Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seorang pun mendongakkan kepala ketika Menteri Transmigrasi dan Koperasi Mohammad Achadi membuka sebuah dokumen di atas meja. Ia menyampaikan ada 70 mahasiswa direkrut untuk mengorganisasi gerakan massa penentang Sukarno yang dilatih di Pulogadung.
"Perintah bergerak, Pak Presiden?" kata Achadi di hadapan Presiden Sukarno dan Tim Khusus Pasca Peristiwa 30 September 1965 di Istana Merdeka, sekitar Maret 1966. Tim ini bertugas menghentikan dampak buruk G-30-S.
Sukarno menggeleng. "Jangan. Mereka ini anak-anak kita juga," ucap Sukarno, seperti ditirukan Achadi kepada Tempo, September lalu.
Dalam rapat itu, hadir antara lain Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh, Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto, dan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya Amir Machmud. "Amir mengaku tidak tahu ada pelatihan mahasiswa oleh baju hijau (Angkatan Darat)," ujar Achadi. Soeharto, yang duduk persis di sampingnya, saat itu tak bersuara. "Dia hanya diam."
Menurut Achadi, gerakan anti-Sukarno itu begitu solid dan terencana. Kelompok itu memiliki pos-pos konsolidasi, dapur umum, dan kendaraan operasional. "Mereka juga punya kode komando melalui radio yang terpusat di Universitas Indonesia Salemba," katanya.
Kelompok penentang Sukarno berhimpun dalam Front Pancasila, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Mahasiswa Indonesia (KAPMI), dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Harold Crouch, dalam buku Army and Politics in Indonesia, memaparkan, agar gerakan KAMI didukung luas dan semakin banyak, Ali Moertopo, Kepala Operasi Khusus, operasi intelijen bentukan Soeharto, membagi-bagikan jaket kuning yang serupa dengan jaket almamater UI kepada mahasiswa dari kampus lain agar mereka ikut serta berunjuk rasa. Crouch menyebutkan jaket itu berasal dari badan intelijen Amerika Serikat (CIA).
"Saya tidak tahu kabar itu," ujar Harry Tjan Silalahi, Ketua Presidium Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) 1961-1962, pada September lalu. PMKRI kala itu berada dalam barisan penentang Sukarno.
Tapi, menurut Achadi, isu jaket kuning itu begitu meluas. Yang membuat dia heran, ribuan jaket bisa tersedia secara serentak, padahal usaha mesin konfeksi masih amat jarang di Jakarta.
Harry membantah soal itu. Mahasiswa dinilainya memiliki nasionalisme dan enggan dekat dengan Amerika Serikat. Kalau itu terjadi, ia malu dicerca sebagai antek Amerika. "Ini murni Pancasilais berhadapan dengan kiri," ucapnya.
Pembagian jaket UI palsu itu juga diungkap Manai Sophiaan, mantan Duta Besar Indonesia di Moskow, dalam buku Bayang-bayang PKI. "Saya punya dua jaket kuning yang didatangkan dari Hawaii itu. Saya simpan. Akan saya kasih tunjukkan kalau ada orang yang tidak percaya," tulisnya.
Pembagian jaket itu, menurut Manai, tidak dilakukan di dalam kampus, tapi di jalan. Dalam Kehormatan bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI, Manai menyatakan bahwa jaket kuning itu terbuat dari bahan parasut.
Dalam versi Manai, jaket itu adalah jaket yang biasa dipakai anak sekolah dan sheriff di Amerika menjelang musim dingin. "Kabar yang tersiar, jaket itu diangkut menggunakan pesawat Hercules dari Hawaii," ujar Achadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo