Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hujan emas di tahun naga

Di Indonesia sedang dilanda Gold Rush (demam tambang emas). Berbagai investor dari berbagai negara berdatangan. Menimbulkan konflik antara penambang rakyat dan penambang liar. Produksi masih rendah.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba gerakan semacam gold rush muncul di Indonesia. Berbagai penanam modal dari berbagai negara datang, mencoba membalik-balik batu di bukit di hutan-hutan di tujuh provinsi, berharap menemukan logam kuning mulia itu. Konflik pun, dengan para penambang rakyat dan penambang liar, tak terhindarkan. DI hutan belantara itu, rumah-rumah kayu berdesakan. Warung bemmunculan. Ojek bersimpang siur dengan tarif yang mahal, antara Rp 5.000 dan Rp 10.000. Tiga bioskop -- sebenamya hanya video -- adu keras mempromosikan filmnya. Anda harus mengeluarkan Rp 500 untuk duduk di papan yang disusun bertrap-trap berkapasitas 30 orang, untuk nonton gambar hidup selebar televisi. Jip Toyota beratap terbuka hilir mudik mengangkut segala kebutuhan. Judi, bir, dan pelacuran adalah kehidupan sehari-hari. Polisi dan tentara kecamatan pun betah di situ, bahkan mereka berharap agar tidak dipindahkan. Memang, hutan itu sudah jadi kota, kota emas. Sebuah kota yang tak bakal ditemukan di peta, yang oleh mereka yang tak menyukainya lalu disebut unregistered town. Dan sebagaimana di zaman gold rush di Amerika, dunia tambang emas di Kalimantan Tengah pun juga sebuah dunia yang keras. "Belum lama ini tiga orang mati terkubur hidup-hidup," kata Anggun Seto, staf geologi perusahaan tambang emas PT Indo Muro Kencana. Sebelumnya, ada yang terengah-engah di dasar lubang kehabisan oksigen. Lalu blukk . . .. jatuh ke dasamya. Tewas. Memang, tak terdengar kisah munculnya jago-jago tembak yang jadi centeng penambang emas seperti kisah-kisah koboi Wild West. Juga tak ada adegan semacam dalam film Charlie Chaplin Gold Rush (1925): Chaplin, yang ingin kaya raya, sampai kelaparan dan merebus sepatu sendiri dalam perjalanan mencari emas. Juga mengalimya mereka yang mimpi emas tak sebesar yang, misalnya, terjadi di Califomia,~ 1848, demam emas pertama. Diawali oleh seorang tukang kayu yang menemukan bongkahan emas di sungai tempat ia mendirikan penggergajian kayu, lalu mengalirlah lebih dari 80.000 manusia pencari emas ke hutan-hutan dan tepi sungai di benua baru tersebut. Tapi tantangan alam di jantung Kalimantan tak kurang serunya. Merambah hutan, menembus bumi, bergelimang lumpur dan batuan. Lalu persaingan memperebutkan tambang juga tak kurang ramainya. Hingga November lalu Menteri Pertambangan dan Energi Subroto memberikan batas waktu toleransi bagi para penambang liar sampai 1 Juli 1988. S~sudah batas itu, mereka akan ditindak dengan tegas. Memang, antara yang berizin dan tak berizin sering bentrok. Misalnya Pennzoil, pemegang saham terbesar PT Indo Muro Kencana, datang ke bekas hutan yang dulu dikuasai perusahaan HPH Jayanti Group di Bukit Muro, sejumlah warga setempat sudah menambang emas di bukit itu. Mereka ini disebut penambang tradisional yang hak-haknya dilindungi pemerintah. Diharapkan perusahaan modem yang mendapat konsesi pun melindungi mereka. Tapi, begitu Pennzoil mengeksplorasi daerah itu, segera tersebarlah kabar bahwa bukit itu memang banyak mengandung emas, dan segera berbondonglah petualang emas dari luar kawasan itu. Mereka inilah yang dicap sebagai penambang liar. Dengan cepat perkampungan baru para pencari emas tumbuh di wilayah Pennzoil. Lubang demi lubang tambang digali. Batu-batu dikeduk, dihancurkan, diambil emasnya. Pennzoil tentu tak ingin bagian emasnya diambil oleh petualang-petualang yang bukan warga setempat. Dengan bantuan aparat keamanan, kampung liar itu digusur. Sebenarnya, Pennzoil juga harus berterima kasih kepada mereka: lubang-lubang yang telah dibuat oleh mereka yang diusir itu memudahkan perusahaan mencari urat emas di batu-batuan. Perselisihan pun marak. Ancaman bukan sekali saja terjadi. Terutama terhadap orang-orang asing. Selang air pengeboran milik perusahaan bukan sekali-dua kali kedapatan terpotong. "Kalau tiba-tiba airnya berhenti, pasti ada selang dibacok," tutur Anggun. Memang tak mudah mengecek tiap meter selang air yang panjangnya berkilo-kilo itu. Dan bila sudah begitu, perkara sepele bisa meledakkan perkelahian. Hanya karena buruh tambang perusahaan berebut pelacur dengan para penambang liar. Atau karena kendaraan mereka berserempetan, misalnya. Walau pihak perusahaan mengerahkan aparat keamanan, para penambang liar tak pemah jera. Konon, mereka dicukongi oleh orang-orang Cina Hong Kong. Cukong membelikan peralatan untuk menumbuk batu dan memberi biaya untuk mendirikan warung yang akan menjadi semacam kantor dan basis para penambang. Di warung itu para penambang tanpa surat izin yang datang dari Jawa, Sumatera, dan Sulawesi mengikat kerja sistem bagi hasil dengan para cukong. Para petualang tak segan menjarah konsesi emas milik suatu perusahaan dengan menyaru sebagai pendulang tradisional. Dan kemudian antara penambang tradisional dan penambang liar pun baur. Perselisihan segi tiga akhirnya meledak: antara penambang liar, tradisional, dan perusahaan. Di Ampalit, masih di provinsi itu pula, umpamanya. PT Ampalit Mas Perdana bersusah payah mengusir belasan ribu orang yang menjarah konsesinya. Tapi para pendatang baru terus berdatangan, yang setelah berbaur dengan penambang tradisional memang susah dibedakan. Di Sulawesi Utara, termasuk daerah tambang emas baru, para penambang emas tradisional tak mau menerima pembagian wilayah yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak penambangan. Mereka menuntut ganti rugi Rp 1 juta untuk setiap meter tanah yang harus diserahkan pada perusahaan. Tentu saja tuntutan itu tak ada dasar hukumnya, sebab semua pertambangan adalah milik negara. Emas memang membinarkan. Emas berarti uang, dan siapa tak ingin memilik uang? Dalam setahun belakangan ini, tambang emas bukan lagi hanya di Cikotok atau Rejanglebong seperti yang diajarkan oleh pak guru di sekolah. Tapi tambang-tambang emas kini ditemukan menyebar dari Aceh hingga Irian Jaya. Gold rush, demam emas, menjelang akhir abad ke-20 ini tiba-tiba muncul di Indonesia. Berbagai negara mengirimkan kontingennya. Dari Inggris datang BP Mineral. Amerika Serikat menyertakan Duval Alluvial Mining Inc. dan Pennzoil. Kontingen Malaysia dan Hong Kong adalah Osbom & Chappel International Ltd. dan Jimberlana Mineral. Sedang si pemburu emas ulung, Australia, diwakili oleh Pelsart, Jasan Mining, Nothern & Energy Ltd., East West Minerals, juga Paringa Mining and Exploration Company. Maka tuan rumah, Departemen Pertambangan, jadi sibuk mengatur "pertandingan". Tahun lalu 60 kontrak karya diteken. Tahun sebelumnya sudah 43 kontrak ditandatangani. Maka, jadilah 6,4 juta hektar lahan dirambah, dijadikan tambang emas. Serasa mimpi, semua pihak lalu berharap Suvarnabhumi -- bahasa Sansekerta, artinya tanah emas, sebutan untuk Nusantara di zaman baheula, menjadi kenyataan. Awalnya adalah ambisi Australia yang ingin terus mengejar emas. Mereka meneliti, lalu mengembangkan teori. Daerah bergunung api purba, menurut mereka, adalah lumbung-lumbung emas. Jadi, negara-negara di Sabuk Pasifik (yang umumnya punya banyak gunung api purba) adalah ladang emas. Tentu Indonesia juga. Sebelum keduluan orang lain, mereka beramai-ramai menanamkan uangnya untuk menambang emas Indonesia. Indonesia pun murah hati. Kedatangan para pemburu emas asing disambut hangat. Bahkan lalu diturunkan peraturan yang kini lagi populer: deregulasi - larangan mengekspor emas dicabut setah~un yang lalu. Lalu ongkos menambang bagi perusahaan asing ditentukan hanya US$ 11 untuk setiap kilogram emas (sebilai sekitar US$ 14.000) -- ongkos yang bukan main murahnya, kurang dari sepermil. Para investor pun tersenyum. Kesempatan memang terbuka bagi Indonesia. Tengoklah Afrika Selatan, negeri rasialis penghasil emas terbesar di dunia. Dari negeri ini dikeduk emas 680 ton per tahunnya, memenuhi sekitar 70% permintaan dunia. Tapi pergolakan politik di ujung selatan Afrika itu, yang antara lain menyebabkan pemogokan buruh tambang berkulit hitam, menyusutkan produksi emasnya. Ini pula antara lain yang menyebabkan pemilik modal Australia melirik Indonesia. Dan di tahun Naga Emas (1988) kini diduga konsumsi emas akan naik. Kebijaksanaan Prancis menunda penebusan obligasi Gischard yang dinilai dengan emas diperkirakan akan menyerap 200 ton logam mulia ini. Lalu kain emas juga makin kuat posisinya, khususnya Maple Leaf yang dikeluarkan oleh Kanada. Ini semua akan mengatrol harga pasaran emas internasional. Memang, sampai tahun ini produksi emas Indonesia masih rendah. Tiga perusahaan yang beroperasi saat ini hanya menghasilkan emas jauh di bawah produksi Filipina (39 ton per tahun) dan Papua Niugini (36 ton). Di tambang lama di Cikotok, PT Aneka Tambang mengeduk 400 kg per tahun. PT Lusang Mining yang memanfaatkan tambang terbengkelai di Bengkulu, menghasilkan 900 kg setelah tahun pertama beroperasi hanya mendapat 15 kg. Freeport Tembagapura di Irian Jaya-lah yang terbanyak, sekitar 2 ton. Padahal, emas bagi Freeport hanyalah hasil samping tambang tembaganya. Sedang pertambangan tradisional, menurut Menteri Subroto, hanya menyumbang 1,5 ton setahun. Tapi memang, harapan berbinar-binar. PT Ampalit Mas Perdana di Kalimantan Tengah, yang siap berproduksi dengan konsesi 2.500 hektar selama 20 tahun, diperkirakan mampu menggali 150 ton per tahun. Pada penelitian perusahaan itu, wilayah Ampalit memang kaya emas. Menurut Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Victor Phaing, setiap meter kubik tanah di situ mengandung 0,2 hingga 2,4 gram emas. Kadar emasnya pun mencapai 98~%.Di wilayah ini PT Indo Muro Kencana pun beroperasi. Lalu, Kalimantan Selatan juga telah mengkapling wilayah tambangnya untuk sejumlah perusahaan dan rakyat. Di antaranya PT Beis Tambangulang Mining, Sungai Hali Minerals, Batubah Uya Mining, Meratus Sumber Mas dan Pleihari Mas Utama. Dua perusahaan terakhir sudah siap berproduksi. Masing-masing di Kotabaru dan Tanah Laut, seluas 189 ribu dan 102 ribu hektar. Lampung pun tak mau ketinggalan ber-emas ria. Usaha Haji Rusdi, misalnya, cukup berkilauan, biarpun pertambangannya hanya sedikit di atas kelas pertambangan rakyat, jauh dari modern. Lepasan kelas III sekolah rakyat itu menguasai 1.600 ha areal tambang di Gunung Pesawaran. Perusahaan ulama ini, CV Karya Bukit namanya, mempekerjakan 225 karyawan. Di antaranya, sarjana pertambangan, Kaswamo Aksansyah, sebagai Kepala Bagian Pertambangan. "Menggembirakan," tutur sarjana dari Universitas Sriwijaya, Palembang. "Kadar emas tambang ini 0,4 sampai 91 gram per ton." Bagi penduduk Desa Pasar Baru, Kedondong Lampung Selata~n, usaha Pak Haji ini sangat dipuji. Dengan gaji karyawan Rp 75.000 sampai Rp 300.000 sebulan, penduduk desa itu merasa tertolong, mendapat pekerjaan. "Dulu saya tukang ojek yang kalau sakit pasti tak dapat duit," kata Bohari, salah seorang karyawan. Sekarang, penghasilannya tetap, dan hidup pun jadi tenteram. Nusa Tenggara dan Jawa Timur mulai memperbincangkan emas pula. Kabupaten Pasuruan, misalnya, disebut-sebut mempunyai simpanan emas di buminya. Bukannya mustahil, gold rush di abad ke-20 - setelah di California dan di Alaska di abad ke-19 - segera melanda Indonesia dengan segenap persoalannya. Logam kuning yang serba guna ini -- dari sebagai lapisan hiasan sekaligus melindungi gigi, jadi perhiasan, jadi lapisan dinding rumah bagi sang milyuner, sampai jadi bahan unt~uk melukis -- memang kilaunya tak lapuk di makan zaman. Juga, keserakahan nafsu manusia untuk memperolehnya awet dari zaman ke zaman. Di Indonesia, sejarah tambang emas pun diwarnai persaingan, konflik, penjilatan, pertempuran habis-habisan, terutama di Kalimantan Barat dan Tengah. Perang Emas di Bomeo bukan sekadar judul bagian kedua dari Selingan tentang tambang emas ini, tapi memang begitulah sejarah mencatat. Zaim Uchrowi dan koresponden-koresponden TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus