Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Indonesia Perlu Petarung

24 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat nama Rizal Ramli masuk jajaran Kabinet Kerja sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dalam perombakan yang dilakukan Presiden Joko Widodo, banyak yang heran karena sebelumnya ia beberapa kali melontarkan kritik keras kepada pemerintah. Pertanyaan pun merebak: siapakah yang "membawa" Rizal sehingga ia kini berada di jajaran pembantu presiden dan menduduki pos yang dulu dipegang Indroyono Soesilo itu?

Belum usai publik membincangkan hal itu, Rizal Ramli menyambungnya dengan serangkaian pernyataan kontroversial yang membikin panas kuping koleganya di kabinet, bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rizal terang-terangan menyentil kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan pandangannya.

Menteri di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, misalnya, mengecam rencana pembelian pesawat Airbus A350 oleh PT Garuda Indonesia. Ia juga mengkritik proyek listrik 35 ribu megawatt dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Menurut ekonom yang mendirikan dan pernah memimpin lembaga konsultan Econit Advisory Group ini, pembelian Airbus A350 bakal bikin Garuda keok. Rizal juga menganggap proyek listrik 35 ribu megawatt tak realistis. Sedangkan dalam proyek kereta cepat, pria 60 tahun ini menuding ada pejabat yang "bermain".

Gara-gara serangkaian suara keras Rizal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai menegurnya. Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno pun sampai geregetan karena Rizal dianggapnya sudah ikut campur mengurusi Garuda, yang ada di bawah Kementerian BUMN. Tapi Rizal memilih cuek dan malah menantang Kalla berdebat terbuka soal proyek listrik.

Presiden Joko Widodo disebut Kalla sudah menegur Rizal. Namun Rizal membantah. Juga saat dipanggil Jokowi ke Istana pada Rabu sore pekan lalu, dia mengaku tidak ditegur. "Saya pikir saya akan dimarahi karena dipanggil, tapi enggak. Minggu depan saya diterima oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak di Malaysia," ujar Rizal dalam wawancara yang berlangsung lebih dari satu jam dengan Retno Sulistyowati, Isma Savitri, Akbar Tri Kurniawan, Devy Arnis, fotografer Aditia Noviansyah, dan videografer Dani dari Tempo di ruang kerjanya, Rabu petang pekan lalu.

Baru saja dilantik, Anda sudah bersilang pendapat dengan menteri lain dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Apa tujuan Anda?

Ya. Ini adalah jurus rajawali ngepret. Rajawali kan kukunya tajam. Dia biasa terbang di dunia bebas. Dia bawa angin dari luar yang lebih kuat. Dia bawa ke dalam, lalu dia kepret. Itu untuk shock therapy-nya. Habis itu, kita benahi, konsolidasi. Gitu aja ribet.

Termasuk yang Anda bilang ada menteri di balik proyek kereta cepat?

Ya, enggak usah menyebut namalah.

Kenapa Anda menerapkan gaya begitu?

Kalau enggak, kita akan berada dalam zona nyaman terus. Apa-apa sudah bagus, sudah bagus, gitu. Padahal kita kan perlu shock therapy. Caranya? Saya kan belum pernah ikut sidang kabinet, boleh dong ngomong bebas buat membikin perubahan lebih baik. Tadi rapat resmi, sidang kabinet, ya udah kritisnya di dalam saja.

Alias Anda akan ngerem setelah ini?

Enggak. Enggak ada urusan ngerem. Cuma bedanya, kalau kita di luar, kita kritis. Tapi, kalau di dalam, kita kritis untuk mengubah. Rizal Ramli di Bulog, di BNI tidak diam saja, tapi melakukan transformasi.

Begitupun saat di Semen Gresik. Ketika itu saya undang semua direktur dan komisaris makan bareng di hotel. Saya bilang saya ditawari banyak posisi sebagai presiden komisaris di sejumlah badan usaha milik negara, tapi yang saya pilih adalah Semen Gresik karena paling gampang. Saya lalu kasih waktu mereka satu tahun untuk memperbaiki Semen Gresik. Kalau tidak, opsinya cuma dua: Rizal Ramli mengundurkan diri atau saya gunakan pengaruh saya untuk mengganti semua direktur direksi dan komisaris. Mungkin banyak yang sebal kepada saya, tapi saya tidak peduli. Pemimpin-pemimpin hebat, seperti Lee Kuan Yew, Ali Sadikin, dan Mahathir Mohamad, biasa berbicara apa adanya, enggak terlalu banyak kesantunan.

Jadi kalau ada yang bilang Rizal Ramli tukang kritik dan enggak cocok jadi menteri, aduh level analisisnya rendahan banget. Cetek. Mereka enggak mengerti sejarah. Orang yang mengubah dunia dan negaranya harus menjadi transformer.

Pak Jokowi menegur Anda karena silang pendapat dengan Wapres?

Kalau Presiden sih senang sama saya. Karena karakter kami kan nyaris sama. Sama-sama punya pikiran out of the box. Lihat saja bagaimana Presiden yang menghabiskan Lebaran di luar Jakarta. Itu tuh nyeleneh. Melawan konvensi.

Presiden sempat bilang, mending menteri mengurusi hal yang strategis saja, jangan yang di luar kewenangannya. Anda merasa tersindir?

Itu kan interpretasi. Saya waktu Lebaran ketemu dengan Presiden. Saya lapor, "Mas, saya pakai jurus rajawali ngepret." Dia senang. Ketawa dia. Jangan lupa, dong, Pak Jokowi kan ingin petarung. Pak Syafii Maarif kan ingin petarung. Kami ini dianggap petarung.

Nah, tadi (Rabu sore, 19 Agustus 2015) saya juga ketemu dengan Presiden. Saya pikir saya akan dimarahi karena dipanggil, tapi enggak. Minggu depan saya diterima oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak di Malaysia. Kita dan Malaysia akan membikin kawasan khusus industri oleochemical kelapa sawit, karena kita menguasai sekitar 90 persen produksi kelapa sawit di dunia. Salah satu produknya adalah avtur untuk pesawat jet. Kita ingin dalam lima tahun menjadi produsen avtur biodiesel terbesar di dunia.

Kenapa jurus rajawali ngepret tadi Anda gunakan untuk berbicara soal rencana Garuda Indonesia membeli pesawat Airbus A350 dan pembangunan proyek listrik 35 ribu megawatt?

Sebetulnya sudah saya bicarakan ini dengan Presiden pada hari Lebaran. Setelah kami ngomongin masalah ekonomi dan lainnya, saya bilang, "Mas, saya mau minta tolong urusan pribadi." Saya mengatakan punya ikatan emosional dengan Garuda. Sebab, saat saya menjabat menko pada tahun 2000-an, Garuda enggak bisa membayar utangnya sampai US$ 1,8 miliar kepada konsorsium bank di Eropa. Mereka mengancam akan menyita pesawat Garuda.

Saya lalu mengirim pesan ke Frankfurt. Saya bilang silakan sita pesawat Garuda karena kami akan membawa urusan ini ke pengadilan internasional. Sebab, mereka membiayai kredit yang ada penggelembungan duitnya waktu itu. Jadi dulu pesawat dijual ke Garuda. Kalau dikasih kreditnya 150 persen kan ada bunganya, penggelembungan. Itu istilahnya odious interest, bunga yang enggak bener. Jadi, kalau kita ajukan soal itu ke pengadilan di Frankfurt, kita pasti menang. Begitu saya kirim pesan itu, belasan bankir dari Eropa datang minta tolong agar kami berdamai saja. Sebab, risikonya harga sahamnya jatuh, bisa kena penalti karena odious interest, dan bisa masuk penjara.

Saya akhirnya mau berdamai asalkan ada restrukturisasi. Mereka juga minta garansi 100 persen. Tapi saya bilang, maaf saja, kalau pemerintah Indonesia bisa menyediakan itu, kami tidak membutuhkan mereka. Saya maunya garansi ecek-ecek US$ 100 juta dan kalau ada apa-apa pemerintah Indonesia enggak kena default. Nah, saya minta ke Pak Jokowi, jangan sampai sekarang Garuda dibangkrutin lagi.

Anda melihat Garuda sekarang berpotensi seperti itu?

Iya. Sebab, yang dibeli ini pesawat Airbus 350, yang hanya cocok untuk rute jarak jauh, ke Amerika dan Eropa. Sedangkan Garuda rute Amsterdam itu rugi melulu. Penumpangnya cuma 30-40 persen. Banyak perusahaan penerbangan di dunia babak-belur karena perusahaan penerbangan Arab, seperti Emirates, Qatar, dan Etihad. Jadi jangan dong Garuda diadu dengan perusahaan gede-gede itu.

Saya bilang ke Pak Jokowi, strateginya adalah Garuda kuasai dulu rute domestik, kemudian kuasai pasar regional. Kalau Garuda diadu dengan perusahaan Jepang, kita pasti lebih murah. Nanti sepuluh tahun lagi baru kita hajar pasar dunia. Masuk akal enggak argumen Rizal Ramli ini? Dan tidak perlu beli pesawat Airbus A350. Kita beli saja yang baru, A330, yang efisien energi. Ini yang dipakai uang utang lho, US$ 4,5 miliar. Sedangkan, kalau jadi, tiap terbang ke Amerika itu "bakar uang".

Kalau kayak begini saya perlu omongin atau enggak? Jadi jangan hanya lihat di kulitnya. Presiden setuju kok waktu itu. Ya udah, kita langsung, hari pertama kepret!

Sejak kapan Anda kenal Jokowi?

Saya kenal Mas Jokowi sudah lama, sejak beliau jadi gubernur. Saya manggil dia "Mas" dan dia juga manggil saya "Mas". Pak Jokowi pernah datang ke kantor saya, tanya cara membenahi birokrasi. Saya bilang ada dua cara: pertama, dengan model mengancam tapi tidak efektif. Kalau bisa, ikut cara saya ketika memimpin Bulog, yang ketika itu lembaga paling korup kedua di Indonesia. Saya mencari tahu bagaimana pola korup di lembaga itu. Ternyata mereka yang korup diposisikan di tempat yang "basah", demikian juga sebaliknya. Begitu tahu polanya, saya melakukan rotasi. Saya kasih saran begitu, Mas Jokowi senang.

Kedua, Mas Jokowi juga minta saran soal MRT (mass rapid transit) karena dia merasa harganya kemahalan. Dia sudah berusaha menurunkan harga, tapi susah. Sebab, sudah banyak "titipan" dari pejabat-pejabat sebelumnya, kan. Saya bantu juga soal itu karena kebetulan saya kenal orang Jepang yang mengurusnya.

Siapa yang mempertemukan Anda dengan Jokowi terkait dengan reshuffle menteri?

Ketemu langsung. Dia sebelumnya telepon saya, minta ketemu. Sebetulnya beberapa kali saya ketemu Presiden, tapi saya selalu "selamat" dari pantauan media. Misalnya sebelum Lebaran, kami ketemu, diskusi hampir dua setengah jam tentang banyak hal, terutama ekonomi.

Konteks diskusinya?

Diskusi saja tentang krisis ekonomi, bagaimana cara menyelesaikannya. Tapi sebelumnya kami juga sudah ketemu.

Jangan-jangan itu bagian dari proses uji kepatutan dan kelayakan Anda sebagai menteri?

Tidak. Tidak ada fit and proper test. Itu sih gayanya SBY.

Kalau dengan Megawati ada kontak dalam proses pencalonan sebagai menteri?

Tidak. Saya baru ketemu Bu Mega saat pelantikan. Sudah lama tidak ketemu, ngobrol 30 menit. Saya dengan Mbak Mega kan kenal lama.

Lalu bagaimana proses Anda menjadi menteri?

Saya ketemu dengan Pak Jokowi di satu lokasi. Tidak saya sebutkan lokasinya karena banyak yang mau nge-blocking saya. Jadi memang diatur supaya saya masuknya tidak ketahuan. Nah, di sana kemudian Pak Jokowi mengatakan, "Mas Rizal, saya ingin Mas Rizal jadi Menteri Koordinator Kemaritiman." Sebelumnya sih saya sudah tahu soal itu, dan sebelum datang ke lokasi itu saya sudah memutuskan untuk menolak. Banyak orang dekat yang telepon saya, termasuk orang yang di sekitar Pak Jokowi. Katanya, "Ambil, deh."

Siapa saja mereka?

Macam-macam. Jangan sampai kejadian kayak 2004 lagi. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menandatangani surat saya jadi Menteri Perekonomian, tapi kemudian ada yang "interpedo" (sic!). Saat itu ada yang tidak mau saya jadi menteri karena ada yang kepingin ngerapiin utang-utangnya. (Rizal akhirnya memang gagal masuk kabinet saat itu – Redaksi.) Nah, selalu pola permainannya itu melakukan intervensi saat injury time. Ini juga pokoknya Rizal Ramli enggak boleh masuk kabinet.

Kali ini dihalangi seperti apa?

Macam-macam. Tapi, hebatnya Jokowi, dia berani challenge. Akhirnya kompromi, pecahlah, satu ekuin, satu maritim. Tapi di lokasi pertemuan itu dia ngomong, "Mas Rizal, saya mau Mas Rizal jadi Menko Maritim karena ini sektor yang riil yang ribet. Saya perlu orang yang ngerti dan berani. Kalau ngerti saja enggak cukup. Kalau berani saja, ngaco. Dan Mas Rizal ini orang yang beranilah di Indonesia." Saat itu saya masih mikir-mikir dulu. Tapi Jokowi ini orang yang rendah hati sekali. Dia bilang yang minta tolong bukan hanya Jokowi. "Siapa sih saya. Tapi ini yang minta adalah rakyat Indonesia." Begitu Presiden ngomong begitu, gue udah lemes, dah. Saya akhirnya menerima dengan beberapa syarat. Tapi enggak usahlah dijelaskan syaratnya.

Jadi prosesnya menjadi menteri sejak kapan?

Menjelang Lebaran.

Siapa saja yang meng-endorse Anda sebagai menteri?

Adalah, enggak usah disebut namanya.

Termasuk Luhut Binsar Pandjaitan?

Pak Luhut endorse. Ya, banyak lainnya.

Banyak yang menyebut Luhutlah yang mengusung Anda sebagai Menko Kemaritiman. Beberapa kali Anda juga datang ke kantor Luhut. Seberapa dekat Anda dengannya?

Saya dan Pak Luhut kan teman lama. Kami ini "orang Gus Dur" semua. Istilah saya sama teman-teman Nahdlatul Ulama, kalau situasi biasa-biasa saja, kita tidak diperlukan. Kalau kondisi sudah krisis, baru butuh orangnya Gus Dur buat beresin.

Kalau datang ke kantor (Luhut) itu lain lagi urusannya. Karena Pak Luhut kan diminta kasih masukan ke Presiden. Nah, kalau menyangkut ekonomi, saya biasanya diminta Bang Luhut untuk memberi umpan balik dan input.

Sejauh mana upaya Luhut meng-endorse Anda?

Saya enggak tahulah. Itu urusannya Pak Luhutlah.

Anda juga sering dimintai masukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan?

Tidak pernah.

Kenapa Anda akhirnya menerima jabatan Menko Kemaritiman?

Ya, karena Pak Jokowi rendah hati sekali. Dan tentu sektor ini menantang karena riil.

Program apa saja yang Anda canangkan di Kementerian Koordinator Kemaritiman?

Pertama adalah sektor pariwisata karena ini yang paling cepat menghasilkan lapangan kerja, selain karena padat karya, berkesinambungan, dan devisanya besar. Saya minta agar wisatawan yang didatangkan jumlahnya dua kali lipat dibanding tahun ini. Strateginya dengan membuat citra yang kuat pada lima-enam destinasi wisata yang akan dipilih. Nanti juga akan ada wisata maritim karena ini salah satu keinginan Presiden. Nanti wisata maritim akan didukung pembangunan pelabuhan-pelabuhan, di antaranya untuk tempat parkir yacht. Juga pembangunan landasan udara.

Lalu sektor lain?

Untuk sektor perhubungan yang harus dibenahi adalah soal dwelling time. Kami akan bikin gebrakan setelah kami rapatkan dengan Kepala Polri dan Panglima TNI, juga pelabuhan, karena banyak beking dan mafianya di situ. Setelah konsepnya jelas, target kami dwelling time bisa di bawah tiga hari. Perlu orang sableng. Nah, itu tugas kami. Kan, kami dipilih karena sableng. Istilahnya Pak Jokowi dan Pak Syafii Maarif, Indonesia perlu petarung. Kami dipasang buat beres-beresin begini.

Kami juga sudah berencana bikin kereta cepat agar Jakarta-Bandung hanya 36 menit. Ini semua semangat datang. Cina dan Jepang kepingin banget, dan masing-masing ada bekingnya. Saya enggak peduli siapa bekingnya, yang penting manfaatnya buat negara kita lebih bagus. Setelah itu baru beresin kelautan. Saya dan Bu Susi (Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan) cocok karena sama-sama sableng. Yang dia lakukan dengan memberi terapi kejut itu sudah bagus, tapi mungkin harus kita pikirkan cara yang lebih baik.

Anda yakin persoalan beking di pelabuhan bisa dibereskan?

Saya sih enggak takut. Saya cuma takut kepada Tuhan. Kalau mati kan urusan Yang di Atas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus