Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara-suara mesin jahit bertenaga listrik menderu halus dan bersahutan. Tangan-tangan terampil mengoperasikannya sambil sesekali membenahi letak lembaran kain warna-warni aneka motif di atas meja mesin yang disusun berjejer. "Awalnya cuma dua mesin jahit, kini sudah 20 unit lebih," kata Iffah Maria Dewi, 36 tahun, pemilik sekaligus creative director usaha kerajinan busana batik Sogan Batik Rejodani, saat ditemui Senin lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kalender mode tahun ini, kain warisan Nusantara menjadi primadona. Berbagai pekan mode bergengsi di Indonesia ramai-ramai mengangkat batik sebagai sripanggung. Seperti yang diperagakan Iffah dalam ajang mode tahunan, Muslim Fashion Festival 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usaha batik ini dimulai Iffah sejak 2001 selepas lulus kuliah. Baru pada 2009 dia menemukan ciri khas batik yang diproduksinya. Dia mengutamakan busana batik yang memadukan unsur dakwah Islam dengan budaya. Tema-tema yang diangkatnya berkisar pada sejarah Islam di Nusantara dan dunia.
Semangat berdakwah itu ia tuangkan dalam nama produksi batiknya, Sogan Batik Rejodani. Istilah "sogan" umumnya mengacu pada warna khas batik, tapi Iffah menambah sedikit definisi yang ia kembangkan sendiri. Suku kata "so" mengacu ke solawat. Menurut Iffah, maknanya melambangkan segala aktivitas yang didasarkan pada ketaatan terhadap perintah Rasulullah Muhammad SAW.
Suku kata "ga" merujuk pada ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe yang ia maknai sebagai bekerja bukan untuk mencari pamrih duniawi, melainkan untuk mencapai rida Allah SWT. Adapun huruf "n" berarti nur atau cahaya Al-Quran, yang ia maknai sebagai menghidupkan nilai-nilai yang terdapat dalam kitab suci ke dalam aktivitas sehari-hari.
Iffah melakukan dakwah melalui motif yang ia buat, selain melalui desain busana yang ia rancang. Sejumlah motif yang ia rancang adalah Nalain Shareef, yang merupakan bentuk sandal Nabi Muhammad. Sepintas motif itu seperti gunungan wayang. Lalu ada pula motif berbentuk bulan sabit, dan motif cahaya yang melambangkan Al-Quran.
Meski demikian, Iffah tidak meninggalkan motif klasik yang dibuat dan dikembangkan di keraton sejak dulu, seperti motif parang dan kawung. Motif tersebut ia padu-padankan untuk berdakwah. Jika dilihat, baju tertutup yang ia hasilkan tak seperti baju batik umumnya. Ada lebih dari satu motif yang disusun dari petak-petak perca baju. Setiap desain baju, kata dia, menarasikan dakwah yang berbeda.
Pada koleksi Haji dan Umrah, misalnya, ada delapan desain. Beberapa di antaranya adalah desain Miqat Dress yang menggambarkan batas dimulainya ibadah haji di mana jemaah harus mengenakan kain ihram dan berniat. Ada juga desain Syauthi Dress, yang menggambarkan lautan jemaah dari seluruh penjuru dunia yang mengelilingi Ka’bah. Dia menggambarkan motif lereng yang ditafsirkan sebagai lautan jemaah haji.
Selain itu, dia membuat Haji Dress yang menggambarkan haji mabrur. Motifnya berupa kain hitam di satu sisi baju dan kain putih di sisi lainnya yang menggambarkan berhaji untuk menuju cahaya. Ada juga Mina Dress, yang menceritakan kegiatan melempar jumrah di Mina. Desain itu ditandai dengan tiga garis berbentuk "V" yang menggambarkan Ula, Wusta, dan Aqabah.
Iffah tak merasa khawatir akan kehabisan ide motif dan desain batiknya. Sebab, dia bisa menemukan banyak kisah bernapas Islam dari berbagai penjuru dunia dari beragam referensi. Iffah memanfaatkan Internet, ceramah, Al-Quran, hingga cerita suaminya untuk dituangkan ke dalam batik yang ia produksi. "Ketika suami sekolah di Malaysia juga mendapat kisah-kisah dakwah di sana, lalu membagikan kepada saya," kata dia.
Seluruh cerita akan ia pelajari, lalu dia membuat narasi singkat mengenai motif, koleksi, dan desainnya sebelum dituangkan ke dalam bentuk gambar. "Seperti kumpulan cerpen," kata dia. Semangat berdakwah Iffah didukung oleh kondisi lingkungan tempat tinggalnya yang memiliki sejarah dakwah.
Selain dikenal sebagai pejuang revolusi kemerdekaan yang ditandai dengan Monumen Medan Laga Rejodani, para pemuda pejuang saat itu juga menjadi pengajar mengaji ke desa-desa tetangganya. Aktivitas dakwah itu tak lepas dari pengaruh Kyai Nur Iman alias Raden Mas Sandeyo. "Kyai Nur Iman ini merupakan kakek buyut masyarakat Rejodani," kata dia.
Dalam perkembangannya, sejumlah pondok pesantren berdiri di sana. Seperti Pondok Pesantren Azzuhriyah untuk SD hingga mahasiswa, Pondok Pesantren Daarul Lughoh yang mengajarkan bahasa Arab untuk mahasiswa, juga Pondok Pesantren Sogan Batik. "Jadi cara kami berdakwah, selain melalui batik, juga melalui internal kami sendiri," kata Iffah.
Untuk memproduksi batiknya, dia mempekerjakan 80-100 karyawan yang mayoritas anak muda, 25 orang di antaranya adalah difabel. Saban hari sejak pukul 08.00 mereka diwajibkan mengaji Al-Quran, Asmaul Husna, juga salat duha. Setelah itu, bekerja mulai pukul 08.30 hingga 16.00. Mereka juga wajib menjalani salat berjemaah ketika salat lima waktu tiba.
Bagi karyawan difabel dan karyawan yang berasal dari luar kota, Iffah menyediakan mes untuk menginap. Dia merombakbangunan bekas lumbung padi di kediamannya untuk mes tersebut. "Kalau yang sudah menikah, tidak tinggal di mes karena harus mandiri," kata Iffah.
Bagi yang menginap juga diterapkan aktivitas seperti para santri, seperti mengaji seusai magrib hingga isya. Kemudian dilanjutkan mengaji fiqh dan Al-Quran. Seusai salat subuh, mereka mengkaji hadis. Bahkan ada istilah "batik berzikir" yang diterapkan dalam kinerja karyawannya, yaitu selama bekerja, para karyawan mesti sembari berzikir dalam hati. "Jadi, anak-anak muda ini tak hanya mendapatkan nafkah lahir, tapi juga nafkah batin," kata Iffah.
Sekitar 60 kilometer dari Sleman, dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam, ada Kampung Laweyan. Kampung yang berada di bagian barat Kota Solo ini juga menggiatkan kembali berdakwah melalui medium batik. Kampung ini kini bukan lagi sekadar sentra kerajinan batik.
Koordinator Forum Kampung Batik Laweyan, Alpha Pabela, menggagas pembuatan batik Al-Quran sejak 2016. Untuk pengerjaannya, dia mempercayakan kepada Taufan Wicaksono, yang merupakan mahasiswa semester akhir di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. Taufan bertugas mengkoordinasikan hingga mengontrol bagian penulisan ayat-ayat Al-Quran agar tak ada kesalahan penulisan.
Al-Quran batik tersebut dibuat dalam helai-helai kain berukuran 115 x 90 sentimeter. Seperti batik gaya Solo umumnya, latar batik Al-Quran juga menggunakan warna gelap. Hiasan tepi atau bordernya menggunakan berbagai macam motif batik tradisi yang dipadu dengan motif kontemporer. "Semuanya merupakan batik tulis," kata Taufan.
Tulisan dalam helai-helai batik itu disesuaikan dengan Mushaf Utsmany. "Kami menirunya langsung dari Al-Quran," kata dia. Selama dua tahun ini, mereka baru mampu menyelesaikan 15 juz atau separuh dari keseluruhan Al-Quran.
Pada tahap awal, Al-Quran dan hiasan tepi ditulis menggunakan pensil. "Agar mudah dikoreksi saat ada kesalahan," kata dia. Setelah itu, barulah mereka mengerjakannya dengan menggunakan malam dan diproses seperti batik pada umumnya.
Alpha mengatakan pembuatan Al-Quran tersebut merupakan hasil dari penggalian sejarah Laweyan sebagai salah satu pusat syiar Islam. "Dengan menuliskannya di kain, maka mau tidak mau penulisnya harus membaca Al-Quran lebih dulu," kata dia.
Dia mengatakan, ratusan tahun silam, Laweyan merupakan pusat syiar dan pergerakan Islam. Keberadaan Masjid Laweyan yang usianya diperkirakan sudah lebih dari lima abad adalah salah satu buktinya. Sejarah juga mencatat di kampung inilah organisasi pergerakan Islam berskala nasional pertama kali muncul, Sarekat Dagang Islam (SDI).
SDI, yang dirintis oleh Samanhudi, tidak hanya melakukan syiar Islam melalui ceramah. Organisasi ini juga menumbuhkan jiwa wirausaha dan ekonomi syariah di masa itu. Organisasi tersebut lantas berkembang menjadi Sarekat Islam. Pada masa itu pula, para santri juga diajari membatik, di samping menghafal Al-Quran.
Antropolog dari Forum Kajian Antropologi, Notty J. Mahdi, yang peduli pada tekstil tradisional, mengatakan batik pada masa penyebaran Islam sudah menjadi busana masyarakat umum dan para pemimpin saat itu. Dengan demikian, saat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dimulai, batik sudah memiliki motif-motif yang dipengaruhi Hindu dan kepercayaan lokal.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam, perlahan-lahan ajaran dari para wali (Wali Songo) mulai masuk. Notty mencontohkan motif gunungan yang tercipta karena pengaruh ajaran Sunan Kalijaga. "Motif ini bermakna kehidupan seperti pohon kehidupan," kata dia. Si pemakai motif ini diharapkan ingat tujuan akhir manusia adalah alam baka. Dengan demikian, sebelum menuju alam tersebut, manusia harus mengisi kehidupan dengan kebaikan, kemuliaan.
Di daerah pesisir utara Jawa, para pengusaha batik keturunan Arab, terutama di Pekalongan dan Batang, memulai usaha batik dengan motif yang berbeda dari pengusaha peranakan Tionghoa. Salah satu batik keturunan Arab yang berkembang, kata Notty, adalah batik Rifa’iyah yang dipengaruhi aliran Thoriqoh. "Menurut kepercayaan mereka, tidak boleh menggambar makhluk bernyawa," kata dia. Batik ini lalu diperdagangkan ke seluruh Indonesia sambil menyiarkan agama.
Sebutan Rifa’iyah diambil dari seorang tokoh agama bernama KH Ahmad Rifai yang aktif berdakwah pada sekitar 1835 dan menulis buku sebanyak 67 judul dalam jangka 21 tahun. Ahmad Rifai banyak melakukan penerjemahan bahasa Arab ke Jawa agar mudah dipahami masyarakat lokal, termasuk menyesuaikan ragam pola batik agar sesuai dengan kaidah agama.
Ahmad Rifai mengubah gambar hewan agar tidak terlihat seperti makhluk hidup. Ketokohannya membuat dia disegani dan dikenal sebagai alim ulama. Banyak masyarakat yang kemudian tertarik untuk menimba ilmu dan membentuk komunitas Rifa’iyah di Kalisalak, Batang. Hingga akhirnya Rifa’iyah menjelma menjadi lembaga atau ormas pada sekitar 1876.
Komunitas Rifa’iyah membuat batik dengan konsep tiga negeri yang sebenarnya bermakna tiga hal, yaknitauhid, tasawwuf,danushulfiqih. Konsep tiga negeri yang digunakan pun membuat pembatiknya menjadikan aktivitas membatik sebagai pengalaman syariah dan dakwah. Prinsip-prinsipnya dalam membatik lalu meluas di sepanjang Pantura.
Ketua Kelompok Perajin Generasi Kelima, Miftahutin, mengatakan hingga kini batik Rifa’iyah masih diminati karena proses pengerjaannya yang lama, yang menimbulkan kesan eksklusif. "Banyak yang suka, karena butuh waktu lama," kata dia. Miftahutin mengatakan ada 24 motif batik Rifa’iyah, antara lain Materos Satrio, Ila Ili, Dapel, Nyah Pratin, Romo Gendong, Jeruk No’i, Keongan, dan Pelo Ati. Motif terakhir ini menjadi trademark batik Rifai’yah.
Sepintas, Pelo Ati menggambarkan motif ayam dengan kepala terpenggal. Pada bagian tubuhnya ada motif lain menyerupai bentuk hati di dalam, dan ampela berada di luar. Motif ini sarat dengan makna dakwah. Miftahutin mengatakan makna hati yang berada di dalam tubuh memberi pesan agar menjaga hati tetap bersih. Sementara ampela yang dianggap sebagai tempat penyimpan kotoran ditaruh di luar sebagai simbol agar membuang jauh-jauh segala sifat buruk.
Menurut Notty, batik-batik pesisir ini banyak dijual ke Pulau Sumatera. Para konsumennya lantas memesan batik dengan motif kaligrafi untuk keperluan upacara. Selanjutnya, dia menjelaskan, para pemesan batik di Sumatera ini memilih untuk mendatangkan para perajinnya langsung.
Tak mengherankan jika batik pun lantas berkembang di Pulau Sumatera, seperti batik Besurek dari Bengkulu yang memiliki motif kaligrafi Arab. Batik ini dapat dibaca, dapat digunakan untuk menutup kitab suci Al-Quran, juga dapat menjadi penutup makanan saat upacara adat. Selain batik kaligrafi yang dapat dibaca, ada batik Besurek yang memiliki motif kaligrafi Arab tanpa makna yang jelas, istilahnya Arab gundul.
Dia menjelaskan ajaran Islam yang disyiarkan oleh para wali menambah khazanah motif dalam batik. "Batik menjadi komoditas dagang para penyebar agama Islam saat mereka melakukan syiar agama," kata dia. Munculnya motif dan jenis batik baru adalah akibat dari syiar agama tersebut.
Sejak diakui dalam daftar representatif Intangible Cultural Heritage of Humanity pada 2009, pasar batik meningkat pesat. Pada 2010, nilai produksi batik berkali lipat dibanding tahun sebelumnya, dari Rp 572 miliar menjadi Rp 1,2 triliun. Tapi ada bahaya laten mengintai, yaitu krisis suplai batik yang dikerjakan dengan mempertahankan cara-cara tradisional, seperti batik tulis dan cap. Sebab, mayoritas pembatik saat ini akan menua dan tidak lagi produktif dalam 20 tahun ke depan. Sementara itu, regenerasi pembatik mandek. Hampir tak ada lagi regenerasi yang meneruskan estafet wastra batik. AHMAD RAFIQ | PITO AGUSTIN RUDIANA| MARTHA WARTA SILABAN | DINI PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo