Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kematian Di Jalan-Jalan

Beberapa kecelakaan lalu lintas di jalan raya berbagai faktor ikut menunjang naiknya grafik kematian di jalan raya. sebab utama, faktor manusia yang tidak disiplin dan ugal-ugalan.(kt)

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASPAL basah, jalan licin yang menikung tajam, sebuah jembatan sempit di ujungnya dan seorang sopir yang memacu bisnya 90 km sejam. Sempurnalah prasyarat bagi sebuah kecelakaan. Dan musibah berdarah itu memang terjadi Rabu dinihari pekan lalu. Kecuali sopir Ruslan, agaknya tak seorang pun menyadari bagaimana persisnya kecelakaan itu terjadi. Kondektur Gufron, yang duduk santai di belakang, saat itu sedang menghitung karcis. Ia pun tidak tahu bagaimana bis Tunggal Jaya yang dikemudikan Ruslan "mengambil" sebuah kolt, sebelum menghantam pagar jembatan untuk akhirnya terjungkir dan terhunjam ke dasar Sungai Sanggung di 7 km baratdaya Sala. "Apa kita ini bermimpi?" ujar Waluyo, sopir kolt yang dilewati Tunggal Jaya. Kaelani, temannya pelan menjawab: "Ada kecelakaan. Dari jumlah yang tewas dipastikan, kecelakaan Sanggung adalah ketiga terbesar tahun ini, sesudah bis Flores dan Turangga. Korban 18 orang mati dan 17 luka-luka. Gufron selamat. Sopir Rus terpental keluar, tubuhnya terseret arus diduga meninggal seketika. Ia tidak sempat lagi mendengar kecaman Menteri PU Poernomosidi sehari kemudian: "Apa rambu lalu-lintas masih perlu disertai gambar tengkorak? " Mungkin diperlukan lebih dari itu. Karena rambu dan tanda bahaya yang biasa-biasa ternyata tidak dihiraukan sopir seperti Ruslan yang boleh dibilang cukup berpengalaman. Lalai? Tapi sopir Syafri, meski dikabarkan telah cukup berhati-hati, bis HZN yang dikemudikannya terguling juga ke jurang di Sitinjau Laut, 24 km di luar Kota Padang. Kecelakaan yang menewaskan enam penumpang ini terjadi belasan jam sesudah tragedi Sanggung. Hujan, kabut dan entah apa lagi, menyebabkan bis meluncur tidak terkendali lalu terjerumus masuk jurang. Dua kecelakaan beruntun rupanya masih tidak cukup. Minggu pagi baru lalu empat gerbong kereta-api Mutiara Timur melejit dari rel -- satu menggelinding ke Kali Lugonto. Sepuluh penumpang dikabarkan tewas, 50 luka-lula, seorang di antaranya harus dipotong kedua kakinya. Mutiara Timur, Sabtu malam itu bertolak dari Surabaya menuju Banyuwangi. Kecelakaan yang sungguh mengerikan justru terjadi hanya 18 km dari tempat tujuan -- 1 km dri Stasiun Rogojampi. Diperkirakan kereta api yang mengejar keterlambatan ini telah dipaksa lari 90 km per jam. Padahal rel hanya sanggup menampung kecepatan 50 km per jam. Kedua masinis dan kondektur yang selamat kini sedang dalam pemeriksaan. Kecelakaan terjadi silih berganti. Seakan ada ketidak-beresan yang merasuk di seantero negeri -- satu hal yang bukan tidak disadari tapi, sebagaimana biasa, selalu tidak diacuhkan. Diawali dengan tragedi kapal Tampomas, Januari berselang, pentas kecelakaan slogera berpindah ke darat. Peristiwa Turangga (tewas 23 orang) di bulan April disusul malapetaka bis Flores di Purwosari (tewas 31 orang) pertengahan Mei lalu. Di penghujung Juni terjadi kecelakaan Sanggung, Sitinjau Laut dan Lugonto. Belum terhitung kecelakaan kecil yang terjadi hampir di mana saja. Jika ditilik, sebagian besar kecelakaan itu melibatkan angkutan antarkota. Bis, bis mini dan kolt memegang peranan utama. Memang, belum ada statistik yang memperinci jenis dan jumlah kecelakaan, namun angka-angka yang terkumpul lima tahun belakangan menunjukkan, kecenderungan meningkat (lihat-tabel). Jumlah kecelakaan rata-rata tiap tahun 1000 kali lebih banyak. Jumlah korban yang tewas dengan sendirinya melonjak: dari lebih 7000 (1975) menjadi hampir 11.500 (1980). Nampaknya pemakai jalan semakin mudah menghamburkan nyawa. Padahal, "manusia tidak punya nyawa serap," begitu kata Kasi Lalulintas Letkol Pol. Gandhi di Sumatera Utara. Ada yang tidak beres? Ka Dispen Mabak, Brigjen Darmawan, menyebut beberapa ketidak-seimbangan yang membuka peluang besar untuk kecelakaan. Pertama, katanya, kenaikan jumlah kendaraan bermotor sebesar 15%. Tak seimbang dengan pertambahan panjang jalan yang hanya 2% setahun. Akibatnya jalan-jalan bertambah padat dan tabrakan makin sering terjadi. Pejabat ini juga melihat ketimpangan antara kondisi jalan -- yang disebutnya "ketinggalan" -- dibanding mutu teknis kendaraan bermotor yang amat meningkat. Jalan yang ada, menurut Darmawan, hanya mampu menampung kendaraan dalam tingkat aman dengan kecepatan 50 - 60 km per jam. Tapi dalam kenyataan sehari-hari, jalan yang sama dilindas kecepatan hampir sering dua kali lipat. "Kondisi jalan punya pengaruh pada kendaraan," tutur Darmawan, "tapi kendaraan tua juga punya andil." Namun dari berbagai faktor, Darmawan yakin bahwa andil terbesar dari manusia. Menurut pendapatnya hambatan terbesar justru terletak di sini. Karena, "mengontrol manusia itu paling sukar," katanya. "Seorang pengemudi bisa saja lulus ujian dan memperoleh SlM. Tapi apakah ia berdisiplin? " ujarnya, setengah enggan menuding sopir. Diakui Darmawan bahwa sistem kepolisian di sini tidak banyak memberi dukungan terciptanya disiplin itu. "Sistem di sini memungkinkan polisi kerja keras atau . . . tidur," kata perwira tinggi lulusan North Western University Traffic Institute di Illinois (AS). Tapi jangan lupa, katanya, masyarakat di sini kurang pula berpartisipasi menjaga disiplin sopir. Kapolri Awaloedin Djamin, dalam seminar lalu-lintas di Yogya, Maret berselang, menyoroti sopir muda (17 - 35 tahun) sebagai orang yang paling banyak membawa celaka. Kapolri menilai, orang-orang muda lebih agresif, kurang matang, bahkan mengalami tekanan jiwa jika berada di belakang kemudi. Sebab kecelakaan lain disebutkan Letkol Pol. H. Susanto, Komandan Satlantas Kodak Jawa Timur: "Sopir yang ceroboh dan suka ugal-ugalan." Gandhi mengakui bahwa di Sumatera Utara jumlah kecelakaan meningkat karena sopir tidak hati-hati -- satu hal yang antara lain disebabkan karena jalan mulus di sana. Kecenderungan yang sama bisa disaksikan di Jawa Barat. Di situ bukan sopir saja yang ceroboh. Penumpang juga ikut mendorong dan menuntut sopir agar memacu kendaraan secepat-cepatnya. Siapa yang gila dan tidak bertanggungjawab? "Meningkatnya kecelakaan di Sumatera Barat jelas karena faktor manusia," ungkap Mayor Pol Drs. Agus Saleh, Ka Seksi Lantas di sana. Pengemudi yang kurang hati-hati, para pemakai jalan yang kurang mengindahkan peraturan dan terbatasnya personil polisi merupakan kombinasi faktor yang patut diperhitungkan. Kekurangan yang disebut terakhir ini juga terlihat sangat menyolok di Yogya. Menurut Sukamto, Ka Sie Lantas Yogya, daerah istimewa itu hanya dilayani 49 polisi dan 30 pembantu polisi. Di Sumatera Barat tercatat 238 polisi -- dan itu berarti tiap anggota harus mengawasi 327 kendaraan. Di samping itu jalan-jalan sempit dan banyak belokan juga selalu minta korban -- seperti Kelok 44 Maninjau yang tersohor itu. Hal yang sama juga bisa ditemukan di Riau. Namun, seperti ditegaskan Mayor Pol. A. Bakar Mansur, Ka Sie Lantas Riau, "kelalaian sopir" tetap merupakan sebab utama. Tapi kurangnya rambu lalulintas juga ikut berperan dalam beberapa kecelakaan besar seperti di Purwosari dan Baturaja di Sumatera Selatan (1978) yang menewaskan 16 orang. Kedua peristiwa itu ditandai hal sama: tabrakan bis dengan kereta api karena rambu-rambu minim sekali. Di samping itu manajemen perusahaan secara tidak langsung juga mempengaruhi. Misalnya: kurang cermat memilih sopir. Sanksi yang kurang tegas terhadap pengemudi serta sistem upah yang tidak menciptakan iklim kerja baik. Kemudahan pihak polisi mengeluarkan rebewes atau SIM disinyalir juga ikut andil merendahkan mutu sopir. Bagaimanapun, di antara sekian banyak sebab, faktor sopir menonjol sebagai sebab utama meningkatnya kecelakaan. "Soal mentalitas," ujar Muhantojo, Kapten Polisi yang menjabat Komandan Satlantas di Semarang. Hadisoeprapto, Kepala DLLAJR Jawa Tengah, memperkuat keterangan ini. Menurut pendapatnya sopir ngebut bukan karena setoran. Tapi karena berada dalam mental transisi. Maksudnya? "Mereka baru pindah dari mentalitas agraris yang biasa dengan alat-alat sederhana ke alat-alat modern. Akibatnya mereka ingin serba cepat." Kepala Dinas Lantas Polri Kol. Pol. Pramudaryono mengibaratkan para sopir seperti orang Irian yang baru mengenal sepatu. "Masih suka tergelincir," guraunya. Jadi perbaikan yang pertama-tama dan mungkin dijangkau adalah mentalitas -- ini juga yang tersulit. Jauh-jauh hari Polri, DLLAJR dan Dirjen Perhubungan Darat sudah mengadakan tindakan pengamanan preventif dan represif. Untuk sopir bis antarkota misalnya, Polantas sejak beberapa waktu yang lalu mengadakan penataran di beberapa tempat. Sekarang, dicoba meningkatkan mutu ujian SIM melalui klinik pengemudi, yang baru dicoba di Kodak Metro Jaya. Kelak, klinik semacam akan dibuka di seantero kota besar. Lewat klinik ini dilakukan pengujian ulang kemampuan, reaksi dan kesehatan pengemudi. Hasilnya, lihat saja nanti. Di samping itu akan dikembangkan pencatatan terhadap pelanggaran. Jika seorang sopir terlalu sering melakukan pelanggaran SIM-nya bisa dicabut. Sebagai usaha pencegahan, sesudah peristiwa Turangga, Kodak Jawa Barat melakukan razia terhadap bis yang melewati batas kecepatan maksimum (70 km sejam) dan batas maksimum angkutan. Jika kecelakaan disinyalir selalu sering terjadi di suatu tempat, Polantas akan melaporkan ke PU dan Dirjen Perhubungan Darat. Selanjutnya akan diteliti: Apakah keadaan dan suasana jalan perlu diubah atau rambu perlu ditambah. Sanksi hukum, juga sudah ditempuh. Akhir Mei silam, Dayat sopir bis Turangga dijatuhi hukuman 3 tahun penjara potong tahanan. Namun, ada yang berpendapat diperlukan sanksi yang lebih keras, agar pengemudi lain jera. Dari Mabak, Pramudaryono mengatakan, tiap pelanggar peraturan lalu lintas di Jepang menjalani hukuman di sebuah penjara khusus. Hukuman mereka -- antara lain: tiap hari harus mencium batu besar sambil mengucapkan "penyesalan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus