Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa Penyidik KPK Gagal Menangkap Hasto Kristiyanto

Penyidik KPK urung menangkap Hasto Kristiyanto. Penyelidik justru ditangkap sekelompok polisi.

11 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tim Komisi Pemberantasan Korupsi menduga Hasto Kristiyanto terlibat suap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.

  • Sekelompok polisi menahan tim KPK hingga tujuh jam di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

  • Pejabat dan pemimpin KPK tak berani menetapkan Hasto sebagai tersangka.

SEBELUM keduanya menuju kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Nurhasan memberi tahu Harun Masiku untuk merendam telepon selulernya di dalam air. Tak bisa menjelaskan alasannya, Nurhasan kemudian menawarkan diri untuk menjemput Harun di dekat sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di sekitar Cikini, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membelah kawasan Menteng, Harun membonceng sepeda motor yang dikendarai Nurhasan ke arah Mampang, Jakarta Selatan. Menembus gerimis pada Rabu malam, 8 Januari lalu, itu, keduanya kemudian bergerak ke arah Blok M dan tiba di kompleks PTIK di Jalan Tirtayasa Raya Nomor 6 sekitar pukul 20.00. Di sana, Sekretaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto dikabarkan tiba lebih dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerak-gerik mereka dipantau oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi. Siang beberapa jam sebelumnya, KPK menangkap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, karena diduga menerima suap untuk meloloskan Harun ke Dewan Perwakilan Rakyat. Bersama Wahyu, tujuh orang lain juga digulung. Dua di antaranya Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, kader PDIP yang dianggap dekat dengan Hasto Kristiyanto.

Harun calon anggota legislatif dari PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Pada Pemilihan Umum 2019, perolehan suaranya di urutan kelima. PDIP ingin mengganti Nazarudin Kiemas, calon legislator peraih suara terbanyak, yang meninggal tiga pekan sebelum pencoblosan, dengan Harun. Tapi, sesuai aturan, KPU menetapkan Riezky Aprilia, peraih suara terbanyak kedua, sebagai calon anggota DPR.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI, Wahyu Setiawan, resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pasca terjaring operasi tangkap tangan KPK, di gedung KPK, Jakarta, 10 Januari lalu./TEMPO/Imam Sukamto

Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun dan Hasto, yang ditengarai mengetahui penyuapan. Nurhasan dilepaskan dari pengawasan karena bukan target kakap. Sehari-hari ia bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Hasto di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng.

Sembari terus memantau keberadaan target, lima penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK. Ketika hendak masuk masjid, mereka malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun buyar. “Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari lalu.

Di antara polisi yang menawan petugas KPK, salah seorangnya adalah Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Ajun Komisaris Besar Hendy Febrianto Kurniawan. Para polisi mengambil foto tim KPK dan memaksa mereka menyerahkan password ponsel masing-masing.

Mendengar keributan, seorang petugas KPK yang bersiaga di sekitar pintu depan PTIK merapat ke masjid. Ia mengenali Hendy, yang pernah bertugas di KPK. Hendy mundur dari lembaga antirasuh dan kembali ke Polri pada 2012. Pada 2015, ia pernah menjadi saksi yang memojokkan KPK dalam sidang praperadilan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kepala Polri saat itu.

Disapa oleh mantan koleganya di KPK, Hendy menyatakan tak kenal. Ia dan para polisi kemudian menggelandang lima petugas KPK ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Polisi pun memaksa para penyelidik itu menjalani tes urine.

Para penyelidik itu ditahan sekitar tujuh jam. Mereka baru dilepas setelah Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak tiba di sana sekitar pukul 03.30, Kamis, 9 Januari lalu. Menurut Ali Fikri, ada kesalahpahaman antara penyelidik KPK dan polisi. “Kemudian diberitahukan petugas KPK, lalu mereka dikeluarkan,” ujar Ali.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan proses interogasi merupakan hal yang lumrah. Dia mengklaim pemeriksaan berlangsung tidak lama karena tim KPK dijemput atasannya. “Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah,” kata Argo. “Dari pemeriksaan, mereka hanya akan salat.” Tempo mencoba menghubungi dua nomor ponsel Hendy, tapi tak ada yang aktif.

Hasto Kristiyanto membantah berada di kompleks PTIK pada Rabu malam itu. “Tidak,” ujarnya. Ia mengklaim sedang di suatu tempat karena sakit perut. Ia juga beralasan sedang sibuk menyiapkan rapat kerja nasional PDIP, yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke-47 partai banteng, di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Adapun Nurhasan saat dimintai konfirmasi mengaku pada Rabu malam itu sibuk mondar-mandir dari Sutan Syahrir 12A ke Kemayoran untuk membantu persiapan rapat kerja nasional PDI Perjuangan. “Saya sakit karena dua hari ini hujan-hujanan di jalan,” kata pria 38 tahun itu. Nurhasan menyanggah mendapat perintah untuk mengantar Harun Masiku. “Tugas saya cuma buka-tutup pagar di rumah itu,” ujarnya. Adapun Harun hingga Sabtu sore, 11 Januari lalu, masih buron.


•••

TIGA Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, dan Nawawi Pomolango, memimpin gelar perkara kasus dugaan suap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, pada Kamis siang, 9 Januari lalu. Ketua KPK Firli Bahuri sedang berdinas ke Surabaya, sedangkan Wakil Ketua KPK lainnya, Nurul Ghufron, tak masuk karena sakit. Tim penindakan menyampaikan bahwa mereka menangkap delapan orang dalam operasi tangkap tangan sehari sebelumnya.

Perkara ini diselidiki sejak akhir November 2019. Surat perintah penyelidikan diperpanjang pada 20 Desember, sehari sebelum pemimpin KPK periode saat ini menjabat.

Tim menangkap Wahyu Setiawan setelah mendapat informasi bahwa bekas Ketua KPU Jawa Tengah itu meminta uang Rp 50 juta kepada orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina Sitorus. Uang ini bagian dari suap untuk Wahyu, yang dititipkan Saeful Bahri kepada Agustiani pada 26 Desember 2019. Saeful menyerahkan Rp 400 juta dalam bentuk dolar Singapura. Ia juga memberikan Rp 50 juta untuk Agustiani.

Pada 27 Desember, Agustiani bermaksud menyerahkan semuanya kepada Wahyu di pusat belanja Pejaten Village, Jakarta Selatan. Namun Wahyu menolak mengambilnya dan meminta Agustiani menyimpannya. Barulah pada Rabu sebelum digari, ia meminta Agustiani mentransfer Rp 50 juta ke rekening saudaranya. Sebelum itu terjadi, tim KPK menangkapnya di atas pesawat saat ia hendak terbang ke Belitung. Secara paralel, tim lain bergerak ke Depok, Jawa Barat, untuk menangkap Agustiani di rumahnya. “Tim menyita duit Rp 400 juta dalam bentuk dolar Singapura serta buku tabungan,” kata Lili Pintauli.

Sumber duit ini dari Harun Masiku. Ia menyerahkan duit Rp 850 juta kepada Riri, anggota staf kantor PDIP, di kantor Hasto di Sutan Syahrir 12A. Duit kemudian berpindah tangan hingga ke Saeful, yang baru kembali dari Singapura. Setelah menerima duit dari Harun, menurut sumber Tempo, Saeful ditengarai melapor kepada Hasto. Menurut Lili Pintauli dalam konferensi pers, setelah dipotong untuk biaya kesekretariatan, uang di tangan Saeful tinggal Rp 450 juta, yang kemudian diteruskan kepada Agustiani.

Sesungguhnya ini pembayaran kedua kepada Wahyu. Pada 16 Desember, masih menurut sumber yang tadi, Hasto diduga memberikan Rp 400 juta kepada Saeful lewat Donny Tri Istiqomah. Keesokan harinya, Saeful menukarkan sekitar Rp 200 juta menjadi Sin$ 20 ribu, lalu diberikan kepada Agustiani di pusat belanja Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Sorenya, Wahyu hanya mengambil Sin$ 15 ribu dari Agustiani saat mereka bertemu di Pejaten Village. Setelah diperiksa KPK, Saeful membenarkan bahwa sumber duit dari Hasto. “Iya, iya,” ujarnya kepada wartawan yang mencegatnya di gedung KPK.

KPK menengarai duit-duit tersebut bagian dari Rp 900 juta yang diminta Wahyu pada September 2019, setelah PDIP lewat Saeful melobi Wahyu untuk meloloskan Harun Masiku ke DPR. Berbekal surat berisi penetapan calon legislator dan fatwa Mahkamah Agung soal penetapan calon anggota legislatif terpilih, Saeful pada akhir September itu menemui Agustiani dan mengutarakan maksudnya.

Agustiani kemudian meneruskan pesan itu kepada Wahyu, yang menjawab, “Siap. Kita mainkan.”


Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.

Ternyata Wahyu tak sanggup menggunakan pengaruhnya untuk mengubah keputusan KPU dalam rapat pleno pada 7 Januari lalu. KPU menolak permohonan PDIP untuk mengganti Riezky Aprilia dengan Harun Masiku. Menurut Lili Pintauli, Wahyu sempat menghubungi Donny dan menjanjikan akan mengusahakan lagi pergantian antarwaktu bagi Harun.

Wahyu juga mengontak Agustiani bahwa ia akan mengupayakan pleno lagi. Ia berjanji akan menyampaikan ke komisioner lain mengenai permohonan PDIP. Terkait dengan upaya tersebut, Wahyu kemudian meminta duit Rp 50 juta kepada Agustiani untuk biaya “entertain” di tempat karaoke bersama dengan Donny dan salah seorang anggota staf komisioner Ketua KPU Arief Budiman bernama Ari.

Arief membantah punya anggota staf atau orang kepercayaan bernama Ari. “Tidak ada,” ucapnya. Permintaan uang dari Wahyu kepada Agustiani untuk berkaraoke inilah yang berujung pada penangkapan oleh tim KPK.

Meski peran Hasto dan Donny terang-benderang, gelar perkara di KPK membahas peran mereka. Salah seorang pejabat KPK langsung mengambil kesimpulan Hasto tak terlibat. “Siapa yang berani Hasto tersangka? Enggak ada, kan?” ujar pejabat itu sebagaimana ditirukan tiga orang yang mengetahui kejadian tersebut.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango kemudian menengahi. Menurut mantan hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar itu, Harun memang harus menjadi tersangka, sedangkan Hasto masih jauh. Nawawi juga menganggap Donny adalah pengacara partai yang sedang menjalankan tugasnya sehingga tidak bisa dijerat. Karena itu, KPK hanya menetapkan Wahyu dan Agustiani sebagai penerima suap. Sedangkan Saeful dan Harun dijerat dengan pasal pemberi suap.

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, bersama penyidik menunjukkan barang bukti uang hasil operasi tangkap tangan KPK Komisioner KPU RI, di gedung KPK, Jakarta, 9 Januari lalu./TEMPO/Imam Sukamto


Ketika dimintai konfirmasi lagi, Nawawi tak merespons pesan Tempo. Adapun Lili Pintauli mengakui percakapan antara Hasto dan Saeful serta Donny disampaikan saat gelar perkara. Ia masih membuka peluang ada nama lain yang terjerat. “Kan, kalau dari penyelidikan ada, belum tentu orangnya cuma itu. Bisa berkembang. Tinggal di penyidikan nanti dikembangkan,” kata bekas komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban itu.

Dalam ekspose, emosi Lili dikabarkan sempat meluap setelah mengetahui petugas hendak menyegel ruangan Hasto di kantor PDIP. Ia disebut melarang kegiatan penyegelan sesudah operasi tangkap tangan di masa mendatang. Ditanyai soal ini, Lili membantah. “Tidak ada itu,” ucapnya.

Setelah urung ditangkap KPK, Hasto akhirnya memberikan pernyataan. Ia membantah terlibat suap terhadap Wahyu Setiawan, baik sebagai penyandang dana maupun memberikan perintah. “Informasi itu menunjukkan ada berbagai kepentingan untuk menggiring opini,” katanya. Ia juga menyanggah mengenal dekat Harun. “Dia sosok yang bersih dan cukup baik rekam jejaknya dalam pembinaan hukum selama ini.”

Adapun soal Saeful dan Donny, Hasto menyatakan tak mengenalnya. “Kami belum tahu siapa mereka,” ujarnya. “Kami akan menunggu proses di KPK."

Donny belum bisa dimintai konfirmasi. Dihubungi berkali-kali, nomor teleponnya tak aktif. Sedangkan Wahyu, setelah diperiksa KPK pada Jumat dinihari, 10 Januari lalu, hanya menunjukkan surat permintaan maaf kepada KPU. "Kejadian ini murni masalah pribadi saya dan saya menghormati proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK," demikian isi suratnya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Budiarti Utami Putri, M. Rosseno Aji, dan Dewi Nurita berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Bawah Lindungan Tirtayasa"

Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus