Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jenderal Anti-Judi Pilihan Istana

Presiden menunjuk Sutanto sebagai calon tunggal Kepala Polri. Keputusan yang meresahkan mafia judi.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSAINGAN itu usai sudah. Meski sama-sama pernah dijagokan, dua jenderal polisi itu kini duduk bersebelahan dan bersalaman dengan wajah girang. Di lapangan Cikeas Udik, Bogor, tempat acara Hari Bhayangkara dirayakan pada Jumat pekan lalu, satu defile polisi berseragam cokelat melintas dengan suara sepatu berderap. Dua perwira bintang tiga itu, Sutanto dan Adang Daradjatun, seperti juga para jenderal polisi yang turut hadir, dengan sigap memberikan hormat.

Adang adalah Wakil Kepala Polri, sedangkan Sutanto adalah Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional. Keduanya sempat disebut sebagai calon kuat orang nomor satu di Markas Besar Polri, menggantikan Kepala Polri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar. Tapi sepucuk surat sudah dilayangkan Presiden ke DPR RI, Senin pekan lalu. Surat itu menggosok bintang di pundak Sutanto jadi kian berkilau. Presiden, dalam surat itu, menyatakan Sutanto calon tunggal Kapolri. Dia akan menggantikan Da'i Bachtiar yang telah bertugas selama empat tahun kurang empat bulan.

Tentu saja surat dari Istana itu seperti mengunci langkah para kandidat lain. Bendera Adang Daradjatun, misalnya, tak berkibar lagi. Lalu, ada juga nama Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara. Kesempatan bekas Kepala Polda Metro Jaya yang kini menjabat Kepala Bagian Reserse dan Kriminalitas di Mabes Polri itu juga jadi tipis.

Di Cikeas Udik, setelah upacara milad Polri yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai, Sutanto pun langsung disalami banyak perwira. Terlihat Makbul Padmanegara memeluknya akrab. Koleganya yang lain seperti Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Inspektur Jenderal Dadang Garnida, dan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Inspektur Jenderal Farouk Muhammad tertawa lebar.

Jalan lempang bagi Sutanto kini terbuka. Pekan ini, dia tinggal melewati satu pintu lagi sebelum dilantik oleh Presiden. Setelah sepekan menjaring pendapat dari publik, DPR mengujinya sebagai Kapolri lewat uji kelayakan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus mendapat persetujuan parlemen. Tapi bisa dipastikan, kali ini Sutanto melaju hampir tanpa ganjalan.

Dua partai besar di Senayan juga sudah mengambil sikap. PDI Perjuangan, partai yang menjadi lawan politik pemerintah, menyatakan cocok dengan pilihan Presiden itu. Sutanto dinilai punya kecakapan dan kerendahan hati. "Dia banyak mendapat dukungan dari bawahan maupun rekan seangkatannya," ujar Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo. Golkar juga memberikan dukungan bulat. Kata Ketua Fraksi Golkar Andi Mattalata, "Dia punya reputasi bagus."

Uji kelayakan itu akan dilakukan Komisi III DPR Bidang Hukum, Perundang-undangan, dan Hak Asasi Manusia. Salah seorang anggota komisi itu, Mutammimul Ula dari Fraksi Keadilan Sejahtera, berharap Sutanto bisa menuntaskan problem perselingkuhan aparat dengan mafia judi. Selain korupsi internal kepolisian, soal terorisme juga jadi tantangan pimpinan Polri yang baru. "Polisi juga harus menuntaskan kasus Munir," ujarnya. Terungkapnya misteri tewasnya tokoh aktivis hak asasi manusia di pesawat Garuda rute Singapura dan Amsterdam tahun lalu itu kini bergantung pada kerja polisi.

Meski beredar sejumlah nama calon, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya hanya mengajukan calon tunggal. Menurut Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, sederet nama perwira bintang tiga sempat ditimbang-timbang oleh Presiden. Perjalanan karier semua jenderal polisi itu juga ditelisik sejak mereka masuk Akademi Kepolisian. "Dari sekian calon, dipilih Pak Sutanto," ujar Sudi.

Pertimbangan itu, kata Sudi, sudah dilakukan cermat oleh Presiden. Karena penunjukan Kapolri adalah hak prerogatif presiden, "Tidak ada sidang kabinet yang membahas secara khusus pencalonan Sutanto," kata Sudi. Menurut dia, selain Sutanto, sempat mencuat juga nama Makbul Padmanegara. "Semua perwira bintang tiga dipertimbangkan," ujarnya lagi.

Namun ada yang menarik dalam penunjukan calon Kapolri kali ini. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, mestinya nama calon Kapolri baru diusulkan ke Presiden oleh Komisi Kepolisian Nasional. Tapi tampaknya komisi yang proses seleksinya masih berlangsung ini diragukan efektivitasnya. Apa lagi ada protes dari anggota Komisi III DPR RI Nursjahbani Katjasungkana. Menurut dia, komisi itu harus ditinjau ulang karena independensinya diragukan.

Pertama, kata dia, masuknya tiga menteri secara ex officio ke komisi itu. Kedua, dalam peraturan presiden, komisi itu merupakan satuan kerja di Mabes Polri. "Apa yang diharapkan dari komisi kepolisian jika begitu?" ujar Nursjahbani. Dia yakin komisi itu sangat terbuka bagi ajang perebutan kekuasaan di tubuh Polri. Dia curiga, lewat komisi itu Kapolri bisa memasukkan calon menurut kepentingannya. Misalnya, dalam konteks komisi itu saat ini, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar berperan besar memasukkan calon Kapolri melalui Komisi. "Mereka (anggota Komisi) kan diusulkan oleh Da'i," ujar Nursjahbani.

Ada dugaan, Presiden cepat-cepat menyebut nama Sutanto sebagai calon tunggal Kapolri karena ia tak ingin didahului Komisi Kepolisian yang disinyalir diisi oleh orang-orangnya Da'i Bachtiar.

Sumber Tempo di Mabes Polri bercerita, sebetulnya pada hari Bhayangkara Jumat lalu anggota Komisi Kepolisian sudah ikut upacara. "Tapi proses pemilihan anggota komisi itu terlalu dikekep oleh Kepolisian," kata sumber itu. Memang ada unsur non-Polri dalam seleksi anggota Komisi, "Tapi peran mereka terbatas hanya pada uji kelayakan. Selebihnya Kapolri Da'i Bachtiarlah yang menentukan," katanya lagi.

Da'i membantah dia melakukan intervensi di Komisi itu. "Tak ada itu. Kita bikin tim seleksi yang independen di luar Polri," ujar Da'i kepada wartawan, Kamis pekan lalu di Mabes Polri (lihat Komisi Sekadar Mengaum).

Sumber di Mabes Polri mengatakan, sejumlah nama Kapolri sebenarnya sudah beredar dan sudah masuk di Dewan Jabatan dan Kepangkatan (Wanjakti) Mabes Polri. Dalam surat Wanjakti itu, memang semua perwira bintang tiga diusulkan kepada Presiden, termasuk juga jenderal bintang dua. Yang dijagokan dari bintang dua antara lain Gubernur PTIK Inspektur Jenderal Farouk Muhammad.

Di luar kasak-kusuk itu, Presiden rupanya sudah menetapkan pilihan sendiri. Seperti yang dikatakan Sudi Silalahi, Presiden memilih Sutanto karena jenderal polisi itu punya jejak karier yang baik. Sutanto, misalnya, terkenal galak dalam pemberantasan judi. Dia juga garang menyikat mafia narkoba. Pada jabatan terakhirnya sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Narkoba Nasional, prestasinya juga tak mengecewakan. "Dia tidak ragu-ragu dalam tugas," kata Sudi. Selain itu, Sutanto juga meraih dukungan publik yang besar. Setidaknya, sampai Presiden memutuskan pilihannya itu, hampir tak ada hambatan.

Selain soal punya reputasi bagus, Sutanto juga sosok yang sudah dikenal oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka berdua lulus Akabri pada 1973. Kebetulan, saat wisuda, keduanya pernah sama-sama menjadi taruna terbaik penerima pedang Adhi Makayasa. Meski pernah satu asrama pada tahun pertama di Akabri, Sutanto tak percaya Yudhoyono menunjuk dirinya karena faktor satu angkatan. "Saya kira Presiden punya penilaian lebih obyektif," ujar Sutanto kepada Tempo. Bagi dia, citra Presiden akan rusak jika menunjuk seseorang karena pertemanan dan bukan kemampuan.

Ketua Komisi III Agustin Teras Narang mengatakan tak ada masalah dengan calon tunggal yang diajukan Presiden. "Dalam aturan, tak ada batasan satu, dua atau tiga," katanya. Hasil uji kelayakan pada Senin pekan ini, kata Narang, segera diumumkan kepada publik dan esoknya dibawa ke rapat paripurna. Sejauh ini, Komisi sudah melakukan kunjungan ke rumah Sutanto di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tujuannya, untuk mengecek kesiapan calon Kapolri itu.

Narang tak bisa meramal peta dukungan bagi Sutanto di parlemen. Tapi anggota Komisi III DPR lainnya, Agus Purnomo dari Partai Keadilan Sejahtera, mengatakan kemungkinan proses uji kelayakan itu berjalan mulus. Dengan surat Presiden itu, Sutanto sudah menyisihkan dua calon lain yang pernah diajukan Kapolri Da'i Bachtiar, yaitu Adang dan Makbul. Menurut Agus, sekitar dua atau tiga bulan lalu, memang ada beda pendapat di kalangan DPR. Misalnya, Fraksi Demokrat—dari Partai Demokrat tempat SBY berasal—pernah ngotot mengusulkan Adang Daradjatun. Alasannya, Adang akan pensiun dua tahun lagi. "Biar ada pergiliran yang rapi, Adang diangkat dulu," kata Agus.

Masih di Komisi III, Djoko Edy dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengatakan calon tunggal adalah cara yang paling tepat. Menurut Djoko, yang terkenal kritis itu, pemerintah punya komitmen memberantas judi dan narkotik. Maka, kalau Presiden mengajukan dua atau tiga calon, dikhawatirkan hal itu membuka pintu bagi mafia judi masuk mempengaruhi penilaian parlemen. "Saya dengar, para mafia itu menyiapkan duit untuk menjegal Kapolri yang punya komitmen antijudi," ujar Edy. Dia tak sedang menuding para wakil rakyat rentan suap. Tapi peluang "pengaruh luar" tetap besar kalau banyak calon Kapolri diseleksi di parlemen.

Cerita Djoko Edy itu bukan mengada-ada. Sebulan lalu, saat nama Sutanto melintas di bursa calon Kapolri, seorang pengusaha hiburan di Jakarta Pusat kepada Tempo mengaku gusar. "Teman-teman saya yang punya bisnis judi banyak yang cemas," ujar si pengusaha, yang minta disembunyikan identitasnya. Dia mengatakan, para pengusaha judi ilegal di Jakarta bahkan bersiap dengan berbagai rencana agar calon polisi nomor satu bisa terpilih dari kalangan yang "lunak dan bisa bekerja sama".

Tak aneh kalau Sutanto membuat gentar mafia judi. Sewaktu berdinas di Sumatera Utara, bekas ajudan Presiden Soeharto itu pernah berkonfrontasi dengan jaringan preman yang mendukung judi. Dan gaya yang sama dia pakai saat menjadi Kapolda Jawa Timur. Sekitar 2.100 bandar toto gelap di daerah itu dibetot selama dia bertugas di sana (lihat Sutanto, Marsinah, Gus Dur).

Lalu, apa kata Sutanto tentang perangnya melawan permainan haram itu? "Saya hanya seorang polisi yang bertugas menegakkan hukum," ujarnya merendah.

Tentu, dalam konteks ini, ancaman "gerilyawan mafia" menahan dia jadi Kapolri sangat masuk akal. Sudah bukan rahasia, perjudian ilegal dan terbuka memang jadi problem besar di Jakarta. Bisnis itu memang cukup lezat. Dalam taksiran pengusaha itu, perputaran uang judi di Ibu Kota mencapai Rp 40 triliun dalam setahun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun lalu saja hanya sekitar Rp 12,1 triliun. Menurut pengusaha tadi, dia lebih suka bisnis itu dilegalkan dengan pajak yang tinggi. "Untungnya bisa dibagi, tanpa harus dikejar polisi," ujarnya.

Tapi, untunglah menurut Edy, wakil rakyat sekarang punya kesadaran kritis. Komisi III, kata dia, sudah punya komitmen sama dalam soal membenahi Polri. "Kita semua menolak aparat negara tunduk di kaki mafia," ujarnya. Jadi, dia yakin, dengan begitu, proses seleksi Sutanto tak masalah, meskipun bekas Kepala Polda Jawa Timur itu maju sendirian.

Nezar Patria, Zed Abidien, Nurlis E. Meuko, Erwin Daryanto, Agriceli, dan Maria Ulfah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus