Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Amunisi Baru Korban Korupsi Bansos

Sebanyak 18 korban korupsi bantuan sosial oleh Juliari Batubara sedang mengajukan gugatan kasasi ke Mahkamah Agung. Vonis bersalah Juliari menjadi amunisi baru penggugat.

24 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para pegiat antikorupsi sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas penolakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap penggabungan sidang kasus korupsi eks Menteri Sosial, Juliari Batubara, dengan gugatan ganti rugi korban korupsi bantuan sosial.

  • Gugatan ganti rugi ini berasal dari 18 orang anggota masyarakat yang merasa menjadi korban dari korupsi bansos yang dilakukan Juliari.

  • Penggunaan pasal suap akan membuat kasus Juliari tidak bisa diungkap lebih jauh, terutama untuk mengungkap adanya aktor-aktor lain dalam kasus ini.

JAKARTA – Para pegiat antikorupsi sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas penolakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap penggabungan sidang kasus korupsi eks Menteri Sosial, Juliari Batubara, dengan gugatan ganti rugi korban korupsi bantuan sosial. Gugatan ganti rugi ini berasal dari 18 anggota masyarakat yang merasa menjadi korban dari korupsi bansos yang dilakukan Juliari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Charlie Albajili, mengatakan, jika kasasi masyarakat diterima MA, bisa dilakukan pemeriksaan kembali terhadap kasus ini dan Juliari Batubara. “Meski kasus Juliari sudah ada putusan, kalau kasasi diterima, masih bisa minta pemeriksaan kembali karena syarat formal terpenuhi, yakni kami ajukan gugatan jauh sebelum ada putusan,” kata dia saat dihubungi, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Charlie menjelaskan, dalam konteks pembuktian pokok gugatan tersebut, vonis bersalah terhadap Juliari akan lebih mudah membuktikan pelanggaran hukumnya. Hal yang perlu dilakukan adalah membuktikan kausalitas bahwa kerugian memang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum dari Juliari. “Jadi, dengan penggabungan ini (jika diterima kasasi oleh MA) sebenarnya memangkas setidaknya setengah tahap pembuktian gugatan,” tuturnya.

Charlie mengatakan, dalam kasus korupsi bansos, terdapat laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan harga paket bansos kepada vendor terlalu mahal. Sementara itu, beberapa barang yang diterima masyarakat dalam kondisi kurang baik. Ia menambahkan, putusan hakim Pengadilan Tipikor yang menolak penggabungan juga bisa dikatakan konyol.

Mobil berisi paket bantuan sosial dari Presiden RI yang didistribusikan melalui Kementerian Sosial di wilayah Rukun Warga 09, Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta, 26 Juni 2020. TEMPO/Nita Dian

Menurut Charlie, majelis hakim beralasan ada ketidakcocokan antara alamat tempat tinggal Juliari di Jakarta Selatan dan tempat gugatan dimasukkan, yaitu di Jakarta Pusat. Majelis hakim menilai gugatan seharusnya dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Alasan ini, kata Charlie, tak dapat diterima lantaran penggabungan perkara gugatan kerugian harus dilakukan menyatu dengan perkara yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat/Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Charlie juga menyoroti penggunaan pasal suap dalam kasus Juliari. Ia menjelaskan, penggunaan pasal suap akan membuat kasus ini tidak bisa diungkap lebih jauh, terutama untuk mengungkap adanya aktor-aktor lain dalam kasus ini. “Harusnya pakai Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sudah sangat jelas kerugian negara,” ujar dia.

Pasal 2 ayat 1 undang-undang ini menyatakan setiap orang, yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup.

Sedangkan Pasal 2 ayat 2 menyebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi itu dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 2 ayat 2 menyatakan yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi: apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan kasus korupsi Juliari, pemerintah telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam.

Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kemarin. Majelis hakim menilai Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Juliari secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Salah satu hal yang meringankannya adalah hakim memandang Juliari telah mendapat cacian dan hinaan dari masyarakat, padahal belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Permohonan penggabungan gugatan ganti rugi yang dilakukan oleh 18 korban korupsi bantuan sosial di Pengadilan Negeri Tipikor ditolak pada 12 Juli lalu. Majelis hakim menilai seharusnya gugatan dilayangkan di PN Jakarta Selatan, sesuai dengan domisili Juliari, bukan di Pengadilan Tipikor yang berada di Jakarta Pusat.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (tengah) bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi di Kantor KPK, Jakarta, 23 Januari 2020. ANTARA/Sigid Kurniawan

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan vonis Juliari melukai hati korban korupsi bansos. Melihat dampak korupsi bansos dan posisi Juliari sebagai Mensos, Kurnia memandang Juliari pantas mendekam seumur hidup di penjara. Kurnia beralasan kejahatan Juliari dilakukan ketika dia menduduki posisi pejabat publik. Sesuai dengan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Juliari dapat diberi pemberatan pidana.

Kedua, praktik suap dilakukan pada masa pandemi, sehingga hakim seharusnya memiliki sense of crisis dalam pertimbangannya. Ketiga, Juliari masih tidak mengakui perbuatannya dalam pleidoinya, sedangkan dua penyuapnya sudah terbukti secara hukum. “Persidangan ini penting karena harusnya memberikan sinyal kepada pejabat publik untuk tidak memanfaatkan pandemi untuk ladang korupsi,” tutur Kurnia, kemarin.

Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan vonis 12 tahun kurungan terhadap Juliari merupakan hukuman yang rendah dilihat dari keseriusan perbuatannya. Ia menyampaikan perbuatan Juliari adalah kejahatan tindakan korupsi terhadap dana bantuan sosial pada saat bencana yang sangat serius, yaitu pandemi Covid-19.

Zaenur menyebutkan Juliari lebih layak dihukum maksimal sesuai dengan pasal yang dikenakan hakim, yaitu Pasal 12 b Undang-Undang Tipikor. Pasal itu memiliki ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau setidaknya 20 tahun. “Menurut saya, lebih layak pidana penjara seumur hidup,” kata dia saat dihubungi, kemarin.

Ia menyatakan vonis 12 tahun penjara adalah putusan main aman ala hakim karena tuntutan jaksa penuntut umum dari KPK hanya 11 tahun. Dengan demikian, hakim cukup memutus hukuman 1 tahun di atas tuntutan jaksa. Selain itu, pertimbangan majelis hakim soal faktor meringankan perihal adanya hinaan dan cacian kepada Juliari dikritik oleh Zaenur.

Menurut dia, cacian dan hinaan kepada Juliari justru menandakan kemarahan masyarakat. “Justru itu (harusnya) memberatkan karena (korupsinya) berdampak (ke masyarakat) dan mengundang kemarahan publik,” kata dia.

DIKO OKTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus