Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kalah-Menang Si Malin Kundang

Lembaga Bantuan Hukum menapaki sejarah panjang. Lembaga ini pernah menggugat Pemerintah DKI—badan yang justru telah melahirkan dan mendanai dirinya.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya adalah kunjungan Ibu Tien Soeharto di Timland di pinggiran Kota Bangkok, Thailand. Ini adalah miniatur kebudayaan Thailand yang dikemas dalam sebuah taman hiburan. Hanya dalam satu taman, pengunjung bisa melihat kekayaan budaya Negeri Gajah Putih itu dengan lengkap. Pulang ke Jakarta, istri Presiden Soeharto itu ngebet membangun "Indonesia in Miniature"—nama awal Taman Mini Indonesia Indah.

Tapi bakal lokasi taman di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, itu masih dihuni ratusan warga. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, yang ditunjuk sebagai pimpinan proyek, memutuskan akan menggusur mereka.

Sekitar 500 keluarga yang disingkirkan protes. Mereka meminta pertolongan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang usianya baru satu tahun. Di pengadilan, LBH berhadapan dengan Pemda DKI di bawah pimpinan Gubernur Ali Sadikin—nama yang justru adalah donatur utama LBH.

Kepada TEMPO, Bang Ali—begitu Ali Sadikin biasa disapa—tidak menganggap LBH sebagai Malin Kundang, tokoh cerita rakyat Sumatera Barat yang durhaka terhadap ibunya sendiri. "Sebagai gubernur, saya harus berlaku adil. Saya ikhlas mereka menuntut saya," katanya. Adnan Buyung Nasution, Ketua LBH, tahu posisinya tak enak. Tapi ia bertekad maju terus. "Ini test case buat LBH," katanya ketika itu.

Belakangan, desakan LBH berbuah: Pemda DKI menaikkan nilai ganti rugi tanah dari Rp 100 menjadi Rp 110 per meter, memberikan bantuan tempat penampungan, dan memberi prioritas kerja bagi warga yang tergusur. Bahkan tanaman penduduk yang diremukkan traktor penggusur pun diberi ganti rugi.

Kasus tahun 1971 itu menjadi kasus hukum pertama LBH melawan Pemda Jakarta, sekaligus mengawali debut LBH sebagai pembela "wong cilik". Setelah itu, LBH menjadi rumah rakyat: orang-orang mengadukan masalah mereka, dan LBH membantu secara percuma. Karena perannya itu, LBH kerap disebut sebagai lokomotif demokrasi.

Sang lokomotif melabrak dari tahun ke tahun. Tahun 1974, misalnya, Buyung dan kawan-kawannya masuk pengadilan membela ratusan orang yang ditahan karena peristiwa Malari. Buyung sendiri—bersama Yap Thiam Hien dan H.J.C. Princen—sempat ditahan tanpa diadili.

Sebulan setelah si Abang—panggilan akrab Buyung—keluar dari tahanan, ia berhadapan dengan militer lagi. Kali ini dengan TNI Angkatan Udara, yang digugat 500 kepala keluarga di Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur. Mereka menuntut TNI-AU, yang telah menggusur tanah mereka untuk dibangun kompleks perumahan. TNI-AU merasa sudah membeli tanah seluas 1.000 hektare itu. Dengan bantuan LBH, kasus penggusuran di Halim dapat dihentikan.

Tahun 1978, ketika ramai-ramainya protes menentang pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, 164 mahasiswa di berbagai kota besar ditangkap militer. Mereka dituduh menyabot program pemerintah dan menghina Presiden beserta keluarganya. LBH, yang menjadi pembela para mahasiswa, kewalahan karena kekurangan pengacara. Mereka akhirnya membentuk tim pembela di berbagai daerah. Tim nasional yang diketuai Buyung itu tidak bisa "menyelamatkan" sekitar 36 orang mahasiswa, yang akhirnya diputus bersalah oleh pengadilan.

Citra yang melekat di masyarakat bahwa LBH melawan kesewenang-wenangan penguasa, menurut almarhum Aswab Mahasin, membuat LBH jadi populer. Orang miskin, bila punya masalah hukum, selalu datang ke LBH untuk mengadukan nasibnya. Dalam 15 tahun pertama, LBH menangani rata-rata 1.600 kasus tiap tahun.

Pada 1981, LBH memakai nama Yayasan LBH Indonesia (YLBHI). Pada dekade 1980, kiprahnya makin berkibar. Ketika itu berbagai isu global seperti penegakan hak asasi manusia, demokratisasi, dan lingkungan hidup mencuat. Sebutlah, misalnya, kasus Marsinah, peristiwa Liquisa, Timika, kasus tanah Jenggawah, kasus Ohee di Papua, kerusuhan di Timor Timur, Sampit, Banyuwangi, Madura, pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, dan kasus pencemaran Freeport. Semua ditangani para pengacara LBH.

Tapi, tidak dalam semua kasus LBH bisa menang. Kasus gugatan warga Kedungombo, yang tak rela tanahnya dijadikan waduk, hanya jadi salah satu contoh.

Ketika itu, 1985, Waduk Kedungombo dibangun dengan melahap 6.753 hektare tanah milik 23.380 penduduk di tiga kabupaten di Jawa Tengah. Sebanyak 618 keluarga tidak mau mengambil ganti rugi karena besarnya ganti rugi dinilai tidak layak. Bahkan sebagian di antaranya bertahan hidup di sekitar waduk, yang airnya terus meninggi. Insiden ini menarik perhatian publik internasional karena uang pembangunan waduk sebagian adalah bantuan Bank Dunia.

Pada 1994—setelah melalui persidangan panjang—Mahkamah Agung menyatakan bahwa pemerintah harus membayar ganti rugi yang diinginkan penduduk. Hakim juga mengabulkan ganti rugi immaterial sebesar Rp 2 miliar. Tapi, dengan tekanan pemerintah, hakim membatalkan keputusan itu lewat mekanisme peninjauan kembali (PK). Kasus itu belum tuntas hingga hari ini.

Gugatan enam lembaga swadaya masyarakat melalui LBH terhadap Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1994, mengenai pinjaman dana reboisasi kepada PT IPTN, juga ditolak majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Majelis menyimpulkan keputusan presiden itu belum final. Jadi, tidak bisa digugat. Benyamin Mangkoedilaga, ketua majelis hakim, dalam kesimpulannya menyebut keppres itu hanya suatu peraturan yang, bila ditindaklanjuti oleh perbuatan badan perdata, baru bisa menimbulkan akibat hukum.

Keppres tersebut memang telah keluar, tapi menurut hakim belum diikuti proses pemindahan rekening dari Menteri Kehutanan sebagai pemilik dana ke Direktur IPTN sebagai penerima. Yang terjadi, baru perjanjian pemberian pinjaman sebesar Rp 400 miliar yang berasal dari dana reboisasi. Gugatan LBH kandas.

Ketika Hendardi memimpin, tahun 1995, tim YLBHI kalah lagi dalam perkara yang melibatkan politikus Sri Bintang Pamungkas. Bintang dipecat dari jabatannya sebagai anggota DPR RI, sebagai dosen Universitas Indonesia, dan akhirnya ditahan. Tudingannya seram: Bintang dituduh mendalangi demonstrasi di Dresden, Jerman, dan menghina Presiden Soeharto dalam sebuah ceramah di sana. Ia divonis 2 tahun 10 bulan. Pengadilan Tata Usaha Negara juga menolak gugatan Bintang soal recalling dirinya sebagai anggota parlemen.

Tapi soal kalah dan menang, kata Buyung Nasution, adalah masalah biasa. "LBH ingin menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat," ujarnya.

Di tengah krisis keuangan yang menghantam LBH sejak 2001 lalu, harapan masyarakat kepada LBH memang masih besar. Tahun lalu, kantor cabang YLBHI di seluruh Indonesia menangani 2.218 kasus—kebanyakan pelanggaran hak asasi manusia. Pencari keadilan di LBH umumnya berciri sama: kelompok miskin desa dan kota, dan—meminjam istilah Buyung—kebanyakan orang-orang yang buta hukum.

Semuanya masih dilayani gratis, meski di beberapa daerah kantor cabang mulai "kreatif" menaikkan pungutan biaya pendaftaran. Terbatasnya dana di tiap daerah menjadikan pengurus LBH setempat harus berakrobat memperpanjang napas (lihat, Melego Meja, Mengharap 'Maitua').

Tentu akrobat ini ada batasnya. Jika keuangan lembaga tak terselamatkan, bukan tak mungkin para pencari keadilan hanya akan menemukan kantor-kantor LBH di berbagai pelosok Nusantara menjadi rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya. Lalu, lokomotif demokrasi akan berubah menjadi gerbong terakhir demokrasi.

I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus