Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hasil program cetak sawah di Kalimantan dan Sulawesi tidak optimal.
Cetak sawah dilakukan di lahan yang tidak cocok untuk tanaman padi.
Pembayaran upah buruh untuk program cetak sawah bermasalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAHAN yang dibuka untuk program cetak sawah di Desa Sungai Batang, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, itu tak lagi dilirik petani. Alih-alih ditanami padi, lahan tersebut malah dipenuhi ilalang. "Jika ada yang bilang cetak sawah sukses di Sungai Batang, itu bohong," ujar Bendahara Kelompok Tani Sepakat Desa Sungai Batang, Zuhaimi, kepada Tempo, Selasa lalu.
Zuhaimi menuturkan, lahan itu tidak bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi. Tanah rawa lebak di kawasan tersebut rusak, mengeras menjadi tanah liat akibat digilas mesin berat. Petani yang sebelumnya mengolah lahan dengan mesin kemudian terpaksa kembali memakai alat tradisional, seperti sabit dan cangkul. Area sawah itu juga minim air.
Menurut Zuhaimi, saat ini tersisa sekitar 5 hektare lahan hasil program cetak sawah yang masih bisa dimanfaatkan. Namun dia memilih mengolah lahan sendiri di tempat lain yang lebih produktif. Ada juga alasan lain yang memicu petani meninggalkan lahan hasil cetak sawah, yaitu upah buruh yang tersendat. Zuhaimi mengaku dijanjikan menerima honor Rp 150 ribu per hari selama sebulan saat mencetak sawah. Namun, setelah menyelesaikan tugasnya, upah senilai Rp 1,5 juta tak kunjung ia terima.
Kisah Zuhaimi dan kelompok taninya menjadi sisi suram dari gembar-gembor proyek cetak sawah yang menjadi bagian dari program ketahanan pangan pemerintahan Joko Widodo. Cerita senada datang dari daerah lain. Di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, misalnya, lahan hasil program cetak sawah di Kecamatan Laeya dan Lainea juga telantar. Di Desa Lambakara, Lainea, lahan yang terbengkalai mencapai 40 hektare. Salah satu penyebabnya, lahan tersebut bersebelahan dengan hutan bakau.
Persoalan serupa terjadi di Kelurahan Ceppaga, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Dari lahan cetak sawah seluas 100 hektare, hanya separuhnya yang bisa dimanfaatkan. Iskandaria, anggota kelompok tani Kelurahan Ceppaga, menuturkan sawah yang berdekatan dengan sungai bisa digunakan untuk menanam padi dua kali dalam setahun. Namun area yang jauh dari sumber air hanya berproduksi selama musim hujan.
Area sawah baru itu dicetak di atas rawa dan lahan bekas tanaman kakao serta kayu jati. Sebagian lokasinya berada di tebing dan jauh dari permukiman. Saat dicetak sebagai sawah, lahan tersebut ditimbun dengan tanah sehingga penyaluran air ke lokasi yang jauh dari sungai membutuhkan bantuan pompa. Iskandaria menggarap lahan seluas 3 hektare yang berjarak 500 meter dari sungai. Di luar musim hujan, dia berhenti menanam padi karena kesulitan air. "Kalau tidak hujan, kami tanam kacang dan jagung," tuturnya.
Ketika program cetak sawah dimulai, para petani sempat diberi janji bantuan pompa air dari pemerintah. Namun hingga saat ini alat tersebut tak kunjung tiba ke tangan delapan kelompok tani yang mengelola sawah di Ceppaga. Iskandaria berharap pemerintah segera menyalurkan kedua alat itu untuk membantu produksi.
Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Bone, Andi Tenriawaru, mengklaim telah memenuhi sebagian kebutuhan pompa air untuk petani. "Tapi ada juga yang belum kami penuhi," kata dia.
Selain di Kabupaten Bone, cetak sawah dilakukan di Kabupaten Pinrang dan Wajo sebanyak 33 lokasi. Produksi di kawasan tersebut tidak optimal karena masalah jaringan irigasi.
Tenriawaru berharap pemerintah pusat melanjutkan program cetak sawah, lantaran masih ada sekitar 2.000 hektare yang siap dibuka menjadi sawah baru. Dari sawah baru di Bone, penanaman sudah bisa dilakukan dua kali dalam setahun dengan hasil rata-rata 4-5 ton per hektare.
Lahan program cetak sawah yang terbengkalai karena minimnya pengairan di Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, 18 Februari lalu. TEMPO/Rosniawati Fikri
Persoalan di sejumlah daerah itu terekam juga dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap program cetak sawah yang digelar selama 2015-2017. Dalam dokumen yang terbit pada Februari 2020 itu, BPK melaporkan hasil uji petik di 14 provinsi dari total 28 provinsi yang menjadi lokasi program cetak sawah.
Hasil pemeriksaan BPK menyebutkan Kabupaten Banjar sebagai salah satu daerah yang belum memiliki irigasi memadai. Dampaknya, sawah hasil pencetakan kerap kekurangan air di musim kering atau kebanjiran di musim hujan. Irigasi yang tidak memadai juga ditemui di 320 lokasi uji petik. Sedangkan di Konawe Selatan, BPK menyebutkan lahan terbengkalai karena tidak siap tanam. Lahan berupa tanah berbatu dan top soil dikupas serta tidak dikembalikan, sehingga lapisan suburnya hilang.
Dari temuan itu, BPK menyatakan program cetak sawah tidak optimal. Padahal, saat memulai proyek tersebut, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menargetkan mampu melakukan swasembada beras mulai 2018. Amran menggandeng TNI Angkatan Darat untuk menggarap program cetak sawah, melalui nota kesepahaman yang diteken bersama Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 2015 serta Panglima TNI pada 2016-2017.
BPK juga menemukan persoalan pada tahap pelaksanaan cetak sawah, antara lain adanya kelebihan perhitungan sewa alat senilai Rp 68,65 miliar hingga laporan honor tidak sesuai dengan realisasi. BPK kemudian menerbitkan rekomendasi agar Menteri Pertanian mengevaluasi program tersebut, sekaligus menerapkan pemantauan serta evaluasi kondisi lahan pasca-cetak.
Saat dimintai tanggapan, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Achmad Riad hanya berujar pendek. “Maaf, itu program lama. Saya tidak mengikuti.” Sedangkan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, menyatakan telah menindaklanjuti rekomendasi BPK. "Kalau ada pemeriksaan, langsung kami tanggapi dengan bukti-bukti," ujarnya, kemarin. Namun Sarwo tidak menjelaskan secara mendetail upaya yang dilakukan sebagai tindak lanjut temuan BPK.
Ihwal evaluasi kondisi lahan pasca-cetak sawah, Sarwo menuturkan pemerintah mengandalkan laporan dari daerah. Untuk perbaikan jaringan irigasi tersier, kata dia, Kementerian Pertanian menganggarkan dana setiap tahun berdasarkan usulan dinas pertanian.
Program cetak sawah berakhir pada 2017. Selama 2018-2019, Kementerian Pertanian mengoptimalkan lahan rawa untuk menambah produksi beras dalam negeri. Sarwo mengklaim rata-rata produksi di lahan basah ini sudah mampu mencapai 5 ton per hektare dari sebelumnya hanya 2 ton per hektare.
Sejak 2020, pemerintah memasukkan program food estate untuk menjaga stabilitas pasokan beras dengan optimalisasi lahan. Bedanya, kali ini bukan hanya padi yang menjadi fokus, tapi juga tanaman pangan lainnya.
DIANANTA P. SUMEDI (BANJAR), DIDIT HARIYADI (MAKASSAR), ROSNIAWANTI FIKRI (KONAWE), VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo