Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM halaman terakhir putusan Mahkamah Konstitusi itu kini jadi persoalan. Hakim Harjono-lah yang pertama kali mempermasalahkannya. Dalam risalah dissenting opinion yang disampaikannya atas uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, Harjono menyatakan Mahkamah tidak menguraikan argumentasi yang kuat perihal kedudukan hukum penggugat. "Hanya yang punya kepentingan secara langsung sajalah yang dapat mengajukan perkara ke pengadilan," katanya.
Harjono juga berbeda pandangan perihal basis hukum Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Menurut dia, badan ini tetap sah walau tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi tak ada ketentuan yang melarang pembentukan badan pemerintah dalam undang-undang tersebut.
Seperti Harjono, Kepala BP Migas Raden Priyono juga mempersoalkan para penggugat. "Kalau yang memprotes Ikatan Ahli Teknik Perminyakan atau asosiasi profesi yang terkait dengan perminyakan dan perdagangan, itu oke" (lihat "Kelucuan Ini Melebihi Srimulat").
Sebagian besar dari 12 penggugat adalah organisasi kemasyarakatan Islam, di antaranya Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Umat Islam, dan Al-Irsyad al-Islamiyah. Satu lainnya adalah Solidaritas Juru Parkir. Selain itu, 30 penggugat perorangan juga dekat dengan lembaga keislaman, Mereka di antaranya Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, dan A.M. Fatwa. "Siapa sih di balik yang memprotes ini? Kompetensi mereka jauh sekali dengan bisnis yang kami kelola," kata Priyono bersungut.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, berpendapat lain. Menurut dia, kendati tak berkecimpung langsung dengan dunia minyak dan gas, para pemohon diizinkan undang-undang menyampaikan keberatan. Menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang berhak mengajukan gugatan terhadap produk hukum adalah orang yang dirugikan. Ada dua tafsir atas "pihak yang dirugikan" itu: faktual dan potensial.
Mengacu pada praktek Mahkamah pada 2003-2009, tafsir kedualah yang dipakai. Ini, kata Zainal, mengacu pada prinsip tax payer: siapa yang membayar pajak dan menganggap suatu undang-undang tak bagus boleh mengajukan uji materi. "Tidak perlu legal standing," ujarnya. "Setiap orang bisa menguji undang-undang. Sebab, setelah diberlakukan, undang-undang itu mengikat semua orang."
Muhammadiyah adalah salah satu penggugat tadi. Menurut Syaiful Bakhri, kuasa para pemohon, gugatan organisasi keagamaan itu merupakan amanat muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta, 3 Juli 2010. Salah satu amanat rapat akbar: pengurus pusat diminta mencerÂmati perundang-undangan yang tidak memihak rakyat.
Berbekal pesan muktamar tadi, Majelis Hukum Muhammadiyah mengadakan rangkaian diskusi, di antaranya mengundang mantan Menteri Keuangan Kwik Kian Gie dan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli—dua tokoh yang juga ikut mengajukan judicial review. Hasil diskusi itu: Undang-Undang Migas dianggap tidak prorakyat.
Di tempat lain, menurut sumber Tempo, pertengahan tahun lalu seorang bekas Deputi Perencanaan BP Migas pernah mendatangi Hasyim Muzadi. Kepada mantan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, dia menyerahkan 35 lembar dokumen berisi daftar masalah di BP Migas.
Oleh Hasyim, dokumen itu dibawa ke Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Gayung bersambut. Majelis Hukum Muhammadiyah mendapat tamÂbahan peluru. Pertemuan bersama digelar. Mantan deputi tadi diundang untuk melakukan presentasi. Hasil diskusi itu dipakai sebagai bekal uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Kepada Tempo, Syaiful membantah cerita itu. "Pak Hasyim tidak membawa dokumen," katanya. "Dua kali datang, Pak Hasyim hanya membacakan doa."
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo