Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Konflik lahan yang melibatkan korporasi dan masyarakat terus bertambah dan berlarut-larut setiap tahun. Salah satu penyebab konflik berkepanjangan adalah adanya unsur sosial-budaya, bukan ganti rugi semata. "Makanya, sulit menurunkan angkanya karena juga harus membahas sisi historis," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Usep Setiawan, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peliknya komponen permasalahan konflik lahan, kata dia, tak diikuti oleh kapasitas kelembagaan penyelesaian konflik di tingkat birokrat. Misalnya, di sektor kehutanan, urusan konflik hanya menjadi wewenang Direktorat Konflik Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal, menurut Usep, penyelesaian konflik harus melibatkan direktorat di kementerian yang sama yang mengurusi perizinan korporasi. "Selama ini diurusi per sektoral masing-masing kementerian dan lembaga," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, Kantor Staf Kepresidenan membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria yang melibatkan pegiat agraria. Tim ini berkolaborasi dengan unit-unit di kementerian dan lembaga yang bertugas menangani konflik pertanahan. Usep, yang juga mantan aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), masuk dalam tim yang berfokus membenahi tata masalah agraria.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 86 tentang Reforma Agraria, pemerintah membentuk tim reforma agraria nasional. Tim diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian dan membawahkan 16 menteri, lembaga, serta aparat hukum dan keamanan. "Formula percepatan sengketa kami yang bikin, tapi perlu keputusan politik tingkat menteri sebelum masuk ke presiden," kata Usep.
Sambil menunggu kesepakatan antarmenteri, KSP saat ini memfasilitasi para pihak terkait lintas kementerian, lembaga, korporasi, dan masyarakat dalam konsinyasi penyelesaian sengketa.
Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Agus Widijayanto, tak menampik bahwa urusan sengketa dan konflik lahan memang ruwet. Setiap kasus biasanya bisa bersenggolan dengan aparat hukum, Kantor Staf Kepresidenan, Ombudsman, pemerintah daerah, hingga Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Keruwetan makin tinggi, kata dia, jika sengketa melibatkan lahan dan masyarakat dengan cakupan yang lebih luas. "Tahun lalu ada 1.864 kasus. Kalau secara sektor, paling banyak soal perkebunan, aset pemerintah, dan konflik lahan di perkotaan," kata Agus. Meski ruwet, Agus memastikan kementeriannya sangat terbuka untuk menyelesaikan sengketa lahan dengan cepat. "Pak Menteri berkomitmen soal itu."
Adapun Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, mengatakan Kementerian terus membenahi sistem perizinan perkebunan. Sistem yang baru tersebut bakal menekankan tiga fungsi: integrasi data dan informasi perizinan usaha perkebunan di skala nasional; membuat instrumen pembinaan dan pengawasan perizinan usaha perkebunan; serta koordinasi informasi bagi kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Isu sengketa dan penguasaan lahan melebar di publik seusai debat calon presiden putaran kedua, Ahad lalu. Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo, secara terang-terangan menyindir lawan bertarungnya, Prabowo Subianto, atas kepemilikan lahan ratusan ribu hektare di Aceh dan Kalimantan. Meski begitu, kepemilikan tanah luas juga dimiliki oleh para pendukung Joko Widodo, termasuk menteri di jajaran kabinet.
Penelusuran Tempo, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memiliki kurang-lebih 15 ribu hektare konsesi tanah dengan empat entitas bidang pertambangan dan kelapa sawit. Luhut tak menampik memiliki lahan tersebut. "Tapi itu saya dapatkan dulu waktu sebelum jadi menteri, angkanya juga salah, harusnya dicek dulu, dong," kata Luhut.
Peneliti dari The Institute Ecosoc Rights, Sri Palupi, menyayangkan debat isu lingkungan sekadar jadi perdebatan dan pertikaian politik. "Pemaparan langkah konkret tidak ada," ujarnya. Dia melanjutkan, "Kalau begini terus, mau pilih yang mana pun, warga adat bakal kehilangan lahan karena pembangunan." VINDRY FLORENTIN | DIAS PRASONGKO | ANDI IBNU
Tumpang-Tindih Peraturan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo