SYAIKH Zaid bin Sultan An-Nahyan pernah berkata, "Uang tidak ada artinya kecuali jika dipakai untuk kepentingan rakyat." Penguasa Abu Dhabi itu layak berkata begitu. Dalam waktu hanya sepuluh tahun, ia berhasil mengangkat negaranya dari bukan apa-apa menjadi negara dengan per kapita tertinggi di dunia. Setiap pengunjung yang datang-dan duduk-duduk di teras hotel-hotei modern di Abu Dhabi dan Al-Ain, dua kota utama negara itu, sulit untuk percaya bahwa yang mereka saksikan, sekitar lima belas tahun yang lalu sama sekali belum ada. Bunga-bunga warna-warni, pohon-pohon menghijau, dan rerumputan yang bertebaran di taman-taman dan di sepanjang jalan, dulunya adalah pasir cokelat gersang. Juga gedung-gedung jangkung dan rumah-rumah bata indah yang dilengkapi dengan pengatur udara, sebelumnya cuma gubuk-gubuk tertutup dari tanah liat, yang sisa-sisanya bisa disaksikan pada masjid-masjid lama yang menurut peraturan agama setempat tak boleh dibongkar. Jalan-jalan pasir kini telah pula berganti dengan jalan raya empat jalur yang lurus, yang tepinya diteduhi pohon-pohon rindang dan diterangi lampu-lampu merkuri. Tempat-tempat parkir luas, yang tersebar di tengah kota dan di sepanjang pantai, memberi kesempatan kepada orang-orang yang ingin menikmati tamasya laut. Atau jika mau, pulau-pulau lepas pantai yang tak begitu jauh, yang dipenuhi oleh hotel-hotel dan tempat-tempat rekreasi, bisa dikunjungi. Tempat-tempat perbelanjaan modern terdapat di mana-mana - terutama di sepanjang Jalan Syaikh Hanidan. Di jalan itu, toko-toko besar yang menyediakan segala macam keperluan dan kios-kios mungil yang dibangun pemerintah untuk pedagang kecil berdiri berdampingan. Sementara itu, di pasar-pasar, yang tak lagi berwujud kios-kios terbuka seperti dulu, buah-buahan dan sayur-sayuran terlindung dari sengatan matahari. Buah dan sayur itu antara lain didatangkan dari Al-Ain, dan dari sebuah pulau di lepas pantai Abu Dhabi, Pulau Sa'adiyat atau Pulau Kebahagiaan. Di pulau yang berbentuk segi lima itu memang terdapat suatu pusat riset buah dan sayuran yang disponsori pemerintah dan dibimbing Universitas Arizona. Dulu Sa'adiyat cuma bisa dikunjungi dengan kapal pencari ikan. Kini ferry dan kapal-kapal motor modern telah tersedia. Dermaga kayu dan rumah-rumah padang pasir kecil milik penduduk juga telah diganti. Sebuah jalan lurus menghubungkan dermaga dengan pusat riset yang tadi, yang berdiri di sebuah bukit. Pusat riset itu dilengkapi dengan peralatanperalatan pertanian modern. Tangki-tangki air besar, rumah kaca dari polythene luas yang diberi udara segar buatan, membuat mentimun, kubis, selada, aubergine, dan tomat tumbuh subur. Kontras antara pasir cokelat gersang di luar dan warna-warni buah dan sayuran di situ betul-betul mirip keajaiban. Setiap semaian, dalam kompleks itu, diberi campuran makanan melalui tabung-tabung plastik. Suhu luar yang mencapai 48C disejukkan oleh air yang dialirkan dari tirai-tirai dan tanaman-tanaman laut. Hasil yang diperoleh tak mengecewakan. Tomat bisa tumbuh dalam waktu tiga bulan, mentimun enam minggu. Semuanya sepanjang tahun - tidak tersentuh angin, hama atau gangguan lain. Satu akre (4.047 m2) tanah per tahun menghasilkan 200 ton tomat, yang lalu dikemas dalam kotak-kotak dan di jual murah di pasar-pasar. Harga-harga barang di pasar dan toko di Abu Dhabi memang tergolong rendah. Tak ada pajak sama sekali di negara itu, kecuali pajak 2% kepada barang impor. Kamera, misalnya, di negara ini jauh lebih murah ketimbang di Eropa. Satu-satunya barang mahal adalah ini: tenaga kerja. Karena penduduk asli Abu Dhabi terlalu sedikit, dan sebagian besar masih buta huruf, banyak tenaga asing didatangkan. Mereka umumnya dari negara Arab lain, India, atau Pakistan. Para kontraktor dan konsultan datang dari negara Arab sendiri, Jerman, Prancis, Belanda, Kanada, Amerika, Inggris, Italia, dan Jepang. Orang-orang asing, jangan kaget, bahkan terdapat pula di pemerintahan. Di kantor angkatan bersenjata ada orang-orang Bahrain, Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Syria. Di jawatan-jawatan lain daftarnya masih bisa ditambah dengan orang-orang India, Pakistan, Iran, dan Eropa. Tak perlu disebut yang bergerak di sektor swasta. Tak semua pendatang masuk secara legal, tentu terutama para pekerja kasar. Pemerintah Abu Dhabi cenderung toleran terhadap para imigran ini, asal mereka mampu bekerja. Bayangkan: dari sekitar setengah juta penduduk yang berdiam di tanah seluas 60.000 km2, 80% pendatang. Keajaiban itu, seperti keajaiban serupa di hampir seluruh dunia Arab, terjadi karena minyak, tentu saja. Dengan jumlah penduduk cuma 7% penduduk Jakarta, negara itu menghasilkan satu setengah juta barel minyak tiap hari. * * * Tetapi jasa pertama minyak di Abu Dhabi bukan devisa. Melainkan sejarah. Tahun 1958, jauh sebelum tetes pertama mengucur, seorang pegawai perusahaan minyak Abu Dhabi Marine Areas, Tim Hillyard, menemukan sisa-sisa makam kuno di pulau kecil Ummun Nar atau Induk Api. Dengan penemuan itu masa silam Abu Dhabi yang menakjubkan mulai terungkap - karena tak lama kemudian sebuah tim arkeolog profesional dari Denmark mengambil alih penggalian. Mula-mula yang tersingkap dari tanah galian adalah batu-batu Oairus kecil. Lalu puing-puing dinding dengan tepi-tepi berelief yang membentuk sebuah pekuburan besar. Pekuburan ini, tak seperti piramid Mesir, dipenuhi tulang manusia - menunjukkan bahwa pemakainya tak hanya seorang. Diduga untuk pemakaman berkala. Di tengah serakan tulang itu terdapat bermacam-macam benda. Misalnya pakaian, perkakas perjalanan, permata, dan manik-manik penghias yang tersulam indah. Guci dan vas, yang juga ada di situ, mempunyai pola geometris ruwet, mirip dengan produk kebudayaan Kulli yang ditemukan di pesisir Baluchistan. Usianya diperkirakan tak kurang dari 4 1/2 abad. Yang agak mengejutkan pada reruntuhan itu,dan pada reruntuhan sebuah desa di dekatnya, adalah relief unta. Sebab, menurut dugaan, unta diketahui dijinakkan pertama kali oleh bangsa Aramea kirakira 1700 SM. Apakah ini berarti orang Abu Dhabi telah menjinakkan unta jauh sebelumnya, sekitar 3000 SM? Penemuan unta di sebuah pulau kecil juga mengherankan. Dari-mana asalnya? Ahli-ahli berpendapat, unta itu pasti berasal dari pedalaman Abu Dhabi. Maka, sementara penggalian di Ummun Nar dilanjutkan, daerah lereng Gunung Hafit di Oase Al-Ain segera diselidiki. Betul juga. Pada 1963 di daerah itu ditemukan satu gundukan rendah penuh pecahan tembikar yang mirip dengan yang di Ummun Nar. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa benda-benda purba itu punya hubungan dekat dengan kebudayaan Pakistan, India purba dan Mesopotamia. Karena itu, bisa jadi, Abu Dhabi sudah sejak lama mempunyai hubungan dagang dengan daerah-daerah itu dan, barangkali, juga daerah lain. Terdapat kemungkinan adanya rute perdagangan Mesopotamia-Arab Selatan/Laut Merah-Teluk Arab (Abu Dhabi), pada zaman dulu. Cuma, sayangnya, sampai saat ini para ahli belum tahu siapa sebenarnya orang-orang kuno yang berdiam di wilayah itu. * * * Sesudah masa purba itu, sejarah berlalu tak tercatat di Abu Dhabi. Islam datang Portugis berkuasa semua itu terjadi tanpa keterangan yang cukup jelas. Sejarah baru dimulai lagi oleh Nashir bin Mursyid al Yarubi, pentolan Oman yang memimpin perang sabil melawan Portugis tahun 1624. Setelah Portugis terusir, seorang pengikut Nashir dari Bani Yas Ya'aribah, menetap di Al-Ain dan Buraimi. Di situ mereka mulai bertani, beternak, dan membangun saluran air besar yang terkenal dengan nama aflaj, yang sampai sekarang masih bisa dipakai. Satu kelompok Bani Yas lain, yang dikepalai oleh An-Nahyarl, menetap di Adh-Dhafra dan Abu Dhabi. Dengan cepat pengaruh mereka meluas sepanjang pantaij dari Dubai sampai Kher Al-Udaid. Mereka diikuti suku-suku Arab lain - yang segera mengambil alih perdagangan, penangkapan ikan, dan pencarian mutiara dari tangan Portugis. Datang dari Najd di pedalaman Arab, mereka menuju Kuwait, Bahrain, dan Abu Dhabi. Konsolidasi seluruh wilayah Abu Dhabi baru dimulai abad 18 oleh Syaikh Syakbut bin Dhiyab, juga seorang Nahyan. Ia berhasil membentuk persekutuan empat suku utama pedalaman. Bani Yas, Manasir, Dhawahir, dan Awamir. Ibu kotanya waktu itu Adh Dhafra. Tertarik oleh segi ekonomi pesisir, Syaikh Syakbut lalu memindahkan ibu kota ke Abu Dhabi. Orang-orang pun segera ikut hijrah. Perdagangan dan pencarian mutiara segera berkembang pesat dan menjadi pekerjaan utama. Pulau-pulau di lepas pantai segera diserbu pendatang, dan salah satu di antaranya, Pulau Dalma, lalu menjadi pusat industri mutiara. Setelah cukup puas dengan daerah pesisir, Syaikh Syakbut mengalihkan lagi perhatiannya ke pedalaman. Untuk itu ia menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Muhammad. Dia sendiri lalu tinggal di Al-Ain, 1816. Di daerah timur ini ia membangun Benteng Muraijib, di dekat Desa Qattarah. Juga mengembangkan peternakan, dan melanjutkan pertanian yang sudah lama ada. Syaikh Muhammad bin Syakbut cuma memerintah sampai 1818. Ia digantikan saudaranya, Tahnun, sampai 1833. Waktu itu terdapat sekitar 1.200 penduduk di Kota Abu Dhabi dari suku An-Nahyan. Ditambah suku-suku lain, jumlah seluruh rakyat cuma kira-kira 8.000 orang. Syaikh Tahnun ini diganti oleh Syaikh Khalifah kemudian berkuasa Syaikh Sa'id bin Tahnun dan, akhirnya, pada tahun 1855 bertahtalah Syaikh Zaid bin Khalifah. Abu Dhabi memulai kehidupan yang cukup makmur di bawah pemerintahan keponakan Muhammad ini. * * * Dunia yang mulai terbuka, dengan kapal-kapal yang melayari seluruh pelosoknya, membuat perdagangan meluas. Kebutuhan akan mutiara alam ikut pula membengkak. Karena mutiara Teluk Arab kualitasnya tinggi dan berukuran besar, Abu Dhabi segera menjadi tujuan utama para pedagang yang umumnya datang dari Eropa dan India. Kapal-kapal khas Arab yang berjenis-jenis - baghalah, balam, jalibut dan sambuq - bermunculan. Diperkirakan, pada masa kejayaan mutiara, di daerah itu terdapat lebih dari 5.000 kapal lokal. Hari pertama musim panas adalah awal penyelaman. Para anggota ekspedisi berkumpul di pantai di sekitar kapal mereka. Salam dan tegur sapa segera berkembang menjadi cerita tentang pelayaran lampau dan cerita-cerita lain. Hadiah-hadiah dibagikan untuk anggota ekspedisi. Lalu kapal kayu itu secara perlahan ditarik ke dalam air menggunakan rodaroda. Orang-orang yang ditinggal, saudara dan teman, membantu mendorong sambil berteriak "Salaaamah! Salaaamah! " (selamat, selamat). Seseorang lalu menyanyikan lagu-lagu keberuntungan dan doa berkah bagi perjalanan yang akan dilakukan. Di atas kapal, perbekalan mulai dipunggah. Nasi, kopi, teh, gula, tali serta kayu, peralatan menyelam dan peralatan lain. Awak lain sibuk meneliti kapal, mencari tempat-tempat yang perlu didempul, memukul rami di antara papan dengan godam mereka. Sambil menggodam mereka terus menyanyikan lagu-lagu pelayaran masa lampau - tentang keindahan mutiara, tentang badai, yang datang dari tenggara serta memberi ingat para pendengarnya untuk mengikat layar jika badai ini mendera. Lagu-lagu itu juga mengingatkan mereka akan syimal, angin yang bertiup dari utara dan meneruskannya dengan seruan keyakinan, mendorong awak berlayar, menguatkan kepercayaan kepada Allah dan perlindungan-Nya. Ketika pendempulan selesai, dan perbekalan sudah dipunggah, nakoda memberi perintah: "Kembangkan layar! Naikkan jangkar! Lepaskan tali!" Dan, pelan-pelan, kapal mulai meninggalkan pantai, satu per satu, diiringi lambaian tangan sanak keluarga yang baru bisa ditemui lagi setelah enam bulan. Di darat, sanak yang ditinggal harus mampu hidup dengan sebagian gaji yang telah dibayarkan. Itulah peraturan yang sudah mentradisi: sebelum berangkat sebagian upah harus dibayarkan dulu sebagian lagi setelah kembali berlayar, dan bagian terakhir setelah mutiara terjual. Untuk menjual mutiara, nakoda - ditemani dua anggota ekspedisi - mengunjungi pedagang perantara yang terdapat di mana-mana. Setelah mengucapkan salam, nakoda dan pedagang itu bertepuk tangan di balik sehelai kain, dan berusaha untuk tidak bercakap-cakap. Tawar-menawar di lakukan dengan bahasa jari. Satu jari menunjukkan jumlah tertentu, sehingga ketika pedagang memegang sejumlah jarinya, dia langsung tahu harga yang dikehendaki. Ia boleh ganti memegang sejumlah jari untuk menyebutkan tawarannya. Mereka umumnya merupakan penawar yang pandai dan sabar, sehingga "upacara' itu berjalan lama. Tak tampak tergesa-gesa - bahkan asyik. Sekembalinya, nakoda membayar sisa gaji awak kapal dan menawari mereka untuk ekspedisi berikutnya. Sistem seperti ini, yang tampaknya cukup bijaksana, ternyata masih tetap lebih menguntungkan nakoda. Banyak penyelam yang akhirnya terlilit utang pada seorang nakoda - dan tak bisa lepas. Akibatnya, ia harus ikut nakoda yang sama pada penyelaman berikutnya tanpa kekuatan untuk menawar. Sebab, imbalan betul-betul tak sepadan dengan kerja yang dilakukan dan bahaya yang menghadang. Mencari mutiara memang bukan hal yang enak. Mula-mula, awak mengikatkan kayuh pada tepi kapal sebagai kontrol. Pada tiap kayuh ditambatkan dua tali. Satu untuk mengikat pembeban, yang lain untuk pengikat kantung jala yang ada di leher. Perlengkapan lain yang dipakai adalah pelindung jari. Kulit kerang sangat kasar, mampu melukai jari telanjang. Hidung mereka disumbat sepotong kayu agar air tak masuk ke tenggorokan. Mereka selalu mengenakan pakaian hitam yang, selain bisa menahan panas, konon juga tak disukai ikan hiu dan ikan-ikan berbisa. Begitu terjun ke laut, beban akan menarik penyelam dengan cepat ke dasar. Penyelam lalu memberi tanda kepada saib - penarik tali di geladak untuk menarik beban. Kemudian ia mulai mengumpulkan kerang-kerang mutiara dan memasukkannya ke dalam jala. Kedalaman yang dicapainyadua puluh depa, dan waktunya dua setengah menit. Untuk naik, ia memberi tanda kepada saib dengan cara menyentak tali pengikatnya. Penyelaman seperti ini dilakukan selama berjam-jam dalam satu hari. Dengan cara ini, penyelam hanya bisa bertahan pada bulan-bulan terpanas dalam satu tahun, ketika air laut tenang dan tak terlalu dingin. Meskipun begitu, gangguan pada kulit selalu muncul - karena kurangnya air tawar untuk mandi. Apalagi mereka tak mendapat makan yang memadai. Sebagai penyegar hanya tersedia teh dan kopi pahit. Yang tercukupi selama masa penyelaman adalah kebutuhan spiritual. Pada akhir tiap hari kerja, ketua rombongan akan membacakan Alquran. Jika tangkapan kurang, para penyelam akan menambah rakaat salat sunat mereka dan berdoa agar besok diberkahi lebih banyak hasil. Setelah itu mereka lalu bersyukur, karena telah terhindar dari bahaya. Tiram, yang didapat di siang hari, di malam hari segera dikumpulkan dan dibuka di bawah pengawasan nakoda. Pekerjaan seperti ini benar-benar membosankan: dari seribu kerang paling-paling hanya satu yang berisi mutiara. Kerang yang kosong dibuang lagi ke laut. Pada bulan terakhir penyelaman, kapal-kapal mutiara ini berlabuh di pelabuhan terdekat untuk memberi kesempatan istirahat selama tiga hari kepada awak. Persediaan tambahan dan peralatan baru dipunggah buat penyelaman berikutnya. Lama ekspedisi semacam ini, termasuk penjualan hasil, 18-19 minggu. Jika dalam waktu itu belum tampak tanda bahwa kapal akan kembali, keluarga yang ditinggal akan datang ke tepi laut dengan membawa batang-batang logam panas sambil berseru, "Tobat, tobat, oh, Laut. Empat bulan telah berlalu. Kini telah menginjak bulan kelima, lho!" .... Di laut, ketika saat pulang tiba, pemimpin rombongan kapal akan membunyikan meriam sebagai tanda berkumpul dan membentuk konvoi. Betul-betul sebuah pemandangan menarik. Di pantai, sanak keluarga dan teman-teman siap mengucapkan selamat bagi mereka - dengan menari, menyanyi, atau bersorak-sorak saja. Pesta telah disiapkan. Dan kegembiraan itu bagaimanapun terasa singkat: tak lebih dari sebulan kemudian mereka harus pergi lagi. Kali ini untuk menjual barang tangkapan. Kerja penyelam sendiri berakhir ketika kapal merapat. Sesudah itu mereka diizinkan pulang. Awak-awak lain lebih tidak beruntung mereka terlebih dulu harus membersihkan dan meminyaki kapal, serta menyimpan tiang, sauh, dan pekerjaan-pekerjaan lain. Sungguh bukan kehidupan yang gampang. Karena itu, ketika kesempatan lain datang, mutiara pun segera ditinggalkan. * * * Kejayaan mutiara berlanjut sampai Syaikh Zaid meninggal pada tahun 1909. Juga masih berlanjut di bawah beberapa syaikh yang memerintah sampai 1928. Sejak tahun itu, bertakhtalah Syaikh Syakbut bin Sultan, saudara Zaid, sepanjang 38 tahun. Seperti pemimpin-pemimpin lain di seluruh dunia waktu itu, Syaikh Syakbut segera dihadapkan pada persoalan tahun tiga puluhan: depresi ekonomi. Pasaran mutiara ambruk. Apalagi saat itu mutiara piaraan dari Jepang mulai membanjir dengan harga jauh lebih murah dan mutu tak kalah. Dan tak seperti tetangga-tetangganya yang dengan segera menemukan minyak sebagai pengganti, Abu Dhabi tetap tak punya apa-apa. Tak seorang pun berpikir bahwa di negara itu ada juga minyak. Eksplorasi baru dilakukan tahun 1939, jauh setelah negara-negara Arab lain. Itu pun sampai bertahuntahun tak menghasilkan apa-apa - sumur pertama baru ditemukan dua puluh tahun kemudian. Hasilnya: 5.000 barel per hari. Lumayan. Sumur-sumur lain segera digali, dan pada tahun itu juga di daerah-daerah lain di hampir seluruh negeri minyak-minyak mulai mengucur. Terbuktilah sekarang, di bawah tanah Abu Dhabi terdapat minyak dalam jumlah yang bukan main. Harta karun yang selama dua puluh tahun diburu, dan selama Terminal minyak pertama segera dibangun di Jabal Dhannah, 115 mil dari Abu Dhabi. Agustus 1962, penggunaan terminal dimulai. Dari tangki-tangki Jabal Dhannah yang tingginya 210 kaki dari muka laut itu, minyak mengalir melalui dua pipa berukuran 48 inci menuju tiga stasiun di bawahnya. Dari situ dua pipa bawah laut, berukuran 36 inci dan 48 inci, membawanya ketiga dermaga. Desember 1963 ekspor pertama melalui Jabal Dhannah di lakukan. Tahun 1972, total ekspor dari terminal itu mencapai 28.951.000 ton. Pada saat yang hampir sama dengan penemuan sumur pertama di darat, lepas pantai Abu Dhabi mulai dieksplorasi. Dan tak lama kemudian, 1960, sumber pertama ditemukan di dekat sebuah pulau kosong, Das. Ketika sumur-sumur lain sudah digali dan menghasilkan, Pulau Das segera dibangun menjadi sebuah terminal lepas pantai. Sesudah penemuan sumber-sumber yang menguntungkan itulah, dengan cepat Abu Dhabi menjadi penghasil minyak utama. Tahun 1975 produksinya sudah mencapai setengah juta barel lebih sehari. Kini angka itu telah berlipat lebih dari dua kali. Untuk negara dengan penduduk sekitar setengah juta, minyak sebanyak itu tentu saja bisa menyebabkan semua yang mustahil menjadi mungkin. Coba, Indonesia yang penduduknya 150 juta, dan begitu tergantung pada minyak, cuma memproduksi jumlah yang sama. Dan Syaikh Zaid bin Sultan An-Nahyan pun, yang berkuasa sejak 1966, bisa melaksanakan keinginan yang dikatakannya tadi. Bahwa uang tak ada gunanya jika tidak untuk kepentingan rakyat. Sampai saat ini ia agaknya cukup berhasil. Pembangunan berjalan di negara itu, dan rakyat mencintainya. Kecintaan itu bahkan telah mulai jauh sebelum dia menjadi amir. Setidak-tidaknya, begitulah cerita Wilfred Theiger yang bertemu dengan Zaid tahun 1948. "Kaum Badui mencintai Zaid karena kesantaian dan keramahannya. Mereka juga menghargai karakternya yang kuat, kegigihannya, dan kekuatan fisiknya. Mereka berkata dengan penuh hormat: Zaid tahu unta, dan bisa menungganginya seperti kita." Theiger sendiri berkomentar begini, "Zaid adalah seorang pria tiga puluhan yang kuat, dengan cambang cokelat, wajah cerdas, pandangan mata mantap, dan sikap tenang tetapi mengagumkan." Theiger juga terkesan oleh sebuah pertemuan majelis yang dipimpin Zaid. Zaid, ketika itu, menjadi hakim untuk dua orang Badui yang memperselisihkan seekor unta. Dia mendengarkan mereka dengan sabar, lalu membuat keputusah yang tampaknya memuaskan kedua belah pihak. Buktinya, kedua orang itu meninggalkan gedung dengan wajah lega. Waktu itu Zaid gubernur provinsi timur, yaitu Al-Ain dan sekitarnya. Sejak 1946, selama dua puluh tahun menjadi gubernur, ia menjalin hubungan baik dengan kaum Badui di provinsi itu. Seorang penguasa Oman yang berbatasan dengan Al-Ain berkata, "Sejak berkuasa di Al-Ain, Zaid itu telah menjadi kebanggaan orang Badui, seperti juga kakeknya, Syaikh Zaid." Syaikh Zaid bin Khalifah, kakek Zaid bin Sultan, adalah amir Abu Dhabi waktu itu. Zaid si cucu ini lahir dan dibesarkan di Kota Abu Dhabi. Ia cuma mendapat pendidikan agama dan bahasa Arab di waktu muda, tetapi sewaktu menjadi gubernur ia toh bisa - dan mau - mengajar di sebuah sekolah dasar. Dengan bersemangat ia juga mulai membangun provinsinya. Dengan jumlah uang yang terbatas, diperbaiki dan dikembangkannya Kota Al-Ain dan desa-desa sekitarnya. Dibangunnya saluran distribusi air untuk pertanian, dengan membuat kanal-kanal bawah tanah yang dikenal dengan nama Falaj as-Saruj. Dengan panjang 15 km dan kedalaman 22 m, kanal itu dibangun selama 18 tahun penuh. Untuk melengkapi saluran baru itu diperintahkannya penduduk memperbaiki kanal-kanal lama yang sudah rusak. Disediakannya pompa-pompa hidrolis dan peralatan modern lain. Dan Al-Ain pun menjadi provinsi yang berkelimpahan air. Cuma, sayangnya, pembagiannya tidak merata. Para petani kaya, yang sebelumnya telah banyak menguasai sumber air, menggunakan uang mereka untuk membeli hak pengairan dari para petani miskin. Lalu, karena tak mampu mengairi tanahnya lagi, mau tak mau para petani miskin itu terpaksa menjual tanah mereka. Tentu saja dengan harga yang sangat rendah. Fiil ini tercium oleh Zaid. Segera ia mengundang para petani cukong itu - dan minta kepada mereka untuk mengembalikan hak irigasi para petani miskin yang masih punya tanah. Para petani kaya itu menolak, tentu saja. Dan Zaid tak bisa memaksa. Maka, ia segera mengatur rencana. Direlakannya sumur-sumur air milik keluarga An-Nahyan, termasuk miliknya sendiri, di pakai petani miskin. Diinstruksikannya Falaj as-Saruj hanya boleh dipakai para petani miskin. Maka, para petani kaya pun menyerah. Gaya pemerintahan seperti itu diteruskannya ketika ia ditunjuk menggantikan kakeknya di tahun 1966. Saat itu uang sudah tersedia, sehingga ia bisa berucap: "Tuhan telah melimpahkan kekayaan pada kita. Kewajiban kitalah untuk bersyukur, dan menggunakan kekayaan itu untuk kemakmuran masyarakat dengan membangun perumahan, menyediakan fasilitas pendidikan, perawatan medis, perumahan, dan pangan." Zaid sadar bahwa untuk melakukan tekad semacam itu dibutuhkan kemudi dari atas yang cepat dengan birokrasi yang longgar. Itu dilakukannya. Setiap pengusaha yang beroperasi di sana dengan mudah bisa menjumpai dia tanpa harus melalui prosedur rumit. Cek-cek besar ditandatanganinya sendiri, atau oleh anaknya yang menjabat presiden keuangan, sehingga kontrol atas pekerjaan dan tanggung jawab pengusaha kepada para buruh bisa dicek langsung. Daniels mengalami sendiri hal semacam itu. Sebagai wakil sebuah perusahaan konstruksi internasional, dia bertugas membangun jalan raya Abu Dhabi-Al-Ain. Di negara yang waktu itu masih berupa gurun telanjang tanpa fasilitas apa pun itu, tentu saja banyak kesulitan didapat. Yang paling payah adalah pengangkutan material yang harus melalui jalan berpasir. Juga pengimporan barangbarang, seperti bitumen dan semen, karena pelabuhan belum lagi dikembangkan. Jumlah pekerja terampil pun kurang, meski sudah mendatangkan banyak dari Iwar. Dan panas padang pasir hampir tak tertahankan. Tetapi Zaid, dengan kepercayaan kuat, berhasil meyakinkan para pekerja - sehingga dalam waktu relatif singkat proyek itu terselesaikan. Dengan bangga lalu ia berkata, "Aku ingin pembangunan lima tahun bisa dicapai dalam waktu satu tahun." Tekad semacam itu tak selamanya berhasil, tentu. Tantangan terlalu berat. Di awal masa pembangunan, banyak proyek berjalan lambat. Semangat buruk merasuki seluruh tatanan. Banyak terjadi kerusakan gedung dan mesin. Sejumlah buruh menuntut upah yang tinggi dan kerja lembur. Sayang, paket upah di perusahaan-perusahaan rendah, dan kerja tambahan tak begitu diperlukan. Situasi akhirnya berkembang menjadi gawat. Ketika upah terlambat di bayarkan, para pekerja merencanakan pemogokan. Hal semacam ini juga di alami Daniels. Dia agak bingung. Cek dari kantor pusat butuh waktu untuk sampai di Abu Dhabi, sementara pembayaran dari Amir belum diberikan. Dia lalu merrllutuskan untuk menjumpai sang pemimpin sendiri. Setelah bertemu, dia baru tahu alasan penundaan pembayaran itu. Sang amir ingin mendengar langsung apa yang terjadi di perusahaan-perusahaan yang dikontraknya. Tentang tugas yang telah diselesaikan, tentang keadaan para pekerja, dan lain-lain. Setelah omong-omong semacam itu, Zaid lalu berjanji menyerahkan cek keesokan harinya. Dan itu ditepatinya. Kesungguhan hati seperti ini juga tercermin ketika bulan Ramadan tiba. Karena jam kerja siang hari berkurang, sedangkan banyak masalah masih harus diselesaikan, ia dengan bersemangat meneruskan pertemuan-pertemuannya pada malam hari - dari sehabis buka puasa sampai saat sahur. Daniels pernah mengalami pertemuan semacam ini pada pukul 2.30. Ketika akhirnya terasa bahwa pembangunan semakin luas, Zaid lalu mengeluarkan sebuah dekrit keamiran pada 20 Maret 1968. Dekrit itu menetapkan sebuah rencana pembangunan lima tahun, 1968-1972. Jumlah anggaran: 317 juta dinar Bahrain - tidak termasuk DB 49 untuk pinjaman kepada negara Arab lain, dan investasi serta biaya pendidikan, pertanian, dan perumahan. Prioritas utamanya adalah komunikasi. Sebagian besar anggaran dihabiskan untuk membangun jalan-jalan raya dan sarana komunikasi udara. Bisa di sebut antara lain jalan-jalan utama di tiap kota negara itu, jalan-jalan penghubung antarkota, dan penghubung dengan negara-negara tetangga. Juga dua lapangan terbang internasional di Abu Dhabi dan Al-Ain, sedangkan di tempat-tempat lain dibangun lapangan udara domestik. Sesudah itu, sarana penunjang seperti listrik dan saluran air mendapat giliran. Lalu pabrikpabrik pun bermunculan, dimulai oleh industri-industri dasar dan kimia, seperti semen dan pengilangan minyak. Yang terakhir, Zaid juga tak melupakan penghias kota seperti taman-taman dan jalur-jalur hijau. Khusus untuk proyek penyegaran seperti ini disediakan dana BD 50 juta. Untuk melaksanakan penelitiannya ini, Zaid merombak organisasi pemerintahan. Ia membentuk bermacam-macam komite, dan yang paling penting adalah Dewan Perencana yang beranggotakan 17 orang - terdiri dari keluarga Amir dan orang-orang terkemuka. Zaid sendiri yang mengetuainya. Tanggung jawab Dewan antara lain meneliti dan menyetujui anggaran tahunan proyek-proyek serta menetapkan badan yang membawahkannya, di samping ikut mempertimbangkan urusan-urusan negara yang lain. Tahun 1970 dewan ini dibubarkan, dan Zaid mengumumkan undang-undang pembentukan Dewan Menteri. Perdana menteri dan wakilnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada amir, yang juga berhak memecatnya. Menteri-menteri lain dipilih berdasarkan rekomendasi PM. Dewan Menteri berwenang membuat kebijaksanaan umum bidang politik, sosial, dan ekonomi, serta memimpin pelaksanaannya. Juli 1974 dibentuk Dewan Penasehat Nasional atau Badan Konsultatif, yang bertugas membantu pemimpin negara dan Dewan Menteri. Pada waktu yang akan datang, menurut keputusan Amir, anggota Dewan Penasehat Nasional bisa di pilih di antara orang Abu Dhabi asli, dengan jumlah tak lebih dari 50. Setelah itu, mulailah ia mengalihkan pandangannya ke cakrawala yang lebih luas: pembentukan federasi dengan amir-amir tetangga yang bertebaran di sepanjang pantai Teluk Persia. * * * Sampai akhir 1960-an, lnggris masih punya sisa kejayaan imperiumnya di wilayah Teluk. Yaitu sebuah pangkalan militer di Syarjah, selatan Abu Dhabi, yang dikelola bersama emirat-emirat setempat. Ketika akhirnya penjajah itu memutuskan keluar dari kawasan itu, segera timbul kesulitan: siapa yang akan menampung tentara Arab - yang disebut Trucial Oman Scouts - di pangkalan itu. Juga, bagaimana mempertahankan persatuan di antara amir-amir itu, tanpa Inggris? Persatuan semacam ini dianggap penting setidak-tidaknya oleh Inggris - karena emirat-emirat itu terlalu kecil untuk berdiri sendiri, sedangkan sikap negara-negara tetangga sering tak bisa diandalkan. Maka, pada tanggal 18 Februari 1968, para pemimpin Abu Dhabi dan Dubai setuju membentuk sebuah kesatuan. Mereka lalu mengundang amir-amir lain untuk turut bergabung. Dan seruan ini segera bersambut. Pada 28 Februari (Inggris masih belum pergi ketika itu), para pemimpin Bahrain, Qatar, Abu Dhabi, Syarjah, Ajman, Ummul Quwawain, Ra'sul Khaimah, dan Fujairah berkumpul. Tujuan: mengkonsolidasikan ikatan dan mengkoordinasikan pembangunan, kebijaksanaan luar negeri, dan pertahanan. Sayang sekali kesatuan ini tak bertahan lama. Meski banyak resolusi dan rencana dibikin, presiden telah diangkat (Syaikh Zaid), serta ibu kota telah ditetapkan (Abu Dhabi), mereka sebenarnya tak pernah menandatangani naskah kerja sama itu. Karena itu, negara-negara yang berkepentingan, termasuk Saudi, Kuwait, dan Inggris, segera mengusulkan pertemuan baru. Sekali lagi yang menjadi tokoh adalah Syaikh Zaid. Tak heran: negaranya paling luas, minyaknya paling melimpah, dan penduduknya paling banyak. Dia menjanjikan kepada amir-amir tetangganya - yang sebagian belum lagi menikmati manisnya minyak - bahwa jika persatuan tercapai, mereka akan ikut memperoleh kemajuan. Dia juga mengatakan bersedia membentuk federasi dengan emirat mana pun. Setahun kemudian, menjelang Inggris angkat kaki, 18 Juli 1971, diumumkanlah berdirinya sebuah negara baru: Persatuan Emirat Arab. Secara resmi proklamasi kemerdekaan dilakukan 2 Desember tahun itu oleh tujuh anggotanya - yakni semua yang berkumpul pada pertemuan sebelumnya, minus Bahrain dan Qatar sedangkan Dubai, yang pada pertemuan pertama rupanya tak akur, kali ini menjadi salah satu anggota. Berita kelahiran federasi ini segera disiarkan melalui semua media komunikasi ke seluruh dunia - dan ke tenda-tenda kaum Badui pengelana yang bertebaran di seluruh kawasan. Sebagai presiden dipilih Syaikh Zaid bin Sultan Al-Nahyan, dengan wakil Syaikh Rasyid bin Sid Al-Maktum, pemimpin Dubai, dan perdana menteri Syaikh Maktum bin Rasyid, putra Syaikh Rasyid. PEA segera mendaftar menjadi anggota Liga Arab dan PBB. Di perserikatan itu ia mendapat nomor 132. Dan setelah acara-acara resmi ini, pembangunan segera dimulai bersama-sama. Dengan motor Abu Dhabi dan minyaknya, tentu saja. * * * Dari Abu Dhabi sampai Dubai, yang berjarak sekitar 100 mil, dibangun jalan aspal mulus. Mobil-mobil impor dari Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, dan negara-negara lain melaju kenc-ang, berdampingan dengan unta-unta yang melangkah sabar di jalan pasir tak jauh di sebelahnya. Di sepanjang jalan itu bisa disaksikan segala macam produk kemajuan mewarnai kegersangan urun. Mesin-mesin dan kendaraan berat milik para kontraktor, reklame lampu pompa bensin perusahaan minyak nasional, iklan-iklan minuman ringan, dan - kadang-kadang - bangunan-bangunan tegar pabrik. Mendekati Kota Dubai, warna-warni reklame kian meriah dan ramai. Dengan bentuknya yang sudah modern, kota ini tak akan bisa kita bedakan lagi dengan kota-kota dunia lain. Dubai, nama yang dalam bahasa Arab berarti belalang muda, terletak di pesisir barat Semenanjung Musandam dan diapit oleh Abu Dhabi dan Syarjah. Dua sungai kecil membatasi kota itu dari padang pasir di luar. Dan di dekat muara kedua sungai, kita bisa menyaksikan menara-menara angin persegi yang disebut badkir, istilah Parsi yang berarti "angin masuk". Di dalam menara yang penuh lubang itu, sirkulasi udara yang teratur menyebabkan hawa sejuk. Bangunan-bangunan ini merupakan peninggalan masa silam yang dilindungi sebagai benda sejarah. Perahu-perahu lokal, boum dan bahalas, yang sudah dilengkapi dengan mesin-mesin diesel modern, sesekali tampak menyelinap di antara menara-menara itu. Bersama dengan perahu-perahu pencari ikan, kapal pembor, dan kapal-kapal niaga yang mondar-mandir di pantai, perahu tradisional itu turut pula memberi bukti aktivitas ekonomi Dubai saat ini sebuah pusat pelayaran dan perdagangan di wilayah Teluk, yang sudah menjadi begitu sejak didirikan pada tahun 1833 oleh Ubaid bin Sa'id, seorang warga Bani Falasah dari Abu nhabi. Tangker-tangker yang berseliweran di pelabuhan menunjukkan adanya tambang minyak di Dubai. Minyak di sini diproduksi pertama kali tahun 1971 -120.000 barel per hari. Sesudah itu, seperti di Abu Dhabi, minyak menjadi penghidupan utama negeri ini, meski industri-industri lain - berbagai minuman ringan, industri kimia, serta kerajinan tangan dari emas, perak, dan logam lain - ada juga. Jalan Abu Dhabi-Dubai ini masih berlanjut terus mencapai wilayah anggota persatuan yang ketiga: Syarjah, sebuah dataran subur yang menghasilkan pisang, kurma, jeruk, mangga, tomat, kubis, dan buah serta sayuran lain. Juga tembakau. Semua produk pertanian itu dijual di PEA, meski kadang-kadang juga sampai di Amerika Selatan. Di negara ini juga ada minyak, yang ditemukan pertama kali tahun 1972. Dan di sini pula terletak pangkalan militer PEA. Markas besarnya membujur di sepanjang jalan yang menghubungkan Syarjah dengan Ra'sul Khaimah, mengitari wilayah anggota PEA ketiga dan paling kecil: Ajman. Untuk mencapai Ajman, kita harus keluar dari jalur jalan Dubai - Ra'sul Khaimah itu. Kota kuno kecil ini diteduhi pohon-pohon palma - sebuah kota paling tenang di seluruh kawasan PEA. Dengan bantuan keuangan anggota PEA ,lain, Ajman yang tak punya minyak atau dagangan lain itu mampu membuat kotanya benderang oleh listrik dan berlimpah air. Penduduknya menggantungkan hidup pada perikanan. Hanya sedikit, kalaupun ada, tanah pertanian di sini. Dengan padang pasir luas yang mengelilinginya, sulit ditentukan di mana letak perbatasannya dengan negara kelima: Ummul Quwawain. Ummul Quwawain adalah kota yang masih bersuasana padang pasir. Panas dan agak gersang. Di pantai, tanpa menghiraukan matahari yang menyengat, nelayan-nelayan asyik memperbaiki jala atau mengatur kapal-kapal mereka. Perikanan juga merupakan mata pencaharian utama di sini. Untuk meningkatkan penghasilan nelayan, dibangun sebuah workshop perikanan, dan tak jauh dari situ tempat-tempat pembuatan garam dibuka. Minyak belum lagi ditemukan meski eksplorasi sudah lama berlangsung. Tak heran bila negeri ini terhitung yang paling miskin di PEA. Pendapatan negara, yang 15 tahun lalu berjumlah 10.000 pound, sampai sekarang tak banyak berubah. Untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan dan pembangunan, dipakai dana PEA. Di sebelah utara wilayah ini, di sebuah kawasan berbukit-bukit, terdapatlah Ra'sul Khaimah. Negara ini memiliki sistem pengairan yang baik. Karena itu, seperti Syarjah, juga menghasilkan banyak buah dan sayuran. Lebih dari separuh penduduknya memang petani atau nelayan. Minyak juga belum ditemukan. Untung ada barang tambang lain: tembaga, magnesium, bauksit, yang cukup untuk menunjang ekonomi negara. Abu Dhabi juga sedang membangun sebuah pabrik semen di sini. Selain itu, sarana komunikasi modern - saluran telepon internasional - telah tersedia. Dan di sebelah utara Ra'sul Khaimah, di tepi timur Semenanjung Musandam, berdiam anggota paling terpencil PEA: Fujairah. Tak ada jalan yang menghubungkannya dengan daerah lain, kecuali jalan kasar Wadial-Qual dan Kalbah - menuju Syarjah. Air cukup tersedia di situ - juga pipa-pipa irigasi tradisional. Kurma dan sitrun tumbuh subur, selain tembakau. Sebagian besar penduduk bertani atau mencari ikan. Dengan keadaan yang demikian, tak heran bila Fujairah sangat berminat bergabung dalam PEA. * * * Desember yang baru lalu ini genap sudah PEA berusia 13 tahun. Dan seperti sebelumnya, hari ulang tahun itu diperingati secara meriah. Ada parade militer yang megah, dengan barisan musik, parade kapal patroli dan kapal perang di laut, sedangkan di atasnya berbagai pesawat transpor dan tempur - termasuk Hawk Inggris dan Mirage 2000 Prancis yang dibeli dua tahun lalu - menderu melewati menara-menara bor. Di jalanan penonton bersorak sorai, sementara gadis-gadis cilik memakai rok dengan riang menyemarakkan suasana. Tak tampak bekas-bekas tradisi lama dengan perempuan-perempuan bertutup muka. Di atap berbagai bangunan Ibu Kota, dan di halamannya, bendera PEA besar kecil berkibar-kibar. Juga di taksi-taksi. Dan di Istana Manhal, Syaikh Zaid dan Syaikh Rasyid, dengan ditemani para pimpinan pemerintahan lain, menerima para tamu yang memberikan ucapan selamat. Semua itu, seperti adat orang Arab umumnya, dilakukan tanpa formalitas kaku. PEA memang boleh bangga. Sudah banyak kemajuan dicapai selama 13 tahun. Seluruh pelosok negara sudah dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Perumahan telah tersedia untuk seluruh penduduk yang menginginkannya. Pelabuhan di Dubai dan Abu Dhabi sudah sedemikian modern, hingga kapal dengan bobot sampai 15.000 Kwt bisa bebas keluar masuk. Lapangan udara internasional juga sudah terwujud di kota-kota utama. Ada pula empat stasiun televisi warna - dipancarkan dari Abu Dhabi, Dubai, Syarjah, dan Ra'sul Khaimah. Lalu pendidikan. Meski pada tahun 1953 cuma ada sebuah sekolah di seluruh negeri, sejak 1971 wajib belajar telah dicanangkan - untuk semua anak laki-laki maupun perempuan. Pada tahun 1980, 90.000 murid terdaftar di 350 sekolah. Universitas pertama sudah dibuka pula di Al-Ain, 1977. Selain itu, setiap tahun, atas biaya pemerintah, para pemuda PEA berbondong menuntut ilmu ke Eropa, Timur Tengah, dan Amerika. Kesehatan juga telah mencapai kemajuan yang menakjubkan. Tiap seribu orang dilayani seorang dokter, dan sebuah klinik selalu tersedia di sebuah komunitas dengan 1.000 penghuni. Dua rumah sakit, yang termasuk paling baik di dunia, didirikan di Abu Dhabi dan Dubai. Untuk orang-orang Badui yang masih suka berkelana, dibentuk pula klinik keliling ke kemah-kemah, jauh di tengah gurun. Orang Badui juga memperoleh banyak pelayanan lain. Syaikh Zaid, tak seperti pemimpin Arab lain, tidak pernah memaksa mereka menetap. Karena itu, berbeda dengan di Arab Saudi, di negara ini unta dan kuda masih setia membawa tuan-tuan mereka ke mana saja. Kepada kaum yang seperti itu disediakan pula pelayanan pemberantasan buta huruf. Bagi yang mau menetap, dibangun desa-desa dengan fasilitas lengkap: air, listrik, saluran telepon, sanitasi, klinik, masjid, sekolah, toko.... Di tempat-tempat yang sudah seperti itu peranan kaum wanita sudah hampir tak ada bedanya dengan di bagian dunia yang lain. Pabrik-pabrik semen, galangan kapal, dan pabrik ban sudah lama ada. Sementara itu, dua buah kota, Ruwais di Abu Dhabi dan Jabal Ali di Dubai, akan dijadikan kota industri - supaya kegiatan ekonomi tak hanya terbatas pada perminyakan. Negara gersang ini telah berswasembada pangan sejak beberapa tahun lalu, dengan adanya pusat penelitian khusus untuk itu. Perdagangan sudah dibuka dengan hampir seluruh negara di dunia - sesuatu yang hebat untuk sebuah negara yang penduduknya belum genap sejuta dan yang 15 tahun lalu sama sekali tak dikenal. Bank-bank terkenal dunia hampir semuanya punya cabang di sini. Bersama dengan 20 bank nasional, mereka menyediakan diri buat tiap 2.500 penduduk. Suatu hal yang tak tertandingi oleh negara mana pun di dunia. Nah, apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Adakah alasan untuk tak bersuka hati? * * * Ada. Banyak, bahkan. Dasar segala permasalahan tentu saja dasar segala kemakmuran itu: minyak. Problem timbul justru karena minyak Abu Dhabi terlalu besar - 80% dari seluruh produksi PEA yang 1,8 juta barel per hari. Minyak sebesar itu menyebabkan penciptaan dinar yang terlalu banyak, dan inflasi pun terjadi. Bayangkan: dalam waktu setahun, jumlah kredit yang disalurkan naik dari 2,9 milyar menjadi 3,7 milyar US dolar. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah Federal pada tahun 1977 memperketat pemberian kredit. Dan itu menyebabkan resesi. Resesi ini berkepanjangan ketika usaha konstruksi, yang merupakan usaha utama setelah minyak, mengalami kejenuhan pasar: banyak gedung dan rumah kosong, serta kredit macet. Dua buah bank segera bangkrut. Dewan Mata Uang, semacam bank sentral Pemerintah Federal, menginginkan peranan yang lebih besar. Tetapi ini tak disetujui banyak amir, terutama Syaikh Rasyid dari Dubai. Alasannya jelas. Sejak dulu Dubai adalah pusat keuangan dan ekonomi wilayah itu. Dan jika dewan itu, yang berkedudukan di Abu Dhabi - dan tentu saja sangat dikuasai Abu Dhabi, karena dia penyumbang 75% anggaran Pemerintah Federal - diberi peranan lebih besar, cita-cita Dubai untuk menjadi pusat segala kegiatan ekonomi Teluk terancam. Dan, bersama penolakan kepada peranan lebih besar Dewan Mata Uang, di bidang industri dan perminyakan pun tiap-tiap anggota akhirnya punya kebijaksanaan sendiri-sendiri. Dan cara seperti inilah yang membahayakan persatuan PEA. Sejak dulu problemnya selalu begitu: apakah pemerintah federal akan diberi peranan lebih besar. Struktur konstitusi PEA menunjukkan longgarnya ikatan ini. Semua amir punya kuasa di Dewan Tertinggi. Syaikh Zaid hanyalah presidennya, dan fungsi Dewan tak jelas. Syaikh Zaid, ketika akan dipilih kembali pada 1976, pernah mengancam akan mundur jika konstitusi dan peranan Pemerintah Federal tak diperbarui. Dia minta kontrol atas angkatan bersenjata, imigrasi, dan informasi, juga 75% penghasilan tiap emirat. Ia memang lalu mendapat banyak janji dari para ikhwannya, tetapi akhirnya toh tak banyak yang berubah. Dan tahun 1978 lalu semua persoalan di atas muncul kembali. Akarnya tentu saja masih tetap: ketaksukaan beberapa amir (terutama Syaikh Rasyid, dan Syaikh Saqr dari Ra'sul Khaimah) melihat peran Abu Dhabi meningkat. Tak mudah untuk beitu saia meleoaskan otonomi yang selama berabad-abad dimiliki. Masalah memang makin rumit setelah kemajuan dicapai. Rakyat makin terdidik, dan mereka juga menghendaki peranan. Maka, terjadilah sebuah demonstrasi pada tahun 1979, meminta pembentukan sebuah pemerintahan baru. Anehnya, demonstrasi ini mendapat sokongan dari ketua Dewan Nasional Federal yang diangkat para amir, yakni Taryam Umran. Orang ini bahkan bilang, lebih baik anggota Dewan dipilih bukan diangkat. Tentu saja, sampai sekarang, yang berkuasa dan yang menentukan tetap para amir. Yang juga bisa menjadi gawat adalah problem pekerja asing. Di dunia ini barangkali susah dicari negara yang penduduk aslinya menjadi minoritas seperti PEA, terutama Abu Dhabi dan Dubai. Dari 877.000 pemukim (1978), cuma 200.000 yang pribumi. Dulu, ketika penduduk asli masih terkebelakang, para pendatang ini disambut mesra. Pada merekalah keahlian untuk membangun Abu Dhabi terdapat. Tetapi kini, setelah jumlah mereka membesar, lagi pula minyak menyuram sinarnya (PEA dalam dua tahun ini sangat berkurang penerimaannya anggaran belanjanya mengalami defisit 1,09 milyar dolar pada 1982), para imigran ini mulai mendapat perlakuan tak enak. Tahun lalu pemerintah memberhentikan 1.700 pekerja asing dan menunda bantuan kesehatan untuk yang lain. Para pendatang gelap, yang dulu dibiarkan, kini mulai dikejar-kejar. Juni 1982, dalam suatu razia, 2.000 orang tertangkap. Rakyat Abu Dhabi sendiri mulai tak senang kepada mereka. Angka kriminalitas yang meningkat selalu dihubungkan dengan para perantau itu, terutama yang datang dari Asia. Sebuah koran Abu Dhabi bahkan menulis, "Di antara sekian banyak orang asing yang menyebabkan kita jadi minoritas, terdapat unsur-unsur zionis." * * * Bisakah PEA, atau lebih khusus lagi Abu Dhabi keluar dari semua persoalan ini? Susah dijawab. Tahun 1982 Syaikh Zaid memang telah dipilih kembali menjadi presiden dewan tertinggi negara tanpa kesulitan. PEA pun telah memiliki angkatan bersenjata bersama - yang cukup tangguh - meski tiap negara anggotanya masih memiliki pasukan sendiri. Namun, semua itu ternyata tak menyentuh inti persoalan. Seperti dikatakan The Middle East, November 1978, pembentukan PEA adalah inisiatif para syaikh yang berkuasa, bukan inisiatif rakyat. Akan tetapkah mereka mempertahankan persatuan ini, seandainya mereka diberi hak ikut menentukan? Perkataan "rakyat" sendiri sudah cukup menimbulkan persoalan. Dengan 80% penduduknya yang pendatang, dan sebagian yang sudah sangat lama menetap telah menjadi warga negara, bukankah penduduk asli bisa kalah suara? Siapa sebenarnya rakyat - alias "anak buah" - para amir itu? Tanda-tanda keramaian sudah mulai muncul. Dan itu datang dari - seperti kekhawatiran banyak negara Timur Tengah lain - Iran. Negeri terakhir itu, yang cuma dipisahkan selat sempit Hormuz, lelah mengirim banyak sekali pekerja ke PEA. Bayangkan: di Dubai saja ada 30.000, lebih dari 10% penduduk asli. Tahun 1980 lalu Ayatullah Khalkhali mengunjungi mereka - terang-terangan. Pemerintah PEA tentu saja sangat terkejut. Maka, supaya tampak jadi anak baik di mata Khomeini, Dubai melarang penjualan alkohol. Toh sikap Khomeini, seperti sikapnya kepada penguasa lain di daerah Teluk, tetap keras. Buktinya, Pulau Abu Musa, milik Syarjah yang dulu dirampas Syah Iran, yang rencananya akan diserahkan kembali, tetap dipertahankan. Kendati begitu, tampaknya perhatian utama Syaikh Zaid tetap saja pada pembangunan materiil. "Marilah kita berdoa," katanya kepada rakyat. "Semoga Allah Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana membimbing kita menuju kemakmuran, serta menjadikan era pembangunan kita berhasil dan berkembang dalam damai."