Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelaku diet karnivora sudah merasakan hasilnya dalam waktu sepekan.
Diet karnivora tidak disarankan dilakukan dalam jangka panjang.
Komposisi nutrisi pada diet karnivora dominan lemak dan protein.
Perbincangan tentang diet karnivora meramaikan lini masa media sosial dalam sepekan terakhir. Salah satu konten yang cukup viral datang dari pengguna TikTok dengan nama akun Pejuang Carnivor. Konten dengan lebih dari 2 juta penonton tersebut berisi cerita tentang sang pemilik akun yang terdiagnosis diabetes dan tengah melakukan diet karnivora untuk melawan penyakitnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain akun tersebut, pengguna TikTok bernama Putra Wijaya sudah cukup lama membuat konten seputar diet karnivora. Jumlah penonton beberapa video pegiat ini menembus lebih dari 1 juta. Para pegiat fitness lainnya, seperti Steven Dharma dan Ricky Darmawan, juga mencoba diet karnivora sejak beberapa bulan terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebanyakan dari mereka mengakui diet ini paling cepat menurunkan berat badan. "Berat badan saya turun 3 kilogram dalam dua minggu, dari 68 ke 65 kilogram," kata Ricky.
Putra juga mengalami penurunan berat badan 3 kilogram dalam waktu sepekan ketika pertama kali mencoba diet karnivora pada 2018. Ia sebelumnya menderita obesitas dan memiliki bobot sekitar 90 kilogram. Setelah rutin menerapkan pola makan karnivora, timbangan Putra berada di angka 65 kilogram. Berat badannya sudah termasuk angka ideal dengan tinggi badan 175 sentimeter.
Sementara itu, Steven mencoba diet karnivora mulai September tahun lalu. Walau hanya menjalaninya selama 2-3 bulan, bobot tubuh Steven turun hampir 20 kilogram, dari 104 menjadi 83 kilogram.
Diet karnivora merupakan pola makan yang mengutamakan konsumsi daging dan sumber hewani lain. Baik Ricky, Putra, maupun Steven menjalani pola makan seperti biasa, yaitu tiga kali sehari. Namun menunya hanya berupa daging, seperti sapi, ayam, dan ikan; juga produk hewani lain, misalnya telur, keju, dan susu.
Dokter Spesialis Gizi RSUP Persahabatan Elfina Rachmi. Dok. Pribadi
Dokter spesialis gizi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Elfina Rachmi, mengatakan diet karnivora memang sedang hit di media sosial. Diet ini memiliki prinsip mengembalikan pola makan seperti pada zaman dahulu. "Zaman dahulu kan kecenderungannya itu, mengkonsumsi animal product. Orang dulu kan sehat. Dasarnya itu protein tinggi," katanya.
Elfina menuturkan diet ini sekilas mirip diet keto. Namun komposisi nutrisi pada diet karnivora dominan lemak dan protein. Adapun porsi karbohidratnya bisa sangat minim, dari nol hingga 10 persen.
Dengan asupan protein tinggi dan rendah karbohidrat, Elfina menyebutkan, secara otomatis memang terjadi penurunan berat badan. Sebab, protein bisa memperlama proses pengosongan lambung. Bila diet ini diimbangi dengan olahraga, massa otot tetap terbentuk dan berat badan tidak menjadi "yoyo" alias naik-turun.
Meski efektif menurunkan berat badan, Elfina mengungkapkan, ada sejumlah efek samping bila diet ini dilakukan dalam jangka panjang. Misalnya hipertensi karena asupan lemak jenuh yang tinggi, kolesterol, dan proses pengolahan bahannya bisa jadi cenderung tinggi garam atau lemak.
Dampak yang paling sering ditemui adalah sembelit. Sebab, asupan serat dalam pola makan ini rendah lantaran pelaku diet karnivora tidak mengkonsumsi sayur, buah, dan kacang-kacangan. Tapi ada pula yang mengalami diare bila mengkonsumsi susu atau dairy product.
Karena itu, Elfina menilai diet ini tidak seimbang apabila tidak disertai asupan vitamin dan mineral. Ia menjelaskan, protein bersumber dari lauk hewani, seperti daging merah, ikan, dan ayam. Protein hewani juga mengandung lemak. Karena itu, saat proses pengolahannya juga akan tinggi lemak. "Di situlah dampak yang kurang baik untuk efek jangka panjang."
Meski prinsip diet karnivora seperti pola makan manusia purba, Elfina menilai kondisinya tidak bisa disamaratakan dengan keadaan saat ini. Karena itu, ia menyarankan, jangan terlalu ekstrem bila ingin menjalani diet ini. Salah satu kiatnya adalah tetap memperhatikan kebutuhan zat gizi lain.
Nutrisionis dari Fasena Beauty Clinic, Hans Kristian Pranoto, menyarankan masyarakat sebaiknya tidak terlalu mengikuti tren diet. "Karena yang namanya tren itu ada momentumnya," kata pria 33 tahun itu. Sebelum melakukan diet, sebaiknya berkonsultasi lebih dulu ke dokter. "Jangan main dokter sendiri."
Nutrisionis Hans Kristian Pranoto di Facena Beauty Clinic. Dok. Pribadi
Hans menuturkan diet karnivora biasanya ia rekomendasikan kepada pasien dengan masalah pencernaan. Misalnya pasien dengan kondisi small intestinal bacterial overgrowth (SIBO), di mana pertumbuhan bakteri mengalami peningkatan yang abnormal pada organ usus halus. Dia menjelaskan, bakteri tersebut semestinya berada di usus besar, tapi malah migrasi ke usus halus. Hal ini bisa menyebabkan gejala diare, konstipasi atau sembelit, hingga mual.
Kondisi berikutnya yang cocok untuk menerapkan diet karnivora adalah irritable bowel syndrome (IBS), yang merupakan kumpulan gejala iritasi saluran pencernaan di usus besar. "Saya sering sarankan pasien melakukan diet karnivora supaya bakteri ini netral dulu," ucapnya.
Hans juga tidak menyarankan diet ini dilakukan secara jangka panjang. Biasanya diet karnivora pada pasien SIBO atau IBS dilakukan sampai kondisi mereka terkoreksi. Umumnya evaluasi diet tersebut dilakukan dalam 1-2 bulan. "Ketika kondisi pasien sudah terkoreksi, pelan-pelan makan sayur lagi. Jadi, dalam tubuh kita seimbang."
Di luar masalah pencernaan, Hans mengungkapkan, diet karnivora juga cocok untuk sebagian penderita diabetes. Karena tak ada asupan karbohidrat, diet ini bisa memberikan dampak positif terhadap kesehatan metabolisme, salah satunya adalah kadar insulin yang stabil. Dengan menurunnya kadar insulin, manifestasinya adalah penurunan berat badan penderita diabetes.
Tapi, kata Hans, bukan berarti diet ini menjadi satu-satunya jalan kesembuhan bagi penderita diabetes. Cara lainnya adalah memperbaiki asupan karbohidrat.
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo