Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA bolong besar dalam Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang mengatur pelantikan presiden. Pasal 34 mengatur tiga skenario pelantikan, tapi tak spesifik menyebut jumlah pemimpin MPR yang harus hadir agar pelantikan tetap sah.
Menurut Saldi Isra, guru besar hukum Universitas Andalas, Padang, bolong ini bisa menjadi senjata politik partai oposisi untuk menghalangi pelantikan seorang presiden terpilih. "Kalau dibaca konstruksi konstitusi ini, pasal itu multitafsir," katanya kepada Rusman Paraqbueq dari Tempo di Hotel Santika, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Apa syarat pelantikan presiden sah?
Jika pelantikannya di depan rapat paripurna MPR atau DPR, di hadapan pimpinan MPR, yang disaksikan pemimpin Mahkamah Agung, seperti diatur Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang diturunkan ke Undang-Undang MD3 dan Tata Tertib MPR.
Haruskah semua anggota MPR hadir dalam rapat paripurna pelantikan?
Dalam undang-undang tak diatur kuorum sidang. Hanya disebut sidang paripurna. Sebab, dalam pelantikan presiden, tak ada yang diputuskan. Pemimpin MPR hanya membacakan ketetapan Komisi Pemilihan Umum, lalu mengambil sumpah presiden.
Dalam hal pemimpin MPR, apakah ketua dan keempat wakilnya harus hadir lengkap?
Tak disebutkan spesifik apakah kelimanya atau boleh satu saja. Karena itu, Pasal 9 UUD sudah mengatur sejumlah alternatif.
Dalam Undang-Undang MD3, kelima pemimpin MPR harus hadir.
Betul, tapi di konstitusi tidak disebutkan. Jika sidang paripurna tak terjadi karena ada pemimpin yang tak datang atau hanya satu yang hadir, saya pikir perlu cepat ada permintaan tafsir ke Mahkamah Konstitusi: apakah harus kelimanya atau cukup ada unsur pimpinan.
Presiden lama wajib hadir?
Tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar. Itu soal etika saja.
Tempat pelantikan harus di gedung MPR atau bisa di luar Senayan?
Karena disebutkan bersumpah dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR, asumsinya di gedung MPR. Tapi, kalau MPR mau mengubah dan mereka semua bisa datang, lalu diadakan di Istana Negara, tidak salah juga. Cara ini yang dulu digunakan di UUD sebelum perubahan, karena dulu yang memilih presiden adalah anggota MPR. Anehnya, begitu berubah menjadi pemilihan langsung, kok, pelantikannya tetap di MPR.
Seharusnya di mana?
Seharusnya di Istana Negara. Presiden terpilih cukup diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung dengan mengundang anggota MPR. Semestinya konstitusi begitu.
Apa waktu pelantikan presiden juga diatur?
Di dalam konstitusi cuma disebut lima tahun masa jabatan presiden, tak boleh lebih, kurang boleh. Asumsinya, lima tahun berakhir pada 20 Oktober 2014 pukul 24.00
Dalam kondisi apa pelantikan presiden tidak sah?
Tidak disebut di dalam konstitusi. Yang ada, pelantikan harus dilakukan.
Apakah bisa terjadi kekosongan kekuasaan bila pelantikan presiden gagal dilangsungkan?
Yang jelas, tidak ada presiden. Tapi konstitusi sama sekali tak menceritakan jika terjadi kondisi demikian. Saya berpikir upaya optimal apa yang dilakukan di waktu yang terbatas pada 20 Oktober. Misalnya meminta tafsir ke Mahkamah Konstitusi itu atau presiden mengeluarkan dekrit.
Seperti apa isi dekritnya?
Bisa saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan proses pelantikan bisa dilakukan jauh lebih sederhana.
Siapa yang mengambil alih kekuasaan ketika kursi presiden kosong?
Tidak diatur dalam konstitusi.
Tentara bisa masuk?
Tidak sama sekali karena tidak ada di konstitusi.
Lalu apa solusinya jika terjadi kekosongan kekuasaan akibat pelantikan presiden dijegal oleh MPR, misalnya?
Ada hukum darurat, ekstra-konstitusional, seperti mengeluarkan dekrit. Menurut saya, yang ingin tak ada pelantikan presiden harus menyadari risikonya amat gawat. Bisa chaos dan kudeta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo