Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah tokoh agama meminta Presiden Joko Widodo turun tangan dalam proses seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Mereka berpendapat Jokowi menjadi benteng terakhir untuk menyingkirkan sejumlah kandidat yang dianggap memiliki rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia, Gomar Gultom, mengatakan Presiden Jokowi harus aktif menelusuri rekam jejak kandidat yang diloloskan, di samping mendengarkan pertimbangan Panitia Seleksi. Salah satunya dengan mempertimbangkan masukan dari sejumlah aktivis antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Kawal Calon Pemimpin KPK. "Pansel harus membeberkan semua ke Presiden. Jangan sampai Presiden membeli kucing dalam karung," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan cara itu merupakan jalan terbaik bagi Panitia Seleksi untuk mengakhiri polemik seleksi. Menurut dia, dialog dengan koalisi masyarakat sipil bisa menjadi ajang untuk mengkonfirmasi rekam jejak kandidat bermasalah. "Di situ diuji kesahihan secara obyektif sesuai dengan kriteria normatif, data, dan fakta yang sederhana," kata dia.
Menurut Haedar, Panitia Seleksi sebaiknya terbuka kepada data, masukan, dan informasi publik. Ia berharap dialog antara koalisi masyarakat sipil dan Panitia Seleksi dapat mengakhiri kontroversi di akhir tahapan seleksi. Ia juga meminta Panitia Seleksi menjauhkan KPK dari tarik-menarik kepentingan yang memperlemah KPK. "Kami tidak ingin riuh soal ini jika semua pihak berpikir obyektif tanpa kepentingan-kepentingan yang tidak berbasis pada obyektivitas, data, dan parameter yang sahih," tutur dia.
Keputusan Panitia Seleksi mengumumkan 20 calon pemimpin KPK dipermasalahkan. Koalisi Kawal Calon Pemimpin KPK mengkritik hasil seleksi karena dua kandidat dari kepolisian diduga memiliki rekam jejak buruk, yaitu Inspektur Jenderal Firli Bahuri dan Inspektur Jenderal Antam Novambar. Firli diduga pernah melanggar etik saat menjabat Deputi Penindakan KPK ketika bertemu dengan M. Zainul Majdi-Gubernur Nusa Tenggara Barat saat itu. Zainul diduga terlibat dalam perkara yang sedang diselidiki KPK.
Koalisi juga menduga Antam mengintimidasi Direktur Penyidikan KPK saat itu, Komisaris Besar Endang Tarsa. Endang diminta menjadi saksi dalam sidang praperadilan atas kasus yang menjerat Komisaris Jenderal Budi Gunawan-Kepala Badan Intelijen Negara-yang kala itu menjabat Wakil Kepala Polri. Dari 20 kandidat, empat orang berasal dari kepolisian dan kejaksaan, serta dua dari KPK. Sisanya berprofesi sebagai hakim, pegawai negeri, auditor, advokat, dan akademikus.
KPK sudah memberi masukan perihal rekam jejak 40 calon pemimpin KPK kepada Panitia Seleksi. Masukan itu berupa informasi mengenai penyimpangan atau pelanggaran sedang, seperti ketidakpatuhan melaporkan harta kekayaan, hingga pelanggaran berat. Komisi antirasuah menyatakan telah memberi tanda pada nama-nama kandidat yang bermasalah.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Robikin Emhas, mengatakan Panitia Seleksi KPK harus tetap mendengarkan masukan-masukan dari pelbagai kalangan. Menurut dia, dialog ini untuk memastikan agar calon pemimpin KPK terbebas dari kepentingan apa pun selain pemberantasan korupsi. "Alangkah berbahayanya jika KPK, yang merupakan lembaga superbody itu, memiliki agenda lain selain menjalankan mandat pemberantasan korupsi," kata dia.
Sekretaris Eksekutif Kerasulan Awam Konferensi Wali Gereja Indonesia, Siswanto, mengatakan Presiden Jokowi perlu turun tangan untuk mendengarkan kegelisahan kelompok masyarakat sipil dengan mengkroscek kembali nama-nama yang dianggap bermasalah. Dia berujar, cara ini penting untuk memastikan bahwa 10 nama calon yang akan dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat terbebas dari kepentingan politik. "Tidak ada salahnya Presiden memanggil Pansel, daripada Presiden menerima nama-nama yang ternyata bermasalah," kata dia.
Dalam wawancara dengan Tempo pada 19 Agustus lalu, Presiden Jokowi menyatakan proses seleksi pemimpin KPK berlangsung terbuka. Selain meyakini kerja Pansel yang transparan, tutur dia, masyarakat bisa berpartisipasi aktif dalam proses seleksi tersebut. "Kurang transparan di mananya? Terbuka kayak gitu. Beri tahu saja, ini pernah kayak gini, punya masalah hukum apa. Tapi jangan berupa dugaan," kata dia.
EGI ADYATAMA | MAYA AYU PUSPITASARI | ARKHELAUS WISNU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo