Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Hwang Li Na: Bintang Kampung Belakang

Ia perempuan pertama dari Kampung Belakang, Kalideres, Jakarta Barat, yang kawin dengan pria Taiwan. Keberuntungannya mengundang yang lain.

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia datang ke Taman Kota Chiayi, Taiwan, itu diantar suami dan anak bungsunya mengendarai skuter. Yana, 26 tahun, tampak segar dan modis. Celana jins ngepas di badan plus kaus merah membalut tubuhnya yang ramping. Bibir tipisnya disapu gincu warna pink. Lalu di hari yang cerah pada akhir November itu, perempuan bernama asli Hwang Li Na ini menuturkan kisahnya kepada Tempo.

Yana, seperti pengakuannya, adalah perempuan Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, pertama yang kawin dengan pria Taiwan. Sepuluh tahun silam, Yana menikah dengan seorang pria Taiwan pada usia yang sangat belia, 16 tahun. ”Sejak itu, bisnis beginian mulai ramai,” katanya.

Bisnis? Perkawinan wanita Kampung Belakang dengan pria Taiwan memang sulit dibilang seperti perkawinan pada umumnya. Mereka saling tak kenal. Boro-boro ada rasa cinta. Salah satu tujuan perkawinan itu tak lain adalah keluar dari jerat kemelaratan yang mendekap mereka selama berabad-abad.

Orang tua Yana memang tidak beruntung. Papinya menarik ojek, dan sang mami jualan nomor buntut. Suatu saat, persisnya 10 tahun lalu, Yana dikenalkan dengan pria Taiwan berusia 31 tahun. Esoknya, ia dibisiki bahwa lelaki itu, Ie Sek Yauw namanya, telah jatuh hati padanya. Dan ketika disampaikan Ie Sek ingin segera melamarnya, Yana ho-oh saja.

Lalu hari itu juga proses lamaran dilakukan. Ie Sek memberikan uang Rp 2,5 juta untuk orang tua Yana. Dari sang calon mertua, Yana menerima angpau 10 ribu new Taiwan dollar (NT), setara dengan Rp 2,8 juta. Pesta pun digelar dengan biaya dari Ie Sek. ”Kami juga berfoto di studio,” Yana mengenang.

Pesta usai, dan Ie Sek kembali ke Taiwan enam hari kemudian, tapi Yana masih tinggal di Kampung Belakang. ”Saat itu saya masih suci, belum berhubungan suami-istri.” Hingga sembilan bulan kemudian mereka hidup terpisah. Setiap bulan suami dan mertuanya mengirim uang 10 ribu NT. ”Tetapi sampai di tangan kami tinggal Rp 250 ribu karena dimakan calo Singkawang.”

Lalu tibalah saatnya Yana dijemput dan diboyong ke Chiayi. Di kota ini mereka tinggal bersama ibu Ie Sek. Ayah Ie Sek sudah meninggal dunia saat ia masih kecil. Di sinilah perkawinan itu disahkan di kuil setempat. Pesta kembali digelar. Ayah Yana didatangkan untuk menyaksikan pernikahan anaknya. ”Sebulan sesudah itu, saya baru berhubungan badan dengan suami,” kata Yana terkekeh.

Terberkatilah Yana, karena sang suami dan mertua sangat menyayanginya. Suaminya, yang bekerja sebagai pengawas di pabrik kunci, amat memanjakannya. Tiap bulan Yana mendapat uang jajan 3000 NT (Rp 840 ribu). ”Kebutuhan lain sudah diurusi suami,” kata Yana. Ie Sek juga siap jika Yana hendak mengirim uang ke Indonesia. Tidak hanya itu, tiap pekan suaminya mengajaknya belanja baju baru. Sekali setahun suaminya mendapat jatah libur ke luar negeri. Tentu saja Yana ikut kecipratan kenikmatan ini.

Bagi Yana, Ie Sek adalah suami idaman. Ia tergolong tipe pria lembut, tak suka judi ataupun merokok, main perempuan, dan mabuk. ”Kalau pulang terlambat sebentar saja, dia pasti bilang,” ujar Yana. Kini mereka dikaruniai sepasang anak manis: A Yauw Sen Fan, 7 tahun, dan Yauw Veren, 5 tahun.

Secara ekonomis, Ie Sek juga tak mengecewakan. Ia bergaji 40 ribu NT per bulan dan memiliki flat tujuh lantai seharga 3 juta NT. Tempo sempat menengok flat yang dari luar tampak dingin tetapi terasa hangat di dalam itu. Di basement terparkir mobil Hyundai tahun 2000 plus dua sepeda motor. Lantai satu dilengkapi kursi kayu jati, difungsikan sebagai ruang tamu. Lantai dua jadi tempat belajar anak-anak. Sedangkan ruang tidur ada di lantai tiga dan empat—total ada empat kamar tidur.

Masih ada harta masa depan Yana, yakni rumah yang ditempati sang mertua seharga 10 juta NT (Rp 2,8 miliar). Rumah itu kelak akan kembali ke Ie Sek karena dialah yang membangunnya.

Kini, Yana sudah memegang paspor Taiwan. Dia pun sudah lancar membaca dan menulis huruf Cina. Masakan Indonesia, Yana tak lagi suka. Kemiskinan juga sudah ditinggal jauh-jauh di pojok barat Jakarta. ”Kesuksesan” Yana inilah yang membuat gadis di Kampung Belakang ingin mengikuti jejaknya.

Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus