DI dekat candi Prambanan, di pertengahan jalan antarkota
Yogya-Klaten, sebuah kecelakaan terjadi. Seorang pengendara
sepeda, Parto dilanggar mobil. Setelah cuma beberapa saat, Parto
meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Analisa polisi
menunjukkan Parto terjatuh ke tengah jalan sebelum ia dilanggar
mobil. Ia rupanya pingsan ketika sedang menunggang sepeda, dan
sepedanya kemudian oleng. Tak jelas, apakah dia pingsan karena
sakit atau mengantuk.
Yang pasti Parto lelah. Ia salah seorang -- dari sekian puluh
--pedagang bihun (semacam makanan) yang membawa dagangannya
dengan sepeda dari Klaten ke Yogya. Jarak itu kurang lebih 40
kilometer. Konvoi pedagang bersepeda ini berangkat rata-rata
pukul 20.00 malam dari Klaten. Sekitar pukul 2.00 pagi mereka
sampai di Yogya, mendrop dagangannya, kemudian balik lagi ke
Klaten. Malam hari, jalan raya antara Yogya-Klaten senantiasa
ramai dengan konvoi sepeda. Mereka pedagang-pedagang itulah,
bukan anggota "bersepeda santai".
Tak syak, di kota-kota di Jawa Tengah sepeda masih merupakan
kendaraan vital. Tidak hanya di dalam kota, bahkan juga
kendaraan antar kota. Kalau saja di sepeda terdapat alat
pengukur jumlah jarak, sebuah sepeda di Jawa Tengah bisa
menunjukkan angka ratusan ribu kilometer.
Tapi di kota-kota besar, ada kenyataan lain. Sudah sejak lama,
sepeda bukan cuma kendaraan tidak-vital, malah hilang sama
sekali. Di Jakarta umpamanya, di jalan-jalan besar orang
seringkali ragu, apakah sepeda boleh lewat. Kendati tak ada
tanda larangan tak satu pun sepeda nampak. Tapi kalaupun ada
jalan-jalan yang tak boleh dilalui sepeda, polisi pun tak merasa
perlu memasang tanda. Sebab sepedanya memang sudah tak ada.
Jadi, terasa sama anehnya seperti, umpamanya, di sebuah jalan
tiba-tiba nampak ada larangan bagi pengendara kuda atau gajah .
Dari jalan-jalan raya, sepeda lalu terdesak ke
pekarangan-pekarangan rumah. Ukurannya pun berubah menjadi
kecil-kecil. Sepeda dalam bentuk itu dikenal sebagai mainan
anak-anak.
Lalu ramailah anak-anak bersepeda. Hadiah ulang tahun yang
paling diimpi-impikan -- bagi yang berduit tentunya -- adalah
sepeda. Yang kecil mengharapkan sepeda roda tiga, yang besaran
mendapat roda dua -- atau malah roda empat. Bentuknya pun
macam-macam. Yang namanya sepeda mini, tidak selalu berarti:
buat anak kecil. Yang mini itu variasinya, kadang-kadang
body-nya, tapi tak jarang juga rodanya, yang besarnya hampir
sama dengan roda kursi.
Kendati namanya masih sepeda, semuanya berpedal, berjeruji dan
bannya selalu karet, imaji yang dibangun ternyata macam-macam.
Keintiman dan cara manusia memperlakukan tunggangan ini beraneka
ragam. Sepeda di tangan pedagang bihun, menjadi gerobak. Vital
dan terpaksa kekar. Di tangan seorang anak kecil, jadi tak beda
dengan mainan lainnya. Ditarik sana, ditarik sini, didorong,
diseret dan siap dibongkar pasang.
Jadi, sepeda ternyata bisa mengikuti segala macam cuaca.
Bergantung kebutuhan. Dan sampai sekarang masih saja bertahan.
Walaupun populasinya barangkali menurun, tak sampai punah.
Sama-sama exist dengan kendaraan-kendaraan supersonik.
1790 ketika pertama kali sepeda ditemukan, bentuknya tentunya
tak seperti yang sekarang. Terbuat dari kayu, dua rodanya --
muka, belakang -- dihubungkan oleh semacam kudakudaan. Tidak
memakai pedal, penunggang kuda-kudaan itu harus "berlari duduk"
agar tunggangan itu bisa menggelinding. Sesuai dengan
keadaannya, sepeda waktu itu dinamai celerifere atau "kaki
cepat". Hampir mirip dengan keadaan sekarang, sepeda waktu itu
mainan. Tapi yang bermain dengan roda-rodaan itu bukan
anak-anak. Percaya tidak percaya, sepeda kayu itu mainan orang
dewasa. Bangsawan lagi.
Sistem pedal baru ditemukan 1866. Penemunya Lalement. Dan orang
inilah yang pertama kali mendaftarkan sepeda ke lembaga paten
Amerika Serikat. Memang pantas. Badan scleda yang dibuatnya
sudah terbuat dari besi. Bentuknya sudah mirip dengan sepeda
masa kini, cuma rodanya saja masih dari besi.
Di sini masalahnya. Roda-roda besi itu membuat sepeda jadi
berguncang kuat ketika ditunggangi. Karenanya, penunggang
kuda-kudaan besi ini tak ada yang bisa tahan lama. Pelepasannya
memar dan sakit.
Merasa kurang nyaman banyak orang kemudian ikut mencari
bagaimana caranya supaya bisa duduk santai di atas sepeda. John
Dunlop di 1888 akhirnya menemukan jalan keluar. ia menemukan
pipa karet berangin yang kemudian dikenal sebagai ban. Sepeda
jadi makin menarik saja.
Tahun 1896 sebuah harian di masa itu The Detroit Tribune membuat
publikasi besar-besaran tentang sepeda. Laporannya itu diberi
berjudul Penemuan Terbesar Abad ke 79. Memang, disain sepeda
makin lama jadi semakin cantik, dan semakin pas dengan
kebutuhan.
Penemuan berarti yang paling akhir adalah tandem, sepeda beroda
tiga dengan dua pedal pengayuh. Ditemukan oleh dr. John
Hinckley, pada mulanya sebagai pembawa orang sakit, dalam hal
ini dua tandem dipasang berdampingan -- tak bisa disangkal, ini
ambulans.
Juga penggemarnya membludak. The Detroit Tribune mencatat
berbagai pemandangan-pemandangan baru. Dalam waktu hampir
bersamaan muncul patroli polisi bersepeda di Boston,
Philadelphia, Cincinnati, Chicago dan Brooklyn. Bukan cuma
polisi, cowboy-cowboy pun mengganti kudanya dengan sepeda.
Beberapa gambar muncul di The Detrolt Tribune, cowboy bersepeda
dengan tali di sadelnya. Malah menggeret seekor sapi dengan
sepeda.
Kendati sejarah tak mencatat ada revolusi sepeda, tak syak
orang-orang yang hidup di masa itu tiba-tiba merasakan ada
sebuah perubahan yang agak besar-besaran.
Menjelang pergantian abad, demam sepeda makin meng-edan.
Berbagai klub didirikan. Demam sepeda muncul bisa dibayangkan
bagaimana. Dari Amerika Serikat, kemudian merambat ke seluruh
dunia. Di saat itu tampil gagasan beberapa orang untuk keliling
dunia dengan sepeda. Kesenangan ini sampai sekarang masih juga
berlanjut.
Di sekitar tahun 1950-an orangorang dewasa mulai bosan bermain
sepeda-sepedaan. Dari kelompok ini sepeda merosot ke kelompok
remaja. Di masa itu sudah jadi pemandangan umum, para remaja
berpacaran naik sepeda. Sepasang remaja dan sepasang sepeda,
mencari angin di tempat-tempat rekreasi. Asyik juga.
Kemerosotan sepeda ternyata berlangsung terus. Sebabnya karena
muncul demam baru: mobil. Sampai-sampai kaum muda lebih suka
memilih mobil untuk berkencan dan jalan-jalan. Lalu sepeda ke
mana? Tak salah lagi, ke anak kecil. Seperti juga di Indonesia,
sepeda jadi barang mainan.
Tapi itu rupanya bukan nasib sepeda yang paling akhir. Ada
beberapa peristiwa yang mengubah nasib sepeda. Membuat gengsinya
naik lagi, lalu membuat kejutan. Belakangan malah, demam baru.
1955 presiden Amerika Serikat-waktu itu -- Eisenhower kena
serangan jantung. Dr. Paul Dudley White menganjurkan sang
presiden untuk sedikit berolahraga. Anjuran ini semakin lama
jadi semakin populer di Amerika: bersepeda.
Kendati yang dianjurkan seorang presiden negara besar, dan yang
jadi sebab cukup fatal: jantung, orang banyak tak serta merta
percaya dan memeluk sepeda. Dr. P.D. White tak mampu
menggerakkan masyarakat untuk kembali mencintai sepeda. Cuma
dari jarak jauh ia menyiapkan sebuah alasan. Tapi, lumayan.
Yang kemudian betul-betul menentukan nasib sepeda adalah krisis
energi di tahun 1972. Dalam rangka pengiritan bahan bakar, orang
pun melirik ke sepeda. Meninggalkan kekasihnya mobil -- yang
rakus bahan bakar, dan berpaling pada bekas pacar yang sering
pula disebut kereta-angin.
Maka, di seluruh Amerika dan Eropa tiba-tiba sepeda bermunculan
seperti bunga tulip di musim semi. Di Amerika, produksi sepeda
pun meningkat. Antara 1972-1974 kurang lebih 45 juta sepeda
terjual. Jumlah yang sebelum 1972 dicapai dalam waktu 10 tahun.
Sampai tahun 1976 jumlahnya mencapai 100 juta buah. Gengsi
sepeda naik luar biasa. Dipacari dan dibutuhkan banyak orang.
Demam sepeda tiba-tiba muncul lagi. Berbagai klub, organisasi
bangkit. Di Amerika muncul Institut Sepeda yang menerbitkan
buletin Pedal Power yang bertujuan menghimpun pencintapencinta
sepeda di seluruh dunia. Berbagai asesoris baru bagi sepeda
bermunculan di pasaran. Juga kaus tangan, tas punggung,
peralatan bongkar pasang yang praktis, bahkan sepatu khusus.
Berbagai pemerintahan melihat juga pentingnya sepeda
dipopulerkan. Bekas sekretaris departemen dalam negeri AS
Stewart Udall pernah berpidato, "Meningkatkan jumlah sepeda di
jalanan, sepuluh kali lebih penting daripada membangun sarana
transportasi supersonik." Anjurannya dimakan. Negara Bagian
Philadelphia, termasuk salah satu yang paling besar-besaran
menyambut anjuran ini. Tahun lalu negara bagian itu menurunkan
dana sebesar US$ 4,8 juta untuk persepedaan Yang paling unik,
bis dan berbagai kendaraan umum di San Diego dipasangi rak
khusus bagi penumpang-penumpang yang membawa sepeda. Jadi tak
aneh kalau pada bis-bis yang berseliweran di kota itu, nampak
sepeda-sepeda bergelantungan di sisi kiri kanannya. Mendapat
tempat di bis, baru pertama kalinya dalam sejarah sepeda. Di
Amerika tentunya, di Indonesia umpamanya, sudah lama sepeda
dinyatakan boleh naik bis, walaupun sebetulnya tak dianjurkan.
Tapi orang-orang Eropa dan Amerika rupanya tak suka merasa
terpaksa mencintai sepeda. Merasa didesak Arab untuk bersepeda.
Karena itu berbagai alasan dikaji untuk mencari "hakekat
bersepeda". Yang romantik lalu berkata, bersepeda membuat
seseorang jadi lebih dekat dengan bumi dan alam. Bersepeda
adalah manifestasi, seseorang tak bergantung pada orang lain.
Bergerak berdasarkan tenaganya sendiri. Taelah !
Di antara alasan-alasan yang digali, anjuran dr. P.D. White
dianggap paling baik. Bukankah dia hampir 30 tahun lalu
berpendapat, bersepeda sehat bagi tubuh manusia?
Memang bersepeda termasuk berolahraga. Bagusnya, bukan olahraga
khusus. Pergi bekerja dengan sepeda, bisa berarti berolahraga
sekaligus. Juga termasuk olahraga yang baik.
Dalam bersepeda, tubuh manusia berada dalam keadaan aerobik,
distribusi zat asam merata. Berbeda umpamanya dengan angkat besi
dan lari sprint 100 meter. Dalam lari sprint, misalnya, tubuh
bekerja keras dalam waktu sangat singkat. Terjadi "penggumpalan"
zat asam tak sempat merata ke seluruh tubuh.
NAH, begitu di sana, begitu di sini. Di Indonesia demam sepeda
pun bisa ditemukan. Agak pincang memang. Konsepsi "kembali ke
sepeda" tak sepenuhnya benar. Orang-orang Indonesia belum lagi
punya kesempatan meninggalkan kekasihnya yang satu ini. Kakek
Parto bersepeda, ayahnya juga, Parto bahkan meninggal di atas
sepeda.
Tapi di Jakarta dan Bandung, demam sepeda agak kelihatan. Pada
Minggu-Minggu pagi yang cerah, ribuan sepeda berendengan di
jalan-jalan protokol -- sebuah bukti sepeda tak dilarang lewat.
Peserta konvoi ini bukan orang-orang sejenis Parto, tapi
menteri, dirjen, gubernur, pengusaha dan karyawan. Paling kecil
hansip. Dengan tema kesehatan, kebiasaan ini jadi sering
berulang. Supaya menarik barangkali, temanya dibuat macam-macam.
Yang paling terkenal "bersepeda santai". Yang lain
"sepeda-bunga", "jantungsehat" dan kadang-kadang "karnaval
sepeda".
"Sekarang ini, sepeda tak lagi cuma mainan anak-anak," tulis
harian The Straits Times. Barangkali tak salah kalau ditambahi:
juga mainan orang dewasa. Buktinya, lihat saja, dalam acara
"bersepeda santai" berapa banyak orang dewasa yang menunggangi
sepeda mini yang terang mainan anak-anak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini