Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Peperangan memaksa Anisa meninggalkan tanah kelahirannya di Afganistan. Suatu malam pada 2017, ia mendengar kabar bahwa pasukan Taliban bergerak mendekat ke arah tempat tinggalnya. Tanpa pikir panjang, ia memboyong putrinya, lalu kabur dengan mobil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anisa merasa tidak punya pilihan. Ibunya telah tewas akibat diterjang peluru. Sedangkan kakak dan keponakannya sudah tak ada kabar. Ia mengira mereka juga telah tiada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pelarian, Anisa menjual mobil yang menjadi harta satu-satunya. Ia membutuhkan biaya untuk ongkos perjalanan. "Kalau masuk wilayah yang aman, saya harus bayar," kata perempuan berusia 34 tahun itu saat ditemui di gedung bekas Kodim Kalideres, yang menjadi tempat penampungan sementara para pencari suaka.
Anisa sampai di Indonesia sekitar enam bulan lalu. Ia sebelumnya sempat transit di India, Malaysia, dan Singapura. Di India, dia tinggal cukup lama karena harus mengumpulkan uang untuk biaya perjalanan. "Kerja apa saja, yang penting dapat uang," ujarnya.
Tujuan Anisa sebetulnya adalah Australia. Ia harus menggunakan jasa agen. Sebab, tanpa agen, sulit bagi warga Afganistan masuk Australia. Indonesia dijadikan tempat transit karena secara geografis letaknya dekat dengan Australia.
Di Indonesia, Anisa mengaku juga ingin bertemu dengan suaminya, Khaleed. Sang suami telah lebih dulu tiba di Indonesia dan tinggal di sebuah penampungan imigran di Serpong, Tangerang Selatan. "Saya diizinkan ke Serpong, tapi paspor kami disita oleh agen sampai bisa melunasi utang," ucapnya.
Di Serpong, Anisa dan putrinya hanya bisa sepekan berkumpul dengan sang suami. Sebab, ia tak terdaftar sebagai pencari suaka. Akhirnya mereka kembali ke Jakarta untuk mendaftar sebagai pencari suaka di lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi internasional, UNHCR. "Ternyata hanya dapat ID dan diminta menunggu," tutur Anisa. Karena tak lagi punya uang, ia terpaksa bergabung dengan para pencari suaka yang bernasib sama.
Tak jauh berbeda dengan Anisa, Ali Nazari juga mengaku datang ke Indonesia melalui agen. Ia membayar sekitar US$ 8.000. "Sempat transit di Thailand dan Malaysia," kata lelaki asal Afganistan itu. Ia dan keluarganya tiba di Indonesia pada 2017. Mereka kemudian mengontrak rumah di Cisarua, Bogor, bersama keluarga sesama imigran asal Afganistan. "Alhamdulillah orang tua saya di Afganistan rutin mengirim uang," katanya.
Ali datang ke Jakarta setelah mendapat telepon dari UNHCR sekitar sebulan yang lalu. Ia mengira sudah mendapat suaka dari negara tujuan. "Ternyata hanya didata ulang, kemudian diminta menunggu lagi, sementara uang sudah habis," ujarnya.
Kepala Kantor Imigrasi Perwakilan Depok, Agung Wibowo, mengatakan, di Kota Depok tercatat ada 182 imigran pencari suaka. Mereka menyebar di Kecamatan Beji, Sawangan, Pancoran Mas, Cilodong, Bojongsari, Sukmajaya, dan Cimanggis. "Kami mendata setiap bulan," ucapnya.
Adapun di Kabupaten Bogor, jumlah pencari suaka diperkirakan lebih dari 1.000 orang. Berdasarkan catatan International Networking For Humanitarian (INH), angkanya mencapai 1.700 orang. INH adalah organisasi kemasyarakatan yang selama ini aktif memberikan bantuan kepada para pengungsi internasional.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, menjelaskan bahwa Indonesia tidak bisa menerima pencari suaka secara legal. Sebab, kewenangan untuk para pencari suaka sepenuhnya ada di tangan UNHCR. Apalagi Indonesia belum meratifikasi konvensi ihwal pengungsian.
Namun, atas dasar kemanusiaan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial ikut memberikan bantuan kepada migran pencari suaka yang saat ini ditampung di gedung eks Kodim Kalideres. Enam tenda telah didirikan. Bantuan makanan juga rutin dikirim setiap hari. "Bantuan itu sifatnya kemanusiaan saja. Kami tetap minta UNHCR segera cari solusi," ujar Harry. IRSYAN HASYIM | ADE RIDWAN | INGE KLARA SAFITRI
Para Pencari Suaka
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo