Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANI bersimpuh dan men-cium kaki mamanya. Sang ibu mena-ngis, naluri keibuannya telah lama mengendus sesuatu yang tak biasa. Apalagi penampilan sang anak pun sangat ”jantan”, sementara teman yang datang dan telepon yang berdering untuk Hani melulu dari wanita. Hari itu, empat tahun silam, semuanya jelas: putrinya seorang lesbian. Sang ibu kaget dan sedih, tapi menerima kenyataan itu.
Hani kini lega. Waktu kuliah dulu, ia selalu mengunci rapat-rapat pera-saan yang ada pada dirinya. Ia bahkan menyangkal kenyataan itu, dan men-jalin kasih dengan rekan pria. Gagal. Ia merasa tak bisa mencintai laki-laki. Kenangan kelam tentang pria-pria di masa kecilnya di Malang, Jawa Timur, selalu terputar. Tentang ayahnya yang pemberang, gampang memukul, dan banyak lagi.
”Saya tidak dendam pada pria, tapi saya kasihan, wanita selalu jadi korban,” tutur Hani. Maka, selepas kuliah, ia memilih bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengurusi masalah perempuan. Di situlah ia membuka diri. Tak ada yang memperlakukannya berbeda.
Hani sosok yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka didefinisikan ”wanita yang mencintai sesama jenisnya”. Tak ada data pasti tentang jumlah lesbian di Indonesia, namun mereka ada di an-tara kita. Tak memandang usia, pekerjaan, atau kelas sosial. Lesbian kerap disebut kelompok L atau dalam bahasa gaul lines. Mereka banyak yang memilih jalur ”bawah tanah” alias diam-diam menjadi lesbian. Hani hanyalah satu yang ”beruntung” karena dite-rima oleh keluarga dan lingkungan kerjanya.
Ia berbeda dengan Jenny, sebut saja begitu, yang dipecat dari warung te-lekomunikasi tempatnya bekerja- lan-taran ketahuan lesbian. Gadis 20-an tahun itu kini mendapat kesulit-an mencari nafkah lantaran kabar itu -keburu tersiar. Atau Noi, 31 tahun, yang takut. Ia memilih bungkam karena-, ”Keluarga saya haji semua. Mana mungkin mereka mau menerima?” -keluhnya.
Pengalaman menunjukkan banyak perempuan yang mengaku sebagai lesbian menerima perlakuan buruk. -Koalisi Perempuan Indonesia kerap- menerima laporan banyak lesbian yang dibuang keluarganya, diperkosa, dan dikawinkan paksa, bahkan ada yang ditendang ke rumah sakit jiwa. ”Mereka dianggap sampah yang tak berguna,” kata Masruchah, ketua or-ganisasi perempuan itu.
Perlakuan semacam ini disesalkan- Dodo, Ketua Divisi Kampanye dan Advokasi Arus Pelangi. Inilah orga-nisasi yang memposisikan diri seba-gai perkumpulan pembela hak lesbian, gay, biseksual, dan transeksual/transgender ”Apa hubungannya antara -orientasi seksual dan prestasi kerja?” ujar Dodo. Padahal, katanya, lesbian juga manusia. Butuh mencari nafkah juga.
Perjuangan melawan ketidakadilan semacam inilah yang dilakukan Arus Pelangi. Beranggotakan sekitar 100 orang, Arus Pelangi meluncurkan berbagai program. Diskusi dan pendidik-an bagi anggotanya serta kampanye ke publik supaya masyarakat mengakui hak-hak seorang homoseksual.
Tak semua lines mau mencantolkan diri ke organisasi semacam Arus Pelangi, Swara Srikandi, Jaringan Kerja Warna-Warni, atau Persatuan Lesbian Indonesia. Banyak yang sekadar mencari wadah berbagi sesama. Ada sebuah rumah di kawasan Paseban, Jakarta Pusat, selalu ramai tiap akhir pekan. Di situlah tempat kongkow para lesbian. Ada dosen, aktivis perempuan, hingga mahasiswa. Ada yang sudah 68 tahun, ada yang masih 19 tahun.
Tudingan tak sedap umumnya merujuk ke gaya hidup bebas kaum homo-seksual, terutama dalam urusan seks. Memang ada yang memandang seks sebagai rekreasi: demi kesenang-an belaka. Ada pula yang lebih dari itu. Di mata Hani, misalnya, lesbian bu-kan semata soal gaya hidup, tapi masalah hukum dan politik. Itu sebabnya, ber-sama Arus Pelangi, ia merancang sederet program menentang se-gala bentuk diskriminasi. ”Menjadi lesbian bukan sekadar urusan seks,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo