Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Praktisi foraging melakukan beragam kegiatan untuk memperkenalkan praktek itu.
Genbinesia membuat program Botani Adventure untuk eksplorasi tumbuhan liar.
Labtanya mengadakan kegiatan pemetaan ragam tanaman pangan di ruang kota.
Kegiatan mencari tumbuhan liar sebagai kebutuhan pangan sekarang punya istilah kekinian: foraging. Sebelumnya, kegiatan ini lazim disebut "meramban", yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya mencari daun-daunan muda untuk makanan kambing dan sebagainya. Namun Thobib Hasan Al Yamini, anggota Yayasan Generasi Biologi Indonesia (Genbinesia), lebih suka mempopulerkan istilah foraging.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah ini diketahui Thobib pada 2016 ketika ia bekerja di Malang. Di luar negeri, foraging sudah dikenal luas. Di Indonesia, ujar Thobib, praktik itu sudah dilakukan masyarakat perdesaan setiap hari. Misalnya, mengambil tanaman liar lamtoro atau petai cina. "Bahkan dari zaman dulu sebelum masyarakat mengenal istilah foraging," kata Thobib kepada Tempo, Selasa, 22 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai ahli botani, kegiatan pria berusia 31 tahun itu tak jauh-jauh dari tumbuhan. Saat hendak mengangkat potensi tumbuh-tumbuhan di daerah tempat kerjanya, Thobib pun menemukan istilah foraging yang merujuk pada kegiatan mencari tumbuhan di sekitar. Akhirnya, ia pun memperdalam ilmu foraging dan mulai mengenalkan tumbuhan liar berguna untuk kebutuhan pangan ke sekolah-sekolah hingga mengadakan lokakarya.
Lewat Genbinesia, Thobib bersama rekan-rekannya di divisi botani membuat program dengan konsep foraging. Kegiatan bernama Botani Adventure ini telah terselenggara di beberapa daerah, seperti Mojokerto, Malang, dan Yogyakarta, sejak 2018. Di awal, kegiatan eksplorasi tumbuhan liar berguna ini diikuti sekitar 20 orang. Seiring dengan berjalannya waktu, minat masyarakat kian bertambah. Puncaknya, pada Maret 2019, ketika diadakan di Yogyakarta, ada 50 peserta yang ikut. Mereka datang dari berbagai latar, seperti siswa, mahasiswa, peneliti, dosen, pencinta alam, dan masyarakat umum.
Pendiri sekaligus pembina Yayasan Genbinesia, Muhammad Badrut Tamam, mengatakan konsep kegiatan ini adalah menjelajah sambil mencari. Jadi, para pemateri mengenalkan tumbuhan liar berguna yang bisa dimanfaatkan untuk makanan dan minuman, obat, serta kebutuhan lainnya.
Lalu peserta diajak trekking dan diajari langsung cara mengidentifikasi tumbuhan liar di sekitarnya oleh pemandu dari divisi botani. Setelah mengumpulkan tumbuhan liar, peserta dilibatkan untuk mengkonsumsinya. "Ada olahan yang simpel, kayak pecel, bikin tempura, urap, bahkan minuman dari hasil foraging," ujar Tamam.
Pelajar SMA Al Muslim Sidoarjo mengikuti kegiatan meramban dan edukasi morfologi tumbuh-tumbuhan yang digelar Yayasan Generasi Biologi Indonesia di Bumi Perkemahan Bedengan, Malang, Jawa Timur, Juni 2023. Dok. Yayasan Generasi Biologi Indonesia
Genbinesia selanjutnya membuat acara yang lebih besar. Yayasan ini mengadakan Biology Camp pertama di Indonesia pada Juli 2019. Saat itu materi tak spesifik tentang foraging. Ada bagian kegiatan yang berkaitan dengan botani, yaitu teknik identifikasi tumbuhan. Pesertanya mencapai 90 orang dari berbagai wilayah.
Sayangnya, kegiatan pengenalan foraging tak bisa dilanjutkan ketika masa pandemi. Mereka vakum selama beberapa tahun, dan akhirnya baru aktif kembali berkegiatan di luar ruangan pada tahun ini. Juni lalu, Genbinesia diminta salah satu institusi pendidikan di Surabaya menggelar kegiatan meramban selama dua hari semalam.
Pada hari pertama, pelajar diajari morfologi tumbuhan dasar dan perawatannya. Selanjutnya mereka diajari teknik ecoprinting, yaitu memanfaatkan tumbuhan sekitar menjadi barang fashion. Baru pada hari kedua, mereka diajak menjelajah. Berlokasi di Bumi Perkemahan Bedengan, para siswa diminta mengumpulkan tanaman dan mengidentifikasinya. Setelah itu, kata Taman, ada sesi jungle cooking. Hasil kegiatan meramban tadi diolah para siswa menjadi berbagai penganan. Ada yang dibikin menjadi kerupuk bayam, pecel, serta omelet.
Tahun depan, Tamam mengungkapkan rencananya untuk mengadakan acara Botani Camp yang khusus mengenalkan tumbuh-tumbuhan. Pengenalan ini tidak sekadar untuk pangan, tapi juga tumbuhan penghasil serat, warna, dan yang bisa dimanfaatkan untuk survival alias pertahanan hidup di situasi genting, seperti pendakian, tersesat, ataupun mitigasi bencana.
Inisiatif mengenalkan foraging juga menyasar masyarakat urban. Penggeraknya adalah Labtanya, studio desain sosial dan ekologi yang didirikan warga Jakarta, Adi Wibowo. Akhir Juni lalu, Labtanya bersama komunitas masyarakat urban mengadakan Peta Rambanan, sebuah kegiatan pemetaan ragam tanaman pangan yang tumbuh hidup dan bisa ditemui di ruang kota. Kegiatan ini dilakukan di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Tak disangka, dari hasil kegiatan itu, mereka menemukan 122 jenis tanaman pangan.
Kegiatan ini sudah dilakukan di empat wilayah Jakarta dan sekitarnya sejak 2017. Mulanya, Adi merintis kegiatan ini untuk merespons persoalan sampah perkotaan yang kian kompleks. Setelah ditinjau dengan eksperimen Rumah Minim Sampah di tiga kota, yakni Jakarta, Tangerang Selatan, dan Banjarmasin, Adi menilai akar persoalannya ada pada cara produksi dan konsumsi.
Aktivitas merambang Labtanya di Jakarta, Mei 2023. Dok. Labtanya
Di Banjarmasin, misalnya, Adi menemukan bahwa sampah-sampah warga peserta rupanya berasal dari barang-barang yang diproduksi kota-kota besar di Jawa. Artinya, terdapat jarak antara akses terhadap pangan. "Ini yang membuat kami melakukan eksperimen berikutnya pada 2017 bersama komunitas warga," tutur desainer sosial-ekologis tersebut.
Dalam uji coba kedua, Adi memfokuskan kegiatan pada aspek sumber pangan. Formatnya dalam bentuk lomba masak karena waktunya bertepatan dengan 17 Agustus. Pesertanya sendiri masih para pegiat Rumah Minim Sampah di RW 02 Pondok Jaya, Tangerang Selatan. Syarat lomba adalah menggunakan sedikit mungkin bahan yang datang dari luar kampung.
Menurut Adi, warga sempat kebingungan membayangkan harus memasak apa. Akhirnya, lomba tersebut menjadi kesempatan bagi Adi untuk mengajak warga memetakan tumbuhan pangan. "Kami ajak warga berkeliling kampungnya sendiri untuk melihat ragam tanaman pangan yang hidup di kampung," ujarnya.
Selama proses pemetaan, identifikasi tumbuhan tidak melibatkan pakar apa pun. Aplikasi seperti Google Lens juga tidak begitu membantu. Adi mengatakan masyarakat lokal justru paling tahu jenis tanaman pangan yang ada di kampungnya. Walhasil, pengetahuan dari warga memperkaya temuan Labtanya. Setelah pemetaan singkat selama 2-3 jam, mereka menemukan 70 jenis tanaman pangan yang bisa diolah menjadi makanan, minuman, serta bumbu dapur.
Begitu peta disajikan, warga jadi punya imajinasi untuk membuat makanan. Yang berkesan, kata Adi, justru saat presentasi lomba. Penganan yang disajikan merupakan makanan eksotik, yang hanya ditemukan di restoran mahal. Misalnya tanaman cabai yang selama ini hanya buahnya yang dipanen, ternyata daunnya juga bisa dimasak. "Banyak kejutan yang saya pikir wah gila, ya. Begitu warga dipantik, muncul khazanah pengetahuan yang selama ini enggak punya kanal," kata dia.
Labtanya mengadakan kegiatan pemetaan ragam tanaman pangan di Pondok Pinang, Jakarta, 2022. Dok. Labtanya
Dengan mengolah tumbuh-tumbuhan di sekitar, penggunaan bahan dari luar pun bisa ditekan. Minim biaya, juga minim sampah. Adi menuturkan sajian makanan dan minuman yang diproduksi dari pemetaan rambanan itu hampir tak menghasilkan sampah. Kecuali barang yang tidak bisa mereka produksi sendiri, seperti minyak goreng ataupun garam.
Sejak saat itu, Adi mengembangkan berbagai kegiatan yang mengajak warga kota melihat ulang potensi di tempat tinggalnya lewat perspektif ragam tanaman. Seperti pada 2021, Adi mengadakan pemetaan ragam tanaman pangan di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Selama ini, Kota Jakarta dibayangkan sebagai kota yang problematik dan menanggung stigma buruk sehingga hal baik di dalamnya, seperti aneka tumbuhan pangan, terpinggirkan. Dari kegiatan itu, Adi mencatat ada 164 jenis tanaman pangan yang tumbuh.
Ratusan tanaman tersebut lalu dipamerkan dalam satu festival Harta Kampung Kota Kita. Ada juga lomba masak yang diberi judul "Hunt and Gather" dengan menggunakan panduan peta ragam pangan untuk berburu dan meramu. "Jadi, kelihatan tanaman ini di tempat siapa, di RT siapa. Harapannya, itu menjadi alat membangun ulang relasi sosial," ucap Adi.
Walau kegiatan meramban ini baru sekadar pemetaan, Adi mengatakan Labtanya juga memiliki program lain bernama Buka Dapur. Nantinya, dua kegiatan ini terhubung. Sebab, tak cukup waktu mengolah hasil meramban. Selain itu, pemetaan rambanan bakal dilanjutkan. Bahkan acaranya bakal lebih spesifik, yaitu mencari tumbuhan di jalur MRT Jakarta.
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo