Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"ANAK-ANAKKU. Cucu-cucuku. Aku mau menikah lagi," kata Kakek Madsanwirya, 76, suatu malam, dengan suara gemetar. "Aku bertemu dengan ibumu atau nenekmu dalam mimpi. Ibumu dan nenekmu itu memberi izin untuk menikah lagi." Kakek ini sudah 25 tahun ditinggal mati istrinya. Kedelapan anak dan kesembilan belas cucu pada terkesiap. Lebih-lebih setelah Kakek memilih calon istrinya: Murtinah, gadis kecil 14 tahun. Murtinah itu, jangan kaget, cucunya sendiri. Tentu saja semuanya menolak. Dan Kakek pun bersedih -- selalu saja mengurai air mata, menangis. Itulah sebabnya perkawinan akhirnya dilangsungkan juga, bulan lalu, di rumah sang kakek di Desa Gandrungmangu, Cilacap, Jawa Tengah. Bukan dengan Murtinah -- yang tak bisa dibujuk untuk menjadi mempelai. Tapi dengan Sukini, 27, anak ketujuh si kakek. Siapa yang bertindak sebagai penghulu? Warikun, saudara kandung Sukini juga. "Ayah sungguh-sungguh bahagia," ujar laki-laki 52 tahun yang semula menghalangi niat ayahnya itu. Si kakek, di hari perkawinan itu, memakai celana panjang baru, berpeci dan mengenakan jas. Adapun mempelai wanita kadang-kadang tak bisa menahan tawa. "Bukan hanya Sukini yang geli. Semua yang hadir tak bisa menahan tawa," ujar Warikun, si "penghulu". Kenapa? "Karena ini kawin bohong-bohongan -- hanya sandiwara untuk menghibur Ayah," ujar Warikun. Ketika malam tiba, Kakek Madsanwirya pun ingin tidur seranjang dengan istrinya. Dan Sukini juga tidak menolak. "Toh tidur dengan ayah sendiri," katanya. Lagi pula, "saya tahu, Ayah sudah tak mampu melakukan hubungan suami-istri." Malam pertama saja, menurut Sukini, ayahnya tidur lelap sampai pagi -- sudah cukup puas karena diizinkan kawin. Sekarang, setiap Kakek memanggil nama Murtinah, yang datang Sukini. Bagi si Kakek sama saja -- wong dia sudah pikun dan pandangan matanya sudah kabur. "Mudah-mudahan sampai meninggal, Ayah tidak tahu bahwa perkawinan ini hanya lelucon. "Yah, membahagiakan orangtua," kata Sukini, ibu dua anak ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo