Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selepas asar, lapak-lapak kuliner aneka bentuk dan warna bermunculan di trotoar sepanjang Jalan Sorogenen, Kampung Nitikan, Kelurahan Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Lapak-lapak itu berjejer di sisi kiri-kanan trotoar jalan yang terbentang satu kilometer dari ujung perempatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wirosaban, Kota Yogyakarta, hingga perbatasan dengan Jalan Tegal Turi.
Jalur Gaza menjadi tagline awal, akronim dari Jajanan Lauk Sayur Gubuk Ashar Zerba Ada.
YOGYAKARTA – Selepas asar, lapak-lapak kuliner aneka bentuk dan warna bermunculan di trotoar sepanjang Jalan Sorogenen, Kampung Nitikan, Kelurahan Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Ada lapak es buah, es campur, es pisang ijo, gorengan, dimsum, sosis bakar, baby crabs, pecel, aneka bakmi, dan masih banyak lagi. Harganya bervariasi dan rata-rata kelipatan Rp 5.000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lapak-lapak itu berjejer di sisi kiri-kanan trotoar jalan yang terbentang satu kilometer dari ujung perempatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wirosaban, Kota Yogyakarta, hingga perbatasan dengan Jalan Tegal Turi. Jarak antar-lapak memang tak rapat satu sama lain. Kadang ada sela beberapa meter. Cukup melelahkan apabila berburu takjil dan menu buka puasa dengan berjalan kaki di sana. Kebanyakan konsumen naik sepeda motor ataupun drive thru. Tak mengherankan bila arus lalu lintas dua arah di sana cukup padat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arus lalu lintas sempat macet karena terhalang sepeda-sepeda motor yang diparkir di tepi jalan ataupun mobil yang berhenti untuk menunggu makanan pesanan selesai dibungkus. “Dulu tak seramai ini. Hanya belasan lapak. Sekarang sudah ratusan,” kata Ketua Takmir Masjid Muthohirin, Dedi Iriyanto, saat ditemui Tempo, Sabtu, 9 April 2022.
Berawal lebih dari 15 tahun lalu ketika Pengurus Ranting Muhammadiyah Nitikan—yang berkantor di belakang masjid—ingin mengajak warga sekitar menggeliatkan aktivitas di masjid selama Ramadan. Salah satu caranya adalah memberi ruang bagi warga untuk berjualan di halaman masjid. Namanya Pasar Sore Ramadan Kampung Nitikan. “Jalur Gaza” menjadi tagline awal. Akronim dari Jajanan Lauk Sayur Gubuk Ashar Zerba Ada. Nama “Jalur Gaza” pun terinspirasi oleh konflik Palestina-Israel yang memanas pada masa itu. “Dan namanya yang terkenal menjadi Pasar Jalur Gaza. Kalau dulu sudah ramai di media sosial, pasti viral,” celetuk Dedi sambil tertawa.
Padahal tagline pasar sore saban tahun sering berganti. Seperti pada 2018 mengambil tema “Jogja Tempo Doeloe”. Para penjualnya mengenakan baju kebaya dan peranakan. Saat pembukaan pun disambut bregada prajurit keraton. Kemudian pada 2019 bertema “Warna Warni”, untuk menunjukkan era milenial. Namun “Jalur Gaza” tetap yang dikenal.
Rupanya antusiasme warga berjualan di sana tiap Ramadan membuat jumlah lapak terus membengkak hingga puluhan unit. Pihak Muhammadiyah pun memfasilitasi dengan menyediakan lapak seragam berjumlah 40 unit pada 2013-2015. Lapak ini bertiang besi dan beratap daun tebu kering. Penjual tinggal datang dan menata dagangan.
Lapak-lapak kuliner di Pasar Sore Ramadhan Kampung Nitikan, Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan Pasar Jalur Gaza, 9 April 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Setelah 2015, jumlah pedagang kian bertambah hingga ratusan. Pada 2017, jumlah lapak sudah mencapai 250 unit. Mereka yang berjualan pun bukan hanya warga Nitikan, tapi juga berdatangan dari kampung lain di Kota Yogyakarta, serta dari Kabupaten Bantul dan Sleman. Pihak Muhammadiyah pun menata dan memfasilitasi dengan memintakan izin berjualan kepada pemilik bangunan yang sisi trotoarnya digunakan untuk pedagang. “Kami prioritaskan 60 persen untuk warga Nitikan, sisanya dari luar,” kata Dedi, yang juga Pengurus Majelis Ekonomi Ranting Muhammadiyah Nitikan.
Bukan hanya kuliner, pihak Muhammadiyah juga menyediakan stan-stan untuk layanan publik, seperti layanan pembuatan SIM, perpanjangan STNK, dan pembayaran PBB. Mereka juga memberi pendampingan dengan menggelar pelatihan UMKM, pelatihan online, juga terkait dengan perizinan.
Perkembangannya, pemilik lapak yang laris, sudah punya langganan, dan mempunyai modal lebih memilih mengontrak kios di sana untuk berjualan. Berdirilah warung makanan maupun minuman di sana. Dedy mencontohkan ada beberapa warung yang menjual fried chicken, aneka minuman boba, teh Thailand, juga aneka bakmi. “Ya, dulunya mereka berawal dari pasar sore Ramadan,” kata Dedi.
Tak mengherankan bila sepanjang Jalan Sorogenen kini menjadi jalur kuliner. Aneka produk makanan dijual di sana. Dari 250 penjual di Pasar Jalur Gaza, sekitar separuh yang menetap untuk berjualan selepas Ramadan.
Bahkan selama masa pandemi Covid-19, sejumlah lapak tiban bermunculan di Jalan Sorogenen. Ada lapak sayuran, jajanan pasar, dan yang sedang booming adalah lapak daging ayam. Mereka berjualan pagi-siang dan siang-sore secara bergantian, termasuk di luar Ramadan. “Pasar Giwangan sempat tutup ketika terjadi pandemi. Sejumlah pedagang beralih ke sini,” kata Dedi.
Lapak-lapak kuliner di Pasar Sore Ramadhan Kampung Nitikan, Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan Pasar Jalur Gaza, 9 April 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Pasar Jalur Gaza pun sempat meredup saat pandemi 2020. Saat itu berbagai aktivitas berkerumun dilarang. Masjid pun sempat tutup. Pada 2021, pasar mulai bergeliat kembali meski terbatas. Begitupun pada 2022 ini, mengingat Yogyakarta masih masuk kondisi PPKM level 3. “Tahun ini, kami belum bisa memfasilitasi. Tapi warga sudah ingin berjualan kembali,” kata Dedi.
Sebagai jalan tengah, warga dan pedagang lain yang berjualan di sana diminta untuk meminta izin kepada pemilik bangunan di seputar lokasi jualan. Berjualan-tidaknya bergantung pada izin mereka. Keramaian Pasar Jalur Gaza kembali meriah tahun ini. “Kami tak ingin menyalahi aturan PPKM,” kata Dedi. Namun pihaknya memfasilitasi tak lebih dari lima lapak mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan yang menumpang jualan di halaman masjid. Mereka tengah berlatih berdagang, seperti es pisang ijo.
Sejumlah lapak penuh kerumunan orang. Seperti lapak pecel yang juga menjual capjay, mi kuning, dan mi lethek khas Bantul. “Sudah 10 Ramadan ini kami jualan,” kata Sarti, yang hanya membuka lapaknya saban Ramadan.
Dengan harga per bungkus masing-masing makanan Rp 5.000, Sarti mengaku bisa kembali modal. Namun dia menolak menyebutkan nominalnya. Adapun Maya adalah pendatang baru yang berjualan baby crabs. Satu kotak makanan dalam styrofoam dijual Rp 15 ribu. Selain membuka lapak di Pasar Jalur Gaza, dia membuka lapak kuliner serupa di Kampung Ramadan Jogokariyan.
PITO AGUSTIN RUDIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo