Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Paket Teror Laskar Tanah Air

Keluarga aktivis Veronica Koman, yang menyuarakan isu kemanusiaan Papua, mendapat teror berentet. Polisi belum menemukan pelaku.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rumah kerabat Veronica Koman dikirim paket berisi bangkai ayam.

  • Tiga kali teror menerpa keluarga Veronica Koman dan polisi belum berhasil menangkap pelaku.

  • Orang tua Veronica Koman meminta putrinya berhenti menjadi aktivis isu kemanusiaan Papua.

NELSON Nikodemus Simamora buru-buru mengirim pesan WhatsApp kepada Veronica Koman, Ahad malam, 7 November lalu. Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu mengabarkan sedang berada di depan rumah keluarga aktivis yang kerap menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di Papua tersebut di kawasan Jelambar Baru, Jakarta Barat. “Saya memberi tahu, ada paket mencurigakan atas nama dia,” ujar Nelson, Kamis, 11 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paket berbungkus warna biru itu diantarkan oleh pengemudi ojek pada pagi. Awalnya penghuni rumah membawa masuk bungkusan itu. Namun, pada malam sekitar pukul 20.00, penghuni menaruh paket itu di depan pagar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Veronica, yang kini bermukim di Australia, awalnya tak percaya ada paket misterius dikirim ke rumah kerabatnya. Belakangan, ia kaget melihat foto pasukan Gegana mengamankan paket tersebut. Setelah dibuka, paket itu berisi bangkai ayam dan sebuah pesan ancaman berbunyi: “Barang siapa menyembunyikan Veronica Koman, akan bernasib sama seperti bangkai ini”.

Paket itu merupakan teror ketiga dalam 15 hari. Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menuturkan, pada hari yang sama dengan pengiriman paket itu, rumah orang tua Veronica juga diteror. Jarak rumah orang tua dan kerabat Veronica tak sampai 5 kilometer. Pelaku yang mengendarai sepeda motor Honda Beat hitam bernomor polisi B-3840-EYT terekam oleh kamera pengawas (CCTV).

Pengemudi mengenakan jaket ojek online Grab dan penumpangnya berbaju hitam. Penumpang itu melemparkan tiga bungkusan berwarna hijau, kuning, dan putih ke garasi rumah sekitar pukul 10.26. Tujuh detik kemudian, bungkusan itu meledak. Setelah itu, ditemukan secarik kertas bertulisan “Laskar Militan Pembela Tanah Air” yang akan “membumihanguskan” Veronica jika polisi tak sanggup menangkapnya.

Polisi menetapkan Veronica sebagai tersangka pada 2019 dengan tuduhan memprovokasi mahasiswa Papua yang berada di Surabaya. Ia lalu masuk daftar buron dan paspornya dicabut.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Rusdi Hartono menganggap peristiwa itu tak terkait dengan aksi terorisme. Pelat nomor yang digunakan para pelaku terdeteksi palsu. “Bahan peledak hanya petasan,” katanya. J

uru bicara Grab Indonesia, Dewi Nuraini, mengatakan pengemudi bukan mitranya karena pelat nomornya tak tercatat dalam data.

Nelson Nikodemus Simamora mengatakan seharusnya polisi menelusuri lebih jauh para pelaku untuk mengetahui motifnya. “Ada kabel dalam paket itu dan ledakannya berdaya kecil,” ujarnya.

Aksi teror lain terjadi pada Ahad, 24 Oktober lalu. Saat itu, dua orang yang menggunakan sepeda motor Honda Beat menggantungkan paket di pagar rumah orang tua Veronica.

Tak lama kemudian, paket itu terbakar. Tetangga di sekitar yang menyaksikan peristiwa itu pun memadamkan api. Setelah api padam, paket itu terlihat berisi kertas koran dan karet ban.

Polisi menanyakan kepada ayah Veronica ihwal pekerjaannya sebagai pedagang. Menurut Nelson, salah satu pertanyaan terkait dengan dugaan balas dendam lawan bisnis. Polisi juga menanyakan soal putrinya yang aktif menyuarakan isu kemanusiaan Papua itu.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Amiruddin Al Rahab mengatakan polisi harus mengusut tuntas aksi teror ini. “Tindakan teror tidak boleh dibiarkan,” ucapnya. Adapun Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Theresia Iswarini menuturkan, perempuan pembela HAM dan keluarganya rentan terhadap serangan.

Veronica Koman mengaku jarang berkomunikasi karena orang tuanya tak setuju dengan pekerjaannya. Sekalipun berkomunikasi, orang tuanya meminta Veronica menghentikan aktivitasnya yang berkaitan dengan Papua. “Para pelaku menyerang orang yang paling rutin meminta saya berhenti bekerja untuk Papua,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus