Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Undang-Undang Pemberantasan TPPO tidak komprehensif sehingga diminta direvisi.
Pelaku utama banyak yang belum dijerat dalam berbagai kasus karena keterbatasan aturan.
Pandemi Covid-19 menyebabkan jumlah kasus perdagangan orang meningkat.
JAKARTA – Penegakan hukum kasus perdagangan anak di Indonesia masih belum melindungi korban. Norma hukum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tak mencakup unsur eksploitasi dengan jelas, sehingga menyebabkan penegak hukum lalai menjerat pelaku utama perdagangan orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati, mengatakan Undang-Undang Pemberantasan TPPO seharusnya direvisi guna memperlebar ruang untuk menjerat pelaku kejahatan ini. Dalam Pasal 3 dan 4 undang-undang ini, misalnya, disebutkan bahwa pidana hanya dibatasi pada perbuatan membawa korban untuk dieksploitasi. Hal tersebut mempersempit ruang penegakan hukum menjadi sebatas ketika perpindahan korban dan eksploitasi sudah terjadi—bukan hanya saat ada niat kejahatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, banyak kasus yang hanya menjerat pelaku lapangan. "Keterbatasan pengaturan ini mengakibatkan lemahnya penegakan hukum untuk pidana perdagangan orang," kata Maidina kepada Tempo, kemarin.
Menurut Maidina, revisi harus mencakup kejelasan definisi seluruh proses perdagangan orang. Dalam beberapa kasus perdagangan anak, dia melanjutkan, polisi dan jaksa masih saja mencoba menggali unsur persetujuan korban. Padahal anak tidak berkapasitas memberikan persetujuan. Hakim lalu memutuskan unsur eksploitasi tidak terpenuhi karena korban setuju bekerja dengan pelaku, seperti dalam putusan sebuah kasus di Lombok pada 2020.
Angka kasus perdagangan orang terus meningkat berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pada 2021, ada 617 kasus perdagangan orang atau naik dari 425 kasus pada tahun sebelumnya serta 222 kasus pada 2019. Kenaikan ini, menurut data Kementerian, diduga kuat terjadi akibat pandemi Covid-19, yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan sehingga memudahkan pelaku mengeksploitasi dan mengelabui korban.
Kasus Sudin, misalnya. Pedofil berusia 52 tahun itu membayar sejumlah orang untuk mengelabui korban anak usia 13-15 tahun dari Jambi dan daerah lain untuk dibawa ke Jakarta. Di Jakarta, tepatnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, para korban dieksploitasi secara seksual, lalu dibayar Rp 1,5-6 juta sebelum dipulangkan dengan bus ke daerah masing-masing. Jumlah korbannya diperkirakan lebih dari 30 anak.
Kepolisian menangkap Sudin pada Desember 2021. Dua orang jaringan Sudin juga ditangkap, yakni PIS dan ARS, yang ternyata juga pernah menjadi korban dari pelaku. Keduanya mendapat Rp 1-2 juta untuk setiap anak yang dikirim ke Jakarta.
Pada bulan yang sama, kepolisian menangkap sembilan orang yang terlibat dalam perdagangan anak perempuan berusia 16 tahun di Aceh Utara. Korban berinisial MY itu awalnya dilaporkan hamil dan mengaku diperkosa oleh pelaku NR. Dari hasil investigasi, NR rupanya mendapat uang dari delapan orang lainnya sebagai tarif untuk memperkosa korban dengan harga Rp 50-200 ribu. Ada pula seorang pelaku lain yang menjadi petugas antar-jemput korban untuk dibawa ke lokasi kejahatan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan kasus perdagangan orang merupakan fenomena gunung es. Jumlah kejadian jauh lebih banyak daripada kasus yang dilaporkan ke polisi. Aktivis perempuan dan lembaga internasional yang membantu pemerintah Indonesia merumuskan kebijakan pencegahan tindak pidana perdagangan orang juga melontarkan pernyataan senada. "Kami harus makin siap dalam memberikan perlindungan dan pelayanan karena hal ini," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga dalam sebuah acara diskusi, Desember 2021.
Penegakan hukum yang lemah juga disoroti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain jarang menyentuh otak kejahatan terhadap anak, penyidik polisi dan jaksa penuntut disebut tidak memahami hak-hak korban.
Hak-hak tersebut antara lain perlindungan selama proses hukum dan hak restitusi atau ganti rugi kepada korban yang bisa dituntut kepada pelaku. "Seharusnya pengadilan bisa memerintahkan menyita aset pelaku agar bisa restitusi kepada korban," kata Antonius Wibowo dari LPSK. "Tapi undang-undang tidak menjelaskan cara menyita, kapan, dan siapa yang melakukan sehingga penegak hukum ragu-ragu memasukkan hak korban ini dalam tuntutan."
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu, mengatakan banyak penegak hukum yang masih belum memahami Undang-Undang TPPO secara utuh dalam menangani kasus perdagangan anak. Karena itu, dia melanjutkan, Kementerian kerap segan mengundang polisi, jaksa, pengacara, hingga pendamping untuk mengikuti pelatihan seputar ketentuan tersebut, terutama dari daerah-daerah rawan kasus. "Karena mereka itu ujung tombak," kata Pribudiarta.
INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo