Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU wasit ngamuk di lapangan bola, ia merogoh kartu merah yang bermakna: silakan keluar, Bung. Tapi di lapangan seks Boyongsari, kartu merah berarti sebaliknya: silakan masuk, Mas. Peraturan ini adalah hasil karya Dinas Sosial Kodya Pekalongan bekerja sama dengan Polresta setempat. Terbuat dari kertas manila merah berukuran 10 x 15 cm, kartu merah bertempelkan foto pemiliknya itu bagai SIM laiknya. Berguna untuk izin usaha, plus pemeriksaan kesehatan dan penertiban. Maka, terhitung sejak awal Oktober lalu, semua WTS penghuni lokalisasi pelacuran Boyongsari, Kodya Pekalongan, Ja-Teng, tak selamat kalau kedapatan tanpa kartu merah. Boyongsari memang sedang "ngamuk". Di sana juga berlaku batasan usia dan pendidikan buat WTS. "Wanita di bawah umur dilarang bekerja di tempat itu," kata Ny. Sri Wulan, Kasi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kodya Pekalongan. Mereka juga harus menunjukkan surat keterangan lari daerah asalnya, yang menyatakan status mereka. Jandakah, atau gadis yang sudah kawin tapi belum keburu menikah. "Pendeknya, wanita yang masih bersuami tidak boleh menempati kompleks ini. Jika sudah janda, dia harus bisa menunjukkan surat cerainya," ujar Bu Sri dengan tegas. Bukan hanya itu. Wanita yang berpendidikan SMTP atau SMTA ke atas tidak diizinkan menempati kompleks. Praktis, di sana tidak ada "intelektual" yang pegang kartu merah, kecuali mantan SD ke bawah. "Bagaimanapun juga, wanita yang berpendidikan SMTP atau SMTA ke atas dimungkinkan bisa mencari pekerjaan yang lebih terhormat. Tidak harus menjadi pelacur," ucap Bu Sri kepada Heddy Lugito dari TEMPO. "Makanya, teman saya yang lulusan SMP sekarang sudah pindah dari sini, karena dia tidak dapat memperoleh kartu merah," kata Sriani, 21 tahun WTS asal Pemalang masa dinas setahun lebih. Boyongsari, yang terletak di pinggir pantai Pekalongan itu, kini diperkuat oleh 75 pemegang kartu merah. Semuanya drop out atau mantan SD. "Mereka itu kebanyakan dari desa-desa yang masih lugu, dengan latar belakang bekerja sebagai WTS karena masalah ekonomi," kata Bu Sri. Selain diseleksi keras, para pemegang kartu itu juga mendapat penyuluhan, latihan keterampilan, dan olahraga. Seandainya Anda kebetulan tersesat ke sana, Anda akan melihat dengan mata kepala sendiri, kartu merah terpajang di setiap kamar. "Jika saya sedang bepergian dan pulang malam, lalu kebetulan di jalan ada operasi, saya cukup menunjukkan kartu merah ini. Kalau sudah punya kartu merah ini, kalau ada operasi pasti tidak digaruk," tutur Sriani dengan bangga. "Pokoknya, kalau ada main dengan saya, saya jamin tidak kena penyakit, Mas. Ini buktinya, kesehatan saya selalu dikontrol setiap hari Selasa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo