WABAH bilyar cepat menular ke Surabaya. Mulai bulan Desember
1974, mencapai puncaknya bulan Agustus 1975. Semua berjumlah 41
tempat dengan 348 meja. "Itupun akan bertambah terus bila tak
dibatasi oleh Pemda KMS" tukas seorang pejabat Kota Madya
Surabaya (KMS) kepada TEMPO. Tiba-tiba, bagai geledek
menyambar, tak diduga meluncur dari tangan Gubernur Noer SK.
nomor 340/1975 tanggal 20 September 1975. SK tersebut berisi
pengaturan jam kerja bagi rumah bilyar. Yakni: dari jam 15.00 sd
23.00. Khusus untuk pelajar dan mahasiswa antara jam 15.00
sampai jam 19.00.
Mengapa gubernur turut campur? Sebab, nyatanya soal rumah bola
ini jauh dari sekedar untuk rekreasi dan olah-raga. Tak sedikit
yang menggunakannya untuk taruhan, ini bukan rahasia lagi.
"Orang tua pada mengeluh, karena anak-anaknya seharian di situ",
tutur drs. Alie Prayitno, jurubicara Balaikota. Padahal,
dihitung-hitung tak kurang dar 50% pengunjung rumah bilyar itu
yang pelajar dan mahasiswa. Tapi, tak kurang dari kepala-kepala
kantor pula yang merajuk. Ternyata, banyak pegawainya yang
bolos pada jam kerja untuk menyodok pula. Jadinya merepotkan.
Itu masih ditambah lagi dengan kesukaan pengusaha-pengusaha yang
suka melanggar jam kerja. Menurut SK walikotamadya Soeparno
ketika memberi izin rumah bola itu, mereka hanya boleh
beroperasi antara jam 10.00 -- 02.00. Nyatanya, hampir semua
telah menerima tamu jam 09.00 dan baru tutup pintu menjelang
fajar.
Surat Pembaca
Surat pembaca tak kurang ramai pula di koran-koran Surabaya soal
rumah bilyar ini. Tentu saja isinya: keluhan orang tua sebab
anaknya jarang pulang atau pegawai yang bolos pada jam kerja.
Maka, bertolak dari SK atasannya Soeparno, segera
memproklamirkan SK baru, yang sekaligus menghapus SK-nya yang
lama. Tapi, sebetulnya bukan itu saja yang mendorong Pemda KMS
untuk berbuat. Jauh-jauh sebelumnya, seluruh pengusaha rumah
bilyar berkumpul bersama Muspida. Di sini para pengusaha diminta
menandatangani pernyataan: tunduk pada jam kerja plus larangan
judi. Nampaknya pengusaha tak ambil repot soal yang ini. Tapi,
ketika turun SK Walikotamadya yang menyempitkan jam operasi,
mereka mengeluh sesak nafas. Alasannya "banyak karyawan yang
terpaksa menganggur kembali", ajuk seorang pengusaha rumah
bilyar. Sebab, dengan jam kerja yang dilakukannya dulu
setidak-tidaknya mereka bisa mempekerjakan 4 orang per meja,
terbagi 2 pluh. Hingga, tak kurang dari 1200 karyawan yang bisa
ditampung oleh 41 rumah bilyar itu. Namun, dengan turunnya
dekrit Pemda KMS setidak-tidaknya separuh dari jumlah itu bakal
menganggur.
Itulah yang menyebabkan beberapa pengusaha atas nama seluruh
karyawan menyampaikan petisi "minta hidup" pada Soeparno. Tak
ayal, belum puas bertemu dengan Walikotamadya,
pengusaha-pengusaha itu menyebar pula petisi itu ke surat-kabar
Surabaya. Tapi, Pemda KMS tetap berpijak pada keputusannya.
Malahan, beberapa saat kemudian persisnya pertengahan Desember
1975, Walikotamadya Soeparno segera membentuk Team Penertib,
Pengawas, dan Penilai Rumah Bilyar dan Pinball.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini