Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Penyebaran berita bohong atau hoaks dinilai tak banyak berpengaruh pada elektabilitas Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno pada pemilihan presiden tahun ini. Peneliti senior lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Rizka Halida, mengatakan hoaks hanya ramai menjadi perbincangan di kalangan pendukung calon presiden. "Hoaks laku di kalangan pendukung, tapi tak menggoyang ‘iman’ politik pendukung pasangan calon lain," kata Rizka di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizka mengatakan kecenderungan tersebut muncul setelah sejumlah survei tak menunjukkan perubahan di tengah kabar hoaks yang semakin gencar. Menurut dia, hal ini dipengaruhi beberapa faktor. Misalnya, faktor keterbukaan selektif publik untuk menentukan mana yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan (selective exposure) serta kecenderungan untuk memperhatikan informasi yang mendukung hal-hal yang dipercaya benar (confirmation bias). "Kalau ada hoaks yang menimpa calonnya, mereka akan curiga bahwa hoaks itu disebarkan lawan. Kalau hoaks menimpa lawan, mereka cenderung percaya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecederungan ini tertangkap dalam survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada awal Januari lalu. Dalam survei Media Sosial, Hoaks, dan Sikap Partisan dengan 1.220 responden dan tingkat kesalahan 2,9 persen, sebanyak 20 persen responden mengetahui tuduhan bahwa Jokowi terlahir dari orang tua beragama Kristen. Di antara yang mengetahui, sebanyak 57 persen tidak percaya, sedangkan 20 persen mempercayai. Soal isu hoaks kebangkitan PKI, dari 18 persen responden yang mengetahui isu tersebut, sebanyak 85 persen menganggap kebangkitan PKI sebagai ancaman.
Survei ini juga menyoroti isu personal Prabowo. Dari 30 persen responden yang mengetahui keterkaitan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis 1997/1998, sebanyak 40 persen mempercayai informasi tersebut, 33 persen tidak percaya, dan 27 persen tak menjawab. Survei ini berkesimpulan bahwa faktor partisan mempengaruhi sikap publik soal isu personal kandidat. "Mayoritas basis pendukung Jokowi tidak percaya dengan isu personal Jokowi dan basis Prabowo tak percaya dengan isu personal Prabowo," ujarnya.
Kemunculan isu ini pun tak berpengaruh pada efek elektabilitas. Sesuai dengan survei Indikator Politik Indonesia tersebut, Jokowi mengungguli Prabowo dengan elektabilitas sebesar 54,9 persen berbanding 34,8 persen. Angka ini relatif stagnan sesuai dengan hasil sejumlah survei sebelumnya. Pada survei termutakhir Lingkaran Survei Indonesia Danny JA yang dirilis kemarin, Jokowi-Ma’ruf unggul dengan elektabilitas 58,7 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga 30,9 persen. Sebanyak 9,9 persen responden belum menentukan sikap dalam survei yang menggunakan 1.200 responden dengan margin of error 2,9 persen.
Peneliti dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, mengatakan hal senada. Menurut dia, penyebaran hoaks lebih berpengaruh pada pemilih yang belum menentukan sikap. "Hoaks lebih berpengaruh pada tingkat partisipasi dan meningkatkan angka golput," ujarnya. Arya berpendapat bahwa keberadaan hoaks cenderung mengikis tingkat kepercayaan kalangan milenial yang tak terafiliasi dengan kelompok politik praktis.
Efek kabar kibul kembali menjadi sorotan setelah Jokowi mengeluhkan penurunan elektabilitas sebesar 8 persen di Jawa Barat pada Sabtu lalu. Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Maman Imanul Haq, mengatakan timnya telah mengerahkan relawan seperti Timsus 1901, Milenial Muslim, Relawan Santri KMA (Kiai Ma’ruf Amin), dan Anak Republik untuk menangkal kabar hoaks. "Mereka bergerak sistematis, masif, dan militan menjaga suara," ujarnya.
Adapun juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengatakan hal serupa. Sambil memantau percakapan di media sosial, ia menjelaskan, Badan Pemenangan meminta para calon legislator, relawan, dan simpatisan memberi pesan positif tentang Prabowo kepada publik. "Masyarakat mulai obyektif dan rasional dan stigma negatif mulai terkikis," tuturnya. DEWI NURITA | ARKHELAUS WISNU
Elektabilitas Stagnan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo