Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Indikasi pidana muncul dari hasil penelusuran penyakit gagal ginjal akut pada anak. Indikasi itu mengarah pada dua perusahaan produsen obat. Diduga mereka sengaja menggunakan senyawa berbahaya untuk memproduksi obat berbentuk sirop. "Untuk mengetahui itu (benar atau tidak), tidak ada jalan lain kecuali penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian," kata Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab, kemarin, 28 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyakit gagal ginjal akut telah merenggut nyawa 157 anak. Mereka terserang penyakit itu diduga setelah mengkonsumsi obat sirop yang mengandung etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG). Menurut Amiruddin, kejadian ini merupakan permasalahan HAM, terutama menyangkut hak atas perlindungan kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indikasi pidana itu muncul berdasarkan penelusuran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Badan Pengawas memeriksa obat-obatan yang sebelumnya digunakan oleh pasien gagal ginjal akut. Dari penelusuran itu ditemukan lima produk obat mengandung EG dan DEG di atas ambang batas. Dua di antaranya adalah obat penurun demam merek Termorex Syrup yang diproduksi PT Konimex serta obat batuk dan flu merek Flurin DMP Syrup yang diproduksi PT Yarindo Farmatama. Sedangkan tiga obat lainnya diproduksi PT Universal Pharmaceutical Industries (UPI), yaitu obat batuk dan flu merek Unibebi Cough Syrup, obat demam merek Unibebi Demam Syrup, serta obat demam merek Unibebi Demam Drops.
Belakangan, BPOM menyebutkan, ada tiga produk yang diduga benar-benar menggunakan EG dan DEG sebagai bahan pelarut. Obat-obatan tersebut diproduksi oleh dua perusahaan. "Ini ada indikasi bahwa ada kejahatan, ada penggunaan yang salah," kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito, Kamis lalu. Namun Penny tidak bersedia menyebutkan nama dua perusahaan yang dimaksudkan. "Kecurigaan kami, ada unsur kesengajaan, tapi itu perlu ditelusuri lebih jauh lagi."
Seorang praktisi farmasi yang tidak bersedia disebut namanya mengatakan, salah satu perusahaan itu memproduksi obat sirop anak dengan kandungan etilena glikol 5 persen. Padahal ambang batas yang ditetapkan hanya sebesar 0,1 persen. Produk perusahaan ini telah beredar luas hampir di seluruh Indonesia. "Jadi, perusahaan itu hanya melaporkan obat yang bagus (ke BPOM), tapi obat yang beredar tidak bagus," kata dia.
PT Konimex sebelumnya telah membantah temuan BPOM itu. Badan Pengawas kemudian memeriksa ulang sampel produk Konimex pada batch berbeda. Hasilnya, BPOM menyatakan hanya menarik peredaran produk Konimex pada batch awal, sedangkan produk pada batch lainnya aman.
Adapun kuasa hukum PT Universal Pharmaceutical Industries (UPI), Hermansyah Hutagalung, menegaskan bahwa perusahaan menggunakan propilena glikol (PG) untuk bahan pelarut. Memang dalam pelarut itu terdapat kandungan EG dan DEG. "PT Universal membeli bahan PG glikogen yang mengandung EG dan DEG, tapi sesuai sertifikat analisis yang menjelaskan kandungan keduanya 0,08 persen," kata Hermansyah, kemarin.
PT UPI membeli PG glikogen itu dari sebuah perusahaan farmasi di Medan, Sumatera Utara. Karena itu, jika pelarut yang digunakan PT UPI dipermasalahkan, seharusnya pihak yang bertanggung jawab adalah supplier bahan obat. “Kami memegang sertifikat analisis dari perusahaan supplier tersebut,” kata Hermansyah. "Lalu di mana kesalahannya?"
PT UPI memang memproduksi obat bermerek Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Syrup, dan Unibebi Demam Drops. Adapun jumlah produksi per bulan sebanyak satu juta botol dan sudah berjalan sejak 1975. Selama ini, konsumen juga tidak memiliki masalah dengan tiga merek tersebut. “Tidak masuk akal kalau perseroan merusak reputasi sendiri,” kata dia. Setelah ada temuan BPOM, PT UPI berinisiatif menguji ketiga obat tersebut di sebuah laboratorium di Bogor. "Kami akan sampaikan hasil uji laboratorium jika sudah rampung."
Petugas menempelkan tulisan pemberitahuan tidak melayani pembelian obat sirop penurun panas di salah satu apotek di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 22 Oktober 2022. ANTARA/Abriawan Abhe
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, saat ini tim yang dipimpin Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) masih mengumpulkan barang bukti. Setelah itu, Polri akan menganalisis bukti-bukti yang diperoleh. "Jika sudah cukup, akan dinaikkan dari lidik ke sidik," ujar Dedi.
Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Muhammad Nasser berpendapat, jika industri farmasi memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan obat berbahaya bagi tubuh, perusahaan dapat dikenakan pidana kefarmasian. Pemerintah pun bisa melakukan uji petik dari produk yang beredar seperti yang saat ini tengah dilakukan BPOM. "Kalau ketahuan ada kandungan berbahaya, hukumannya bisa dicabut izin edar," ujarnya.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, mengatakan, untuk melangkah ke jalur pidana, BPOM perlu memastikan lebih dulu unsur sebab-akibat pasien gagal ginjal akut yang meninggal. Pembuktian itu perlu dilakukan dengan bukti uji ilmiah. "Kalau belum tahu penyebabnya, ini akan jadi dialektika baru," kata Azmi. "Perlu forensik ke bayi yang meninggal, juga hasil cek darah."
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, kalau penyakit gagal ginjal akut pada anak disebabkan oleh obat, bisa dilihat konstruksi peristiwa dan siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan. Pertama, jika produsen keliru menerjemahkan komposisi obat yang sudah diperiksa dan diawasi, artinya komposisi obat itu tidak sesuai dengan yang disetujui BPOM. Maka kesalahan sepenuhnya ada pada produsen obat. "Produsen tidak mengikuti komposisi yang telah disetujui BPOM, sehingga produsen bertanggung jawab, baik secara perdata maupun pidana," kata Fickar.
Kedua, jika komposisi obat telah sesuai dengan arahan BPOM dan telah mencantumkan indikasi obat pada kemasan, termasuk larangan mengkonsumsi bagi orang-orang tertentu, kesalahan sepenuhnya ada pada konsumen. Sedangkan jika obat dikonsumsi berdasarkan resep dokter, dokter juga harus ikut bertanggung jawab. Ketiga, untuk obat-obatan yang hanya boleh dikonsumsi berdasarkan resep dokter, jika terjadi komplikasi, ada kemungkinan kesalahan jika dokter keliru mendiagnosis penyakit. Maka tanggung jawab ada pada dokter.
Keempat, BPOM bisa dituntut baik perdata maupun pidana jika arahan komposisi obat untuk penyakit tertentu keliru atau salah. Kelima, hak menuntut bagi korban jika bisa dibuktikan bahwa keluhan sakit tidak sesuai dengan obat yang diberikan, yang dituntut selain BPOM juga dokternya. Keenam, proses hukum terhadap BPOM, baik pidana maupun perdata, bisa dilakukan bila terbukti kesalahan ada pada BPOM.
HENDARTYO HANGGI | SAHAT SIMATUPANG (MEDAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo