamat. Sekali, dan untuk selama-lamanya." Perlu dicatat, pada periode 1920-an sampai 1930-an, seorang penegak hukum bernama Eliot Ness memang pernah mencuat sebagai pahlawan pemberantas mafia. Tetapi, "Ia meninggalkan pekerjaan yang belum rampung," ujar Fred Wehner, penulis artikel ini. "Ketika Ness disanjung dan dipuja, mafia Amerika sendiri baru saja mulai melembagakan dirinya." * * * Sebutlah "Omerta"! Dan lafal Sisilia ini nyaris dianggap sebagai hukum absolut: sumpah menutup mulut yang mengikat jaringan "keluarga" mafia. Mereka yang melanggar Omerta sama dengan mengundang malaikat maut. Karena hukum absolut ini pulalah sejumlah hamba wet Amerika, termasuk Eliot Ness, gagal membuka selubung banyak tokoh puncak mafia di masa lampau. Kemudian, waktu berjalan bersama sejumlah pergeseran nilai. Kini, para penguasa bisa menggali bukti antara lain dari sejumlah informan. Meski tetap sadar akan risiko yang menanti, beberapa mafiosi terbukti tidak keberatan "menyanyi" di depan para penyidik. Tanpa kelimpahan informasi seperti ini, sulit membayangkan kemungkinan menggulung dan memukul patah jurus-jurus mafia yang mematikan. Satu di antara kakap paling bermutu yang berhasil dijaring FBI ialah Tommaso Buscetta, mafioso kelas wahid yang mengatur sebagian besar jalur heroin dari kampung halamannya di Sisilia sampai ke Benua Amerika. Dua tahun yang lalu, ia terciduk di Brasil. Dalam waktu singkat, Buscetta menjadi sumber informasi yang sangat berharga bagi pemerintah Italia dan AS. Keterangan yang disumbangkan Buscetta, 57, tidak kurang dari lima ribu halaman. Dari informasi ini saja, para penegak hukum berhasil menyeret lebih dari 600 gangster dari kedua sisi Atlantik. Buscetta, antara lain, memberikan nama para penembak yang bertanggung jawab atas 140 pembunuhan. Ia muncul di pengadilan Italia dan AS -- senantiasa di bawah pengawalan ketat agen-agen bersenjata. Mengenakan kaca mata hitam dan setelan bisnis yang lusuh, kesaksiannya diungkapkan dengan gaya yang tenang dan terkendali. Bahasa Inggrisnya yang beraksen Amerika hanya sedikit sekali berbau Italia. Tetapi demi kejelasan, sebagian terbesar kesakiannya disampaikan dalam bahasa Italia, kemudian di terjemahkankan. Suaranya berwibawa dan memesonakan. Termasuk "Don" gaya lama, Buscetta mengambil keputusan untuk membuka mulut setelah beberapa bajingan muda membantai dua putranya, tiga anggota keluarga dekatnya, dan tiga sahabatnya. Buscetta, yang berpengawakan kukuh, tidak lupa pula menceritakan suasana pelantikannya sebagai anggota mafia Sisilia, ketika ia masih berusia 21. Upacara itu dilaksanakan, antara lain, dengan mengusapkan darah sendiri ke atas gambar seorang Santo. Belakangan, ia diskors enam bulan dengan tuduhan perzinaan. Pada saat-saat terakhir, Buscetta menyembunyikan diri bersama istrinya nomor tiga, dan putra mereka Tommaso Jr., di Brasil. Hanya sesekali keluarga ini keluar rumah, terutama untuk makan malam di restoran. Sebagai upah jasa informasi yang diberikannya, Buscetta sudah dijanjikan kewarganegaraan AS. Juga identitas baru untuk dia dan keluarganya, serta "dukungan finansial yang masuk akal", hingga dia beroleh pekerjaan baru di Amerika Serikat. La Cosa Nostra harus mati," katanya sekali waktu. "Tak ada lagi kehormatan yang tersisa. Yang tertinggi hanyalah amuk, dan perang, dan darah -- dan semuanya demi uang, dan ketamakan. Ini bukan lagi mafia yang saya masuki ketika saya muda dulu." Jaksa Federal Rudolf Giuliani membandingkan informasi dedengkot Sisilia ini dengan "nyanyian" termasyhur Joseph Valachi, 1962. Dalam beberapa hal, keterangan Buscetta bahkan lebih berharga. "Kita mendapat kesempatan yang indah untuk memukul mafia, mungkin untuk selamanya," kata Giuliani. Valachi adalah mafioso pertama yang membelot, kemudian disusul Vincent Theresa. Keduanya diusut sebuah subkomite Senat untuk pemerasan, 1963. Mereka berdua mencemplungkan mafia ke dalam kancah kesulitan. Godfather Valachi, katanya, ialah Joseph "Joe Bananas" Bonanno. Sebagai seorang "caporegime", ia mengendalikan wilayah pinggiran New York, Yonkers. Kendati berusaha dengan segala daya selama sepuluh tahun berikutnya, tangan-tangan hitam mafia tidak berhasil menembus tirai perlindungan yang diberikan para penegak hukum terhadap Valachi. Bekas bandit itu akhirnya meninggal karena serangan jantung di penjara Texas, 1974. Ia menelanjangi jaringan dalam La Cosa Nostra: para penguasa terguncang begitu mengetahui kerapian serikat rahasia ini. Namun, Valachi hanya "bernyanyi" berdasarkan ingatan. Para informan pembelot yang muncul kemudian datang dengan keterangan yang disertai bukti autentik. Misalnya, Joseph Cantalupo. Pada mulanya, anak muda ini percaya bahwa ayahnya adalah seorang pengusaha pertanahan yang terhormat. Belakangan ia mengerti, bisnis itu sesungguhnya disetir oleh mafia. "Cita-cita saya pada waktu itu adalah menjadi salah seorang dari mereka," katanya. "Papa adalah pahlawan saya, dan saya ingin menjadi seperti dia." Tetapi, sebagai gangster, Cantalupo muda adalah tokoh sontoloyo. "Keluarga" Colombo mengangkat dia ke jabatan puncak bisnis judi dan bank gelap: ia meludaskan sejuta dolar bersama pasangannya yang lebih konyol, James Gredda. Kemudian, ia masih diberi kesempatan memimpin bisnis gelap lainnya, terutama untuk mengembalikan uang yang dihabiskannya. Usaha ini pun bangkrut. Alphonse "Allie Boy" dan Carmine "The Snake" Persico, yang memimpin "keluarga" Colombo pada masa itu, memberi sedikit "pengajaran" untuk Cantalupo: dengan tinju dan tendang. Hasilnya malah melenceng, anak muda itu berbalik menjadi informan. Pada mulanya, ia hanya sekadar mengoceh. Dua tahun kemudian, FBI mengangkat dia menjadi agen rangkap. Dalam tujuh tahun berikutnya, dengan risiko besar, Cantalupo merekam ribuan jam percakapan, termasuk yang melibatkan para sahabat ayahnya. Sekarang, dalam usia 44, Cantalupo merupakan kepala rumah tangga yang normal, dan hidup dengan identitas baru di suatu tempat di sekitar Midwest. Seperti halnya Buscetta, secara berkala ia diminta hadir di pengadilan, dikawal oleh sejumlah petugas, untuk memberikan kesaksian. "Jika mereka berhasil mencapai saya, nasib saya lebih buruk dari orang mati," katanya. "Saya sudah menyaksikan bagaimana mereka menangani para pembelot. Orang itu digantung dengan menggunakan gancu daging, kemudian disiksa dengan tongkat beraliran listrik, yang biasanya digunakan untuk membantai sapi. Dengan cara itu, diperlukan waktu tiga hari sebelum ajal sungguh-sungguh datang." Contoh lain adalah Aladena Jimmy "The Weasel" Fratiano, mafioso berambut putih yang pernah menggemparkan dunia mafia. Ia berbalik menjadi informan ketika ia mengetahui bahwa kawan-kawannya sedang bersiap untuk membunuhnya. "Saya segera menyimpulkan, kalau mereka memang sudah siap untuk menggunting saya, lebih baik saya 'menyanyi'," kata Fratiano, 72. Bekas bos kriminal Los Angeles ini mengaku tersangkut 11 perkara pembunuhan, satu di antara korban adalah sahabat karibnya sendiri. Kesaksiannya berhasil menjerat lima tokoh puncak mafia. FBI pernah menganggap Fratiano sebagai "burung kenari" mereka yang terbaik. Ia memberikan kesaksiannya pada sembilan persidangan, yang membuat tidak kurang dari 21 tokoh mafia digiring masuk bui. Beberapa di antara para pembelot ini tidak hanya mendapat identitas baru tetapi juga operasi plastik untuk mengubah wajah. Fratiano menolak segalanya, kecuali perlindungan bersenjata. "Saya memerlukan perlindungan semacam itu," katanya. "Bila saya berhenti 'menyanyi', orang-orang Federal itu akan mencampakkan saya laksana sebutir kentang panas. Dan bila hal itu terjadi, saya praktis menjadi orang mati, tidak peduli dengan nama baru atau wajah baru." Big Peter Salerno mengotaki perampokan yang berskala nasional dan melibatkan uang sekitar multijutaan dolar. Kemudian, untuk mengelakkan hukuman panjang di penjara, ia mengungkapkan sejumlah keterangan mengenai anggota-anggota serikatnya. Irforman lain ialah Ralph Schoenomann, 50, yang pernah memimpin operasi pembajakan truk besar-besaran, kemudian bekerja sama dengan FBI. "Saya harus menunggu 64 hari di sebuah kamar hotel kecil bersama istri dan keenam anak saya," tuturnya. "Saya tidak memiliki identitas baru, dan harus mengarang cerita sendiri agar anak-anak bisa diterima di sekolah, dan saya sendiri bisa mendapat pekerjaan." Kini ia bercerai, hidup dalam ketakutan permanen untuk dihabisi. Dan dia tetap belum mendapat pekerjaan. * * * Sangat sedikit segi kehidupan masyarakat AS yang tidak bersentuhan dengan mafia. "Kami lebih besar dari US Steel," kata ahli keuangan mafia, Meyer Lansky, pada 1950. Dianggap sebagai seorang di antara otak dunia bawah tanah, Lansky mati tiga tahun lalu pada usia 80. "Kejahatan teroranisasi memang menyedot jutaan dolar dari dunia ekonomi AS," kata Direktur FBI, William Webster. Kini saja, "industri" mafia masih melibatkan sekitar HK$ 1 trilyun (Rp 146 trilyun) per tahun. Angka ini dua kali pendapatan pabrik mobil terbesar di AS, General Motors. Perdagangan obat bius mencapai sekitar sepertiga angka total tadi. Di California saja, menurut taksiran, mafia menerima HK$ 75 milyar (hampir Rp 11 trilyun) setahun. Konon, dua sen dari setiap dolar yang beredar di AS akhirnya masuk ke kocek mafia. Tambahan pula, kejahatan-kejahatan terorganisasi belakangan ditangani tenaga-tenaga yang mendapat pendidikan dari Harvard dan Wharton School of Business. Para penegak hukum memperkirakan, mafia memiliki, mengontrol, atau paling tidak berpengaruh, pada lebih dari 17 ribu perusahaan yang sah. Belum dihitung berapa luas jaringannya yang tidak sah. Bisnis itu merentang dari usaha musik dan rekaman sampai pakaian jadi, bengkel mobil, perusahaan makanan, bank, angkutan, pabrik semen, kontraktor bangunan, industri konstruksi, galangan kapal, perumahan, restoran, binatu, cleaning service, bar, klub malam, asuransi, bahkan jasa mengasah pisau. Menurut desas-desus, Bandara Kennedy, bandara utama Kota New York itu, secara tidak langsung dikuasai oleh empat "keluarga": Gambino, Genovese, Bonanno, dan Lucchese. Pergaulan mafia dengan orang-orang penting AS memang tidak sepenuhnya bisa terungkapkan. Toh, yang tampaknya paling menonjol ialah kalau pergaulan itu melibatkan para bintang panggung dan film. Dari sisi ini, yang sangat sering disebut-sebut ialah Frank Sinatra - meski penyanyi dan aktor film ini selalu berusaha mengelak. Cukup banyak isyarat yang mengaitkan Sinatra dengan tokoh-tokoh mafia seperti Sam Giancana, Lucky Luciano, Jimmy "The Weasel" Fratiano, Carlo Gambino, Raymond Patriarca, Louis "Domme" Pacella, Paul Castellano, atau Gregory DePalma, Richard "Nerves" Fusco, Salvatore Spatola, dan Joseph Gambino. Selain Sinatra, disebut-sebut pula Dean Martin, Sammy Davis Jr., Jimmy Durante, Tony Bennett, Eddie Fisher, Frankie Laine, Phyllis McGuire, dan James Caan. Namun, jangan dikira mafia hanya becus menjangkau dunia pertunjukan dan hiburan. Serikat gelap ini juga melekatkan jaring-jaringnya jauh ke atas, ke lapisan eksekutif, bahkan sampai ke ruangan-ruangan dalam Gedung Putih. Bukti-bukti yang kongkret tentulah sulit diumumkan. Tetapi, "kesaksian-kesaksian" tidak resmi cukup banyak bertebaran. Satu di antara "kesaksian" itu melibatkan John Fitgerald Kennedy, presiden AS ke-35, yang terbunuh pada 1963. Tidak enak menggunjingkan orang yang sudah mati -- sebetulnya. Tetapi, cerita tentang pertalian mafia dengan presiden terbunuh ini sudah sempat beredar ke mana-mana. Isyarat pertama datang dari Joseph "Joe Bananas" Bonanno, don yang memulai kariernya di dunia hitam sebagai anggota pasukan tembak Al Capone yang legendaris itu. Konon, ketika AS melakukan invasi abortif Teluk Babi yang menghebohkan itu, 1961, Presiden Kennedy mengetahui keterlibatan mafia Amerika dalam operasi ini. Salah satu "plot" dari rencana yang berantakan itu ialah pembunuhan atas diri pemimpin Kuba, Fidel Castro. Alasan keterlibatan ini pun mudah diterangkan. Albert Anastasia, Meyer Lansky, dan banyak tokoh puncak mafia lainnya, mempunyai kepentingan bisnis di Havana. Sejumlah usaha mereka disita oleh pemerintah baru yang dipimpin Castro. Tetapi, ketika operasi itu hancur, bahkan sejumlah pasukan penyelinap masuk jebakan Kuba dan digiring ke penjara-penjara Havana, pemerintah Kennedy mengambil sikap bermusuhan dengan mafia. Padahal, beberapa catatan menukilkan bahwa CIA pernah menyewa beberapa gangster jempolan untuk membunuh Fidel Castro. John Davis, 51, pengarang dan sepupu Jackie Kennedy onassis, pernah mengatakan, "Tidak perlu disangsikan bahwa mafialah yang membunuh John Kennedy pada 1963, dan membunuh adiknya Robert Kennedy lima tahun kemudian." O, ya? "Departemen Kehakiman menyimpan banyak bukti tentang persengkongkolan mafia untuk membunuh JFK," ia menambahkan . Kalau pemerintah Kennedy mau melibatkan sindikat ini dalam operasi Kuba, mengapa pula mereka ingin membunuh dia? "Kunci masalahnya terletak pada Robert Kennedy," jawab Davis. Di masa jabatannya sebagai Jaksa Agung AS, Robert pernah berniat mengobrak-abrik mafia. Anehnya, rencana ini didukung pula oleh JFK -- yang mungkin kesal pada kegagalan Teluk Babi. Robert Kennedy kemudian menjadi musuh yang paling dibenci mafia. Adapun Lee Harvey Oswald, orang yang dituduh membunuh JFK, "Oknum ini hanya direkrut untuk dijadikan kambing hitam," kata Davis. Oswald lalu dituduh sebagai pembunuh tunggal. Tetapi, ketika muncul gejala bahwa "kambing hitam" ini mau "menyanyi" lebih jauh, ia segera dibungkam oleh Jack Ruby, yang sangat dicurigai sebagai anak buah sebuah "keluarga". Siapakah yang berdiri di belakang teori "pembunuh tunggal" tadi? Tiada lain dari J. Edgar Hoover, Direktur FBI saat itu. Ketika Komisi Warren dibentuk untuk menjernihkan kasus pembunuhan yang makin kusut itu, FBI hanya menyumbangkan detail-detail yang tidak penting. Keterpautan JFK dengan mafia dipertalikan pula oleh seorang "gadis pesta" bernama Judith Exner. Wanita seksi ini tidak malu mengakui bahwa ia pernah tidur bersama JFK. Padahal, pada kesempatan lain, ia juga mengaku pernah menaiki ranjang Sam Giancana, "Kakanwil" mafia Chicago, dan satu di antara tokoh yang direkrut untuk membunuh Fidel Castro. Makin semrawut, memang. Sementara itu, pada bulan September 1962, Carlos Marcello pernah mengancam akan membunuh Kennedy. Ini bukan olok-olok, tentu, bila diingat bahwa Marcello adalah "kepala biro" mafia New Orleans. Sebelumnya, atas perintah Jaksa Agung Robert, Marcello pernah dideportasikan dari Amerika. Bandit ini kemudian bersumpah, dengan cara Sisilia kuno, untuk membunuh Kennedy. Dalam "kesaksian" lain, Bonanno mengungkapkan pula hubungan Joseph Kennedy -- Kennedy Senior -- Dengan Frank CostelIo, "pangeran" mafioso 1920-an, yang mati pada 1973. Untuk menambah seru cerita, Presiden Ronald Reagan pun, konon, tidaklah lepas dari jangkauan tangan-tangan mafia. Mungkin pertalian ini terjadi di luar pengetahuannya, mungkin juga . . . entahlah. Yang jelas, kisah itu bermula dari seorang tokoh bernama Jackie Presser. Berpengawakan besar, dengan rahang yang gemuk dan langkah yang panjang-panjang, Presser bukan orang asing di koridor pusat kekuasaan AS. Pemimpin serikat buruh ini kerap tampil di layar televisi. Dan, yang lebih penting, dukungannya banyak berperanan dalam kemenangan yang dicapai Reagan untuk menduduki kursi kepresidenan, 1980 dan 1984. Kini, Presser sedang diperiksa FBI. Terdapat beberapa indikasi yang menggiring tokoh ini ke dunia kejahatan terorganisasi. Hanya, keadaan bertambah pelik ketika diketahui, Presser juga seorang informan FBI. Yang jelas, namanya pernah "dinyanyikan" Jimmy "The Weasel" Fratiano. Menurut pembelot itu, Presser mempunyai hubungan khusus dengan James "Jack White" Licavoli, godfather mafia Cleveland. Sejarah mafia AS memang dimulai dari wilayah-wilayah kusam Kota New York. Para emigran Italia, yang bermukim di kawasan ini dengan penuh kemelaratan pada awal abad ke-20, merasa diteror oleh keluarga-keluarga Irlandia, yang datang lebih dulu dan menguasai situasi. Pada zaman itu, sebagian besar politisi, polisi, dan anggota lembaga hukum memang orang asal Irlandia. Dalam kemelaratannya -- yang kemudian menjadi faktor kekuatan -- para emigran Italia itu mencari sesuatu sebagai tempat berlindung dan mengadu. Mereka, akhirnya, menemukan pegangan pada La Cosa Nostra, serikat persaudaraan yang pada mulanya bertujuan mulia, bahkan mendekati "suci". Sebagai orang yang miskin, papa, dan terkucil, emigran Italia ini tidak takut akan kehilangan sesuatu. Apa lagi yang bisa diambil dari orang yang memang tidak memiliki apa pun? Inilah yang menjadi sendi kekuatan mafia. Setiap orang Italia-Amerika, ketika itu, otomatis menjadi anggota serikat. Dan organisasi ini dibikin sangat ketat dan tertutup, terutama pada orang bukan Italia. Teror selalu merupakan senjata paling ampuh mafia. Seperti yang dikatakan Jaksa Federal Rudolph Giuliani, "Gerombolan ini sanggup mengintimidasi masyarakat Amerika dengan membunuhi anggotanya sendiri di jalan-jalan kota." Itulah yang terjadi, misalnya, di jalan-jalan Chicago pada 1920-an, kemudian juga di New York. Potret-potret bangkai para mafioso memang berhasil menularkan rasa takut yang luar biasa. Para pengkhianat, pembelot, dan pembangkang dibunuh dengan cara perlahan-lahan dan menyakitkan. Ada yang dicekik berdikit-dikit, tetapi ada pula yang dicincang seperti bahan bakso. Namun, cara paling sederhana di antara sistem membunuh mafia tetaplah sebutir peluru tepat di kepala. Orang yang tidak disenangi, kendati telah mencapai jabatan godfather, juga disingkirkan dengan cara ini. Salah satu contoh adalah Carmine "Lilo" Galante, bos "keluarga" Bonanno pada 1979. Ia dihabisi sesama mafioso tatkala asyik bersantap siang di restoran Joe & Mary, Brooklyn. Pada hari yang nahas itu, Galante memesan spaghetti dan bakso, serta selada dan buah. Ia sedang menikmati gelas anggurnya yang keenam, ketika para pembantai muncul dan memuntahkan satu magazin penuh peluru senjata otomatis ke kepala tokoh berusia 69 tahun itu. Galante mati, dengan cerutu berasap masih terselip di antara bibirnya. Galante, ternyata, banyak mengecewakan rekan-rekannya dalam pembagian keuntungan. Rencana pembunuhan ini didukung oleh kedua pengawal pribadinya. Di zaman dulu, mafia mengakui sebuah hukum tidak tertulis: "Jangan membunuh orang di depan keluarganya." Pada 1972, mereka menginjak-injak hukum itu ketika "menghakimi" Joseph "Crazy Joe" Gallo, bandit yang pernah dijuluki "centeng New York yang paling ditakuti". Pada hari sial itu, Gallo sedang merayakan ulang tahunnya ke-43 di restoran New York Clam House yang terkenal. Bersama dia duduk istri yang baru dinikahinya tiga pekan, seorang asisten dokter gigi bernama Sina Essary, anak perempuannya bernama Lisa yang baru berusia 10 tahun, beberapa perempuannya, serta konco-konconya. Pembunuh tunggal itu datang dengan senapan mesin, dan memberondongkan peluru ke tubuh Gallo. Tindakan ini diambil sebagai balas dendam: setahun sebelumnya, saudara-saudara Gallo bertanggung jawab atas kematian don Joe Colombo. *** Kini, masa keemasan itu tampaknya mulai redup. Makin banyak "penyanyi" yang muncul dari kalangan mafioso, makin banyak pula tokoh dan perkara yang terungkap berkat nyanyian merdu mereka. Toh, tetap dibutuhkan satu kekuatan untuk membongkar serikat gelap yang tua ini sampai ke umbut-umbutnya. Satu di antara tokoh yang paling menarik, seperti telah disebutkan di depan, ialah Rudolph Giuliani. Banyak orang sepakat untuk mengatakan bahwa Giuliani merupakan campuran seorang showman, berkepala angin, dan bergaya punk. Sebagai Jaksa Federal dalam perang New York melawan kejahatan terorganisasi, ia seperti menempatkan diri di kepala barisan, peran yang sesungguhnya sangat riskan. Beberapa kali ia sudah hampir di ambang ajal. Tetapi, ia seperti tidak peduli. Di depan sebuah pertemuan terbuka, ia pernah mengatakan, "Saya ingin mengatakan kepada gerombolan itu bahwa saya tidak bisa dihalangi. Silakan mengancam saya dengan berbagai cara." Lebih gila lagi, ia tidak mau dilindungi polisi. Namun, orang-orang FBI secara tersembunyi tetap membayanginya. terutama bila ia sedang berjalan ke kantornya dari apartemennya yang sederhana di kawasan Manhattan. Para agen juga melindungi istrinya, Donna Hanover, yang bekerja sebagai pembaca berita televisi. Donna adalah istri kedua "Rudy", demikian Giuliani biasa dipanggil. Dengan istri pertama, setelah pernikahan enam tahun, Rudy bercerai ketika usianya belum genap 30. Gajinya sekitar Rp 73,63 juta setahun -- jumlah yang kecil, bila diingat bahwa dengan keahliannya Rudy akan menerima lebih dari itu bila ia bekerja di sektor swasta. Tampaknya, memang bukan uang yang menjadi pendorong semangat Rudy. Tidak suka membawa pistol, toh ia sudah menggiring ratusan tokoh puncak mafia ke sidang pengadilan - beberapa di antara mereka kemudian dapat di jebloskan ke penjara untuk jangka panjang. Rudolph Giuliani adalah pahlawan yang tidak punya potongan. Pengawakannya tidak berkesan, parasnya pucat, dan rambut pada bagian depan kepalanya mulai menipis. Kalau ia berbicara, tangannya melambai-lambai -- khas orang Italia. Makanannya pun "menyedihkan". Kerap kali, ia hanya mengunyah apel sebiji sehari. "Demi menjaga kesehatan," katanya. Ia pencinta serial kartun Walt Disney, dengan alasan, "Kartun-kartun itu romantis ." Pada hari ia menggali kapak peperangan melawan para godfather, ia menggambar sebuah peta Cosa Nostra, yang kemudian digantungkan di dinding kantornya. Peta itu berskala nasional. Baru dua tahun mengumumkan perang, ia sudah meraih sukses luar biasa. Ucapan selamat khusus datang dari Presiden Ronald Reagan sendiri. Bahkan, pemerintah Italia menganugerahi Rudy penghargaan khusus karena jasanya ikut membenahi rimba permafiaan di negeri itu. Giuliani, yang mengaku sebagai seorang workaholic, berhasil menata koordinasi dengan ratusan agen FBI, serta satuan-satuan polisi kota dan negara bagian. Ia juga mengontrol 130 pengacara di seluruh AS. Ia, akhirnya, memang menempatkan diri sebagai musuh tunggal mafia yang terbesar di sepanjang sejarah. "Hingga beberapa tahun yang lalu, taktik para penegak hukum ditujukan melawan para anggota mafia secara individual," katanya. "Kini, kami bergerak untuk langsung menjaring kakapnya." Untuk membunuh monster, kata Rudy, "Kita tidak cukup memotong buntut atau jari kakinya. Kita harus menebas kepalanya." Agaknya, rasa muak Rudy terhadap mafia dipengaruhi juga oleh ayahnya, Harold Giuliani, dulu pemilik bar dan kafe di kawasan Brooklyn, New York. Tidak jelas betul latar belakang permusuhan orang tua ini dengan para mafiosi. Yang diingat Rudy, Giuliani sang ayah selalu mengatakan bahwa bandit-bandit itu merusakkan nama dan martabat orang-orang Italia-Amerika. "Ketika saya masih muda, Ayah sering menunjukkan pada saya kertas yang berisi daftar nama para Jaksa Federal AS," tutur Rudy, mengenang. "Lihat," kata Rudy menirukan sang ayah. "Dalam daftar ini, tidak terdapat sebiji pun nama Italia. Terserahlah kepada generasimu, untuk mengangkat atau menenggelamkan martabat kita." Keruntuhan mafia, menurut sebagian besar pengamat, juga dipengaruhi oleh (jangan tertawa) era komputer. Serikat gelap ini didirikan nyaris di bawah sistem feodal, dengan "raja- raja" dan "pangeran", para "kesatria" dan "serdadu". La Cosa Nostra memang berhasil menyebarkan rasa takut selama puluhan tahun. Tetapi, ada satu bidang yang tidak dijamahnya-bahkan seperti dipantangkan yaitu perangkat elektronik. Senjata rahasia FBI menggempur mafia, misalnya, adalah sebuah komputer berharga sekitar HK$ 55 juta (Rp 8 milyar). Komputer ini menyimpan 50 ribu nama anggota mafia, termasuk kebiasaan dan tempat yang biasa mereka kunjungi. Ketika para bandit itu berkeliaran menawarkan "perlindungan", sama seperti yang dilakukan para pendahulu mereka di masa lampau penegak hukum sedang berkutat dengan perangkat lunak yang canggih . FBI dan kepolisian juga menggunakan teknologi mikro sensitif untuk pekerjaan memata-matai. Barulah, setelah semua informasi dan petunjuk terkumpul, satuan-satuan tugas bergerak ke sasaran yang sudah pasti. FBI mencangkokkan alat penyadap di mana-mana: di rumah, di mobil, bahkan di kantor-kantor pemuka mafia. Ketika don Paul Castellano membangun rumah barunya, 1979, ia memesan sejumlah perkakas elektrik yang mahal. Rumah itu sendiri dibuat meniru arsitektur Gedung Putih. Tetapi, Paul tidak pernah tahu, di antara barang yang datang terdapat beberapa potong yang tidak pernah dipesannya. Dalam tahun-tahun berikutnya, hampir semua percakapan di rumah itu terekam dan jatuh ke tangan penegak hukum. Mulai dari dialog di kamar tidur, sampai senda gurau di ruang makan. Ketika beberapa tahun kemudian Castellano diseret ke pengadilan karena beberapa kasus, ia tercengang mendengar rekaman percakapan itu. Dari rekaman seperti itu para mafioso mengetahui gunjingan tentang mereka oleh don tertentu. Secara tidak langsung, rekaman-rekaman ini seperti mengadu domba para pemimpin "keluarga". Dengan cara ini, sejumlah jaringan terbongkar. Beberapa mafiosi dihabisi sesamanya sendiri untuk membungkam rahasia. Tetapi, rekaman yang terkumpul sudah terlalu banyak. "Dari sebuah mobil Jaguar seorang mafioso saja, kami pernah membuat rekaman percakapan berjumlah 75 jam," kata Ronald Goldstock, Komandan Satgas Antikejahatan Teorganisasi. Kasus yang menyeret "Tony Ducks" Corallo, 73, bos "keluarga" Lucchese, melibatkan 80 jam rekaman biasa, dan 90 jam penyadapan telepon. Sebuah transmiter sukses dicangkokkan ke dalam mobil Ralph Scopo, mafioso Colombo berusia 56. Alat penyadap lain ditanam di sebuah restoran Brooklyn, tempat penjabat boss Colombo, Genaro "Jerry Lang" Langella, biasa memberikan instruksi, terutama di sekitar industri restoran. Bukti penentu dalam perkara Matthew "The Horse" laniello, 66, antara lain ialah tujuh ribu rekaman suara dan video yang mengungkapkan cara kerjanya dan rekan-rekannya. Bukti ini diberikan oleh transmiter yang dicangkokkan FBI di kantor laniello di New Yok. Sukses lain ialah alat penyadap yang dipasang di bawah ranjang Aniello "Mr. O'Neil" Dellacroce, yang sedang terbaring menanti ajal di rumah sakit. Mafioso ini menderita kanker lambung dan penyakit gula. Dua minggu setelah ia tergeletak, para pengikutnya berhasil menembak bekas bos mereka, Castellano. Selama Dellacroce terbaring di tempat tidur, lusinan mafioso datang untuk menunjukkan rasa hormat. Sebagian di antara mereka, dalam kunjungan seperti itu, menyempatkan diri untuk membicarakan "bisnis", tanpa menyadari adanya alat penyadap di bawah ranjang. "Sistem ini sangat produktif," kata Edward Mc Donald, komandan satgas yang lain. Akhirnya, mafia rupanya harus berperang dengan zaman. Serikat gelap dengan keketatan masa lampau itu mulai tidak berdaya menghadapi "musuh" tipe baru: para pendobrak kejahatan yang dilengkapi perangkat elektronik dan komputer. La Cosa Nostra berhadapan dengan armada teknologi modern dan zaman yang terus berubah. Sedangkan para don itu tetap saja bergerak dalam gaya Sisilia abad yang hampir silam. Atau mereka mampu merekrut teknologi mutakhir sebagai pasukan baru yang lebih menakutkan? "Sudah terlambat," kata Jaksa Federal Rudolph Giuliani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo