Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yogyakarta ngelangut hari itu. Jenazah Hamengku Buwono IX dibawa Kiai Ratapralaya-kereta yang berarti kematian-sejauh 17 kilometer dari keraton ke makam Imogiri. Siapa saja yang berada di Yogyakarta saat itu pasti tak akan melupakan pemandangan yang menggetarkan tersebut. Di sepanjang jalan, ratusan ribu penduduk berjejalan, memberi penghormatan terakhir. Ibu-ibu berkebaya bersimpuh mencucurkan air mata ketika peti jenazah lewat. Kota terseret dalam suasana duka yang menusuk. Seorang raja yang karismatik mangkat. Ia pergi pada 2 Oktober 1988 di kamar suite 316-317 Hotel Embassy Row, persis di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Washington, Amerika Serikat.
Hamengku Buwono IX adalah sosok fenomenal. Selama ini, ia hanya dipahami sebagai sosok kultural. Peran politik dan ekonominya jarang dibicarakan. Padahal ia malang-melintang menduduki jabatan politik dan ekonomi penting. Ia pernah menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat, juga Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Industri, lalu menjadi Wakil Presiden RI. Tatkala meninggal, ia memang telah surut dari pentas politik. Setelah tak mau lagi menjadi wakil presiden di era Soeharto, ia pamit dari kegiatan politik. Ia menghindari konflik dan memilih diam: sebuah laku yang memiliki banyak tafsir.
John Monfries dalam buku yang terbit tahun ini, A Prince in a Republic, menyebut Sultan sebagai penyelamat Republik di belakang layar. Menurut Monfries, sampai 1944, Sultan jarang menyebut kata "Indonesia", baik dalam pidato-pidatonya maupun statemen yang terpub-likasi. Ia cenderung menyebut "Jawa" atau "Jawa Baru".
Tapi, sejak awal, Belanda meleset memperkirakan nasionalisme Sultan. Tatkala Gusti Raden Mas Dorodjatun-nama awal Sultan-pada 1940 menggantikan ayahnya, Pangeran Haryo Puruboyo, sebagai Raja Yogyakarta, ia diperkirakan mudah tunduk kepada Belanda. Sejak berumur 4 tahun, ia memang dididik keluarga Belanda, yang memanggilnya "Henkie". Ia meneruskan pendidikan di perguruan tinggi Belanda mengambil jurusan indologi di Rijksuniversiteit-sekarang Universitas Leiden. Di Belanda, dia tidak terlalu bergaul dengan kaum pergerakan, seperti Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Soebardjo, dan Nazir Pamontjak. Setelah dia pulang, hubungannya dengan para nasionalis, seperti Sukarno, baru terjadi belakangan, beberapa tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan.
Belanda salah kira. Sebagai Raja Jawa, Sultan memiliki sikap politik nasionalis yang radikal. Ia misalnya menolak tawaran Belanda mengungsi ke Australia tatkala pasukan Jepang tiba di Yogyakarta. Sebagai Menteri Pertahanan, ia berjalan keliling Nusantara untuk memadamkan sejumlah pemberontakan.
Saat Sukarno-Hatta mengumumkan kemerdekaan, sebagai Raja Yogyakarta, Sultan sebetulnya bisa menolak bergabung dengan Indonesia dan membentuk pemerintahan sendiri. Setidaknya, ketika mendengar kabar proklamasi di Jakarta, ia bisa menunggu, lebih dulu mempelajari situasi, untuk kemudian menentukan pilihan. Namun itu tak dilakukannya. Dengan cepat ia menyatakan Yogyakarta dan keraton berada di bawah Republik Indonesia. Ia orang kedua di Yogyakarta, sesudah Ki Hadjar Dewantara, yang mengucapkan selamat kepada Sukarno-Hatta. Umurnya 34 tahun saat itu.
Tatkala pertempuran terjadi, Sultan juga bukan pemimpin yang hanya duduk di belakang garis aman. Ia aktif terjun ke medan pertempuran. Ia membentuk Laskar Rakyat Mataram. Ia juga dikenal sebagai sosok humanis yang tak ingin, dalam perang, kerusuhan rasial terjadi. Pada saat Jepang kalah dan para pemuda radikal di berbagai kota menyita senjata Jepang, Yogyakarta adalah wilayah yang aman. Sultan mencegah terjadinya kekerasan terhadap warga Eropa, Cina, dan Ambon. Ia mengevakuasi orang Belanda yang ditawan Jepang. Tindakan kemanusiaan ini mengingatkan banyak orang pada laku Sultan mencegah banyak penduduk Yogyakarta menjadi romusha dengan cara membuat proyek pengairan selokan Mataram.
Pada awal November 1945, menjelang pertempuran besar meletus di Surabaya, di tengah pertempuran sporadis di sana-sini, Sultan menyusuri pinggiran Surabaya dan Mojokerto. Kepada wartawan, ia mengatakan politik diplomasi tidak tepat dan kekejaman Inggris harus dilawan. Sultan saat itu sibuk mengkonsolidasikan laskar-laskar. Salah satu cerita yang terkenal pada periode ini adalah saat ia mengunjungi Madiun dan jipnya dicegat pasukan tak dikenal. Pasukan bertanya, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab, "Saya Suyono." Ia pun lolos.
Salah satu bagian penting dari riwayat Sultan lainnya terjadi pada 1946, saat Sultan mengizinkan Yogya menjadi ibu kota negara. Banyak cerita menyebutkan bagaimana Sultan menggunakan dana pribadi untuk membantu Republik.
Cerita yang juga menjadi sorotan adalah peran Sultan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949-serangan yang membuka mata dunia bahwa Republik belum mati sebagaimana klaim Belanda. Soeharto mengklaim dialah yang menggagas serangan itu seraya mengabaikan peran Sultan. Sebuah kisah heroik muncul dalam periode ini: ketika Jenderal Meijer hendak mengacak-acak keraton, Sultan berkata, "Langkahi mayat saya dahulu."
Yang tak kalah penting adalah peran Sultan dalam pembentukan fondasi ekonomi Orde Baru. Menurut John Monfries, enam tahun pertama Orde Baru-yang merupakan tahun-tahun ekonomi pemerintahan pasca-Sukarno-Hamengku Buwono berada di barisan terdepan dalam membentuk fundamental ekonomi Indonesia. Menjelang keruntuhan Demokrasi Terpimpin, ia adalah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam posisinya itu, ia melihat banyak kesalahan dalam manajemen keuangan Sukarno.
Menjelang kejatuhan Sukarno, Sultan membentuk kelompok informal yang beranggotakan beberapa tokoh: sosiolog Selo Soemardjan, Jenderal Ashari Danudirdjo, Marsekal Ali Budiardjo, Brigadir Jenderal Sugih Arto, ekonom Frans Seda, dan Jenderal Surono. Sultan menyebut kelompok itu Pitu Up-pelesetan dari minuman Seven Up. Menurut Sultan, kelompok itu tak membicarakan politik-hanya perkumpulan tokoh yang gemar memasak. Tiap bulan mereka berkumpul, berganti tempat diskusi, dengan tuan rumah yang harus memasak sendiri hidangannya.
Tentu saja lingkaran itu bukan kelompok yang buta politik. Pada akhir 1965, Selo Soemardjan, menurut Monfries, atas permintaan Sultan secara klandestin mempertemukan dirinya dengan ekonom Widjojo Nitisastro untuk membicarakan pemulihan ekonomi. Inilah awal kedekatan Sultan dengan lingkaran Wijodjo, antara lain Emil Salim, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Saleh Afif, dan Subroto-orang-orang yang kelak menjadi teknokrat Orde Baru. Di akhir masa Sukarno pulalah Sultan menjalin hubungan akrab dengan Soeharto dan Adam Malik. Ketiganya malah disebut sebagai triumvirat-kerap mengadakan pertemuan teratur di rumah Adam Malik. Beberapa sumber menyebut pertemuan itu sebagai pertemuan kabinet ndelik atau kabinet rahasia.
Di awal munculnya Orde Baru, Sultan merupakan orang yang percaya pada pentingnya swasta dan modal asing. Ia disebut mempersiapkan blueprint ekonomi Orde Baru. Di hari-hari terakhir Sukarno, Sultan memimpin delegasi ke Jepang mencari pinjaman uang. Tatkala Perdana Menteri Sato bertanya tentang kemungkinan Sukarno menjadi presiden seumur hidup, Sultan memastikan bahwa pemerintahan Sukarno tak bakal lama. Ia juga berkeliling Eropa dan Amerika bertemu dengan berbagai lembaga, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.
Soeharto secara resmi menjadi presiden pada 27 Maret 1968, tiga bulan sebelum Sultan dipercaya menjadi Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Ia mengkoordinasi Menteri Keuangan Ali Wardhana, Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Widjojo Nitisastro. Tapi adalah teka-teki mengapa saat itu justru Sultan kurang menonjol dibandingkan dengan menteri-menteri yang lain. Monfries menduga Hamengku Buwono menjalankan peran enigmatic: statemen publiknya sedikit tenggelam oleh peran para teknokrat.
Pada 1973, Sultan diangkat Soeharto menjadi wakil presiden. Tapi justru saat menjadi orang nomor dua inilah kisah Sultan menjadi antiklimaks. Wewenangnya dibatasi. Pada masa itu disebut-sebut hubungannya dengan Soeharto malah merenggang. Sebagai wakil presiden, pernah selama sembilan bulan ia tidak bertemu dengan Soeharto. Ia kemudian mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Pada 1976, ketegangan pribadinya dengan Soeharto hendak didamaikan Tien Soeharto, tapi tak berhasil.
Banyak muncul spekulasi mengapa Soeharto tidak memberi peluang politik kepada Sultan. Salah satunya, Soeharto takut Sultan lebih menonjol. Atmakusumah, wartawan senior yang menjadi editor buku Tahta untuk Rakyat, mengatakan, dalam proses penyusunan buku, ia bertanya soal hubungan Sultan dengan Soeharto, termasuk tentang kontroversi Serangan Umum 1 Maret. Tapi Sultan membisu. Ia hanya menjawab singkat: "Soeharto keras kepala. Seperti beton."
Liputan khusus Tempo kali ini berusaha memberi gambaran tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Dari masa kanak-kanak sampai ia meninggal. Termasuk hal-hal "tabu" seputarnya, seperti istri-istri atau kekayaannya yang mencakup Sultan ground-tanah-tanah Sultan di Yogyakarta. Juga soal suksesi keraton: persoalan yang hangat di Yogyakarta hari-hari ini.
Tim Edisi Khusus Sultan Hamengku Buwono IX
Penanggung Jawab: Seno Joko Suyono, Philipus Parera | Pimpinan Proyek: Dody Hidayat, Agus Supriyanto, Ali Nur Yasin, Firman Atmakusumah, Jobpie Sugiharto, Kurniawan, Nurdin Kalim, Purwani Diyah Prabandari | Penulis: Agung Sedayu, Agus Supriyanto, Ali Nur Yasin, Amri Mahbub, Ananda W. Badudu, Dian Yuliastuti, Dody Hidayat, Febriyan, Firman Atmakusumah, I Wayan Agus Purnomo, Jobpie Sugiharto, Kurniawan, M. Reza Maulana, Nurdin Kalim, Nunuy Nurhayati, Philipus Parera, Pito Agustin Rudiana , Purwani Diyah Prabandari, Ratnaning Asih, Rina Widiastuti, Rusman Paraqbueq, Seno Joko Suyono, Syailendra Persada | Penyunting: Agustina Widiarsi, Arif Zulkifli, Bagja Hidayat, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, Jajang Jamaludin, Philipus Parera, Purwanto Setiadi, Seno Joko Suyono, Setri Yasra, Tulus Wijanarko, Y. Tomi Aryanto, Yudono Yanuar | Penyumbang Bahan: Yogyakarta: Addi Mawahibun Idhom, Anang Zakaria, L.n. Idayanie, Pito Agustin Rudiana, Pribadi Wicaksono, Semarang: Edi Faisol, Bandung: Anwar Siswadi, Belanda: Lea Pamungkas, Amri Mahbub, Ananda Wardhiati Theresia, Dian Yuliastuti, Dody Hidayat, Nunuy Nurhayati, Nurdin Kalim, Purwani Diyah Prabandari | Foto: Nita Dian Afianti, Ratih Purnama Ningsih, Jati Mahatmaji | Digital Imaging: Hindrawan | Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Kendra Paramita, Tri Watno Widodo, Ary Setiawan Harahap | Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi | Riset: Danni Muhadiansyah, Evan Koesoemah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo