Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembalinya kapal-kapal perang tua

Modernisasi kapal-kapal perang tua amerika serikat seperti: new jersey, iowa, wisconsin dan missouri mengundang kritik.(sel)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARGARET Thatcher pucat pasi. Seluruh anggota Majelis Rendah Inggris saat itu terpukul. Pada hari Selasa yang naas di awal Mei yang lalu, Menteri Pertahanan John Nott mengumumkan berita duka: tenggelamnya kapal perusak H.M.S. Sheffield di Atlantik Selatan. Kapal berbobot 4100 ton dengan julukan kesayangan 'Sheff yang Cemerlang' itu sedang patroli 70 mil dari Kepulauan Malvinas ketika terperangkap dalam radar Super Etendard, pesawat tempur Argentina. Pilot rupanya tidak membuang kesempatan. Dua Exocet, peluru kendali anti-kapal perang buatan Prancis, ditembakkan. Satu meleset, satunya menghantam kamar kontrol Sheffield sebelum kepalanya meledak. "Telah terjadi pembinasaan," begitu komentar James Salt, sang kapten. Tamat sudah riwayat kapal Inggris yang jaya. Dan itu merupakan pembalasan dari Argentina. Sehari sebelumnya, Inggris berhasil menenggelamkan General Belgrano, kapal penjelajah Argentina yang berbobot 13.645 ton. Rupanya Belgrano sudah beberapa hari dibayang-bayangi kapal selam Inggris H.M.S. Conqueror. Dua torpedo dari tipe Tigerfish menghantam kapal penjelajah itu, dan hanya dalam tempo 40 menit Belgrano lenyap dari radar. Inilah malapetaka paling pahit dalam Perang Malvinas. General Belgrano sendiri tercatat sebagai kapal perang terbesar yang bisa ditenggelamkan sejak Laksamana William Halsey menyerang Kepulauan Jepang tahun 1945. Pelajaran macam apa dapat ditarik dari perang di Atlantik Selatan, terbesar dalam 40 tahun terakhir itu? Benarkah Sheffield dan Belgrano hanya mewakili kejayaan kapal perang yang sudah berakhir? Untuk pertanyaan penting itu ternyata Amerika Serikat menyediakan jawabannya. Satu generasi yang lalu, 'New Jersey' pernah merontokkan 20 pesawat tempur Jepang dan mengkoyak-koyak pantai Okinawa dan Iwojima. Dan kini, kapal tempur 57.000 ton itu bergoyang berderik-derik di kawasan latihan Angkatan Laut AS, beberapa mil dari pantai California -- untuk mengadakan latihan tembak dengan meriam-meriam kaliber berat. Saat itu kapal bergerak dengan kecepatan 15 knot, sementara bendera-bendera sinyal dikibas-kibaskan angin. Geladak harus bersih dari mahluk hidup, karena ledakan meriam 16 inci itu dapat memenggal kepala seseorang yang terlalu dekat dengan moncongnya. Bahkan di anjungan, 32 meter dari meriam terdekat, Kapten William M. Fogarty menyingkir dari kemungkinan pecahnya gendang telinga. 'Telinga Mickey Mouse' adalah sandi yang dipakai hari itu. Tiba-tiba, klakson kapal meraung-raung: "Aung -- aung, aung!", memberi peringatan. Dan meriam-meriam pun mulai bermuntahan. Dari moncongnya melesat bola-bola api merah muda diiringi kepulan asap hitam kental. Kapal tempur berumur 39 tahun itu terlunjak-lunjak. Kemudian terdengar lagi gelegar, dan gedebam-gedebum. "Air laut hangat menyembur ke muka kami," tulis wartawan William H. Hogan yang meliput latihan tembak-tembakan itu untuk The New York Times Magazine. Dan lapisan baja pembungkus cerobong asap compang-camping bagai kain rombeng. Dari bawah terdengar gemerincing kaca pecah. Barang apa pun yang rapuh tidak akan selamat. Meriam-meriam di lambung kanan kapal sudah pula ditembakkan. Dua bongkah baja yang menyala sebesar-besar mobil sedan, membuat 'lubang' di udara. Melesat menjulang setinggi puncak Pegunungan Rocky, benda itu kemudian nyemplung ke laut, menciptakan dua muncratan air berkilauan seakan mengapung di udara, beberapa detik lamanya. Seorang perwira yang bertugas datang melapor: 2 bom yang ditembakkan tepat mengenai sasaran. Lalu perintah menembak serentak dan beruntun pun diberikan, dan kesembilan meriam New Jersey menyalak-nyalak mengirimkan rentetan anak peluru seberat 16 ton per menit. Kemudian, seperti anda saksikan di film-film perang: laut bagai diaduk dan dituangi gincu merah jambu. Kemampuan New Jersey itu dianggap wartawan Honan ajaib. Yaitu dalam hal 'menghukum' dan bertarung, memuntahkan peluru dengan "beban dan bobot yang paling besar dalam kecepatan yang paling tinggi." Inilah, katanya, yang membuat kapal itu "ratu samudra sampai dengan pertengahan Perang Dunia II." Toh kemampuan kapal-kapal tua macam New Jersey kadang diragukan orang -- malah ditolak. Tapi keberatan ini dapat tanggapan dari Laksamana I Lord John (Jackie) Fisher, anggota staf Mabal Inggris, yang sering dianggap sebagai bapak kapal tempur modern. "Jika anda dihina di meja makan," katanya, "jangan lemparkan prop (penutup) botol anggur ke arah si penghina. Lemparkan botolnya sekalian! " Ternyata Jackie Fisher ini menyukai New Jersey. "Dan ia dapat melemparkan meja makan," kata Honan berolok-olok. Ya, botol anggur dan meja makan. "Tapi kini tahun ke-37 abad nuklir" masih wartawan kita yang memberi komentar, "era satelit pembunuh dan kapal selam nuklir." Akankah kapal perang menjadi raksasa lumpuh (seperti) di Pearl Harbour, dan menjadi ketinggalan zaman dibanding kapal pengangkut pesawat udara alias kapal induk? Tahun lalu, ketika Congress menyetujui rencana Presiden Reagan untuk "mempersenjatai kembali Amerika" -- termasuk pembiayaan pesawat pengebom B-1 dan peluru kendali MX -- ke dalamnya terhitung juga pengeluaran US$ 325 juta bagi peningkatan New Jersey dan kapal sejenisnya towa. Akhirnya, dua kapal sejenis lainnya, Wisconsin dan Missouri (yang terakhir itu dipakai sebagai tempat penandatanganan bertekuk lututnya Jepang, 1945), juga akan bergabung dalam armada kapal tua itu dengan biaya yang diancang-ancang sebesar US$ 1,5 juta sampai US$ 3,5 juta. KAPAL New Jersey sendirii tampaknya sudah melampaui tahap pentingnya, melalui 'pesta kembang api' yang gempita itu. Bersama dengan itu kapal Admiral William (Bull) Halsey -- yang pernah menjadi kapal-bendera dalam Perang Dunia II --diluncurkan dari galangannya di West Coast. Iowa akan mengalami modernisasi akhir tahun ini -- tapi akan tetap dipertahankan bak mandi segi empat di dalamnya, yang dulu dibangun Presiden Franklin D. Roosevelt ketika ia berlayar ke Casablanca untuk kemudian hadir dalam Konperensi Teheran -- 1943. Iowa dipersenjatai baik dengan peluru-peluru kendali defentif maupun ofensif, sebagai tambahan untuk meriam-meriam 16 inci yang telah dipunyainya. Pengaktifan kembali kapal-kapal tua memang sedang terjadi dan itu telah melahirkan sejumlah tanggapan, menurut Honan yang editor Seni dan Hiburan The Times. "Kayak mengaktifkan kembali kavaleri berkuda," ujar Senator Dale Bumpers dari Partai Demokrat Arkansas. "Aneh," kata Norman Polmar, bekas editor AS untuk buku Jane's Fighting Ships dan bekas pejabat Jawatan Angkutan Laut terkemuka. Ia beranggapan, kekuatan laut yang memerlukan 1.800 awak dengan keahlian yang kurang tidak akan membawa manfaat. Direkrutnya kembali kereta-kereta perang tua itu telah menjadikannya bahan olok-olok. "Memodernisasikannya?" tanya seorang anggota muda staf Pentagon. "O, tentu. Dengan membuang jauh-jauh semua pengayuhnya." Itu tentu cuma ejekan setua-tuanya kapal perang dari Perang Dunia II tak ada yang berasal dari zaman Romawi purba. Kendati banyak datang kritik, para pendukung kapal-kapal tua itu berjaya juga akhirnya. "Meskipun tantangan datang dengan gemuruh, misalnya dari Senator Partai Republik Alaska, Ted Stevens, hendaknya diketahui program itu telah berhasil lolos dari para penggunting anggaran belanja Congress kata Honan yang sering menulis masalah-masalah bahari itu. Kisah bagaimana kapal-kapal perang membuat comeback-nya yang dramatis adalah cerminan adanya perubahan berarti dalam masyarakat Amerika, katanya pula. "Sudah ada pengakuan di kalangan militer," ia menulis, "bahwa kekuatan udara bukanlah senjata menentukan dalam medan-medan tempur." Dan ini "pada gilirannya telah menimbulkan debat antara kubu kekuatan udara dan kekuatan laut yang berkepanjangan." Itu yang pertama. Yang kedua, didudukinya Kedubes AS di Iran oleh pengikut Komeini, dan invasi Soviet di Afganistan, memaksa AS bersiap menghadapi tumbuhnya konflik di negeri-negeri ketiga yang lain pada masa-masa mendatang. Ketiga, modernisasi keempat kapal tua tadi, dengan mempersenjatai mereka dengan peluru-peluru kendali sophisticated, dapat menambah dengan segera jumlah kapal-kapal utama dalam jajaran AL-AS. Ini secara mencengangkan menyebarluaskan perubahan pemikiran terhadap strategi perang semesta dunia. Lebih jauh masalah ini akan tetap menjadi biang sengketa dan persaingan antara instansi -- sebelum diterima secara layak di kongres. "Bagaimana kapal-kapal perang dapat dihargai sebagai dinosaurus?" tanya Honan. Hampir segera sesudah kapal-kapal bercerobong besi mendominasi samudra --diikuti duel seru kapal Monitor d an Merrimeck bulan Maret 1862 -- para pengkritik menganggap torpedo-torpedo mampu segera menyudahi kesimarajalelaannya. Benar saja -- dan Jepang yang melakukannya. Pertama di Sungai Yalu, 1894, dan kedua di Port Arthur 1904, torpedo-torpedo Jepang itu berhasil melumpuhkan kedua raksasa Cina dan Rusia. Dalam masa Perang Dunia I, kapal-kapal selam (U-boat) Jerman menciptakan kemenangan yang mengesankan terhadap kapal-kapal apung Inggris dan Amerika. Dan pada gilirannya kapal-kapal apung itu mencoba membikin semacam tameng (blister) pada tubuh luarnya, semacam lapisan yang mampu 'mencairkan' serangan torpedo dari bawah permukaan air. Juga 'konstruksi sarang madu', yang diharapkan mampu membendung kebocoran melalui dinding kapal yang ditembus torpedo. Di samping itu dikembangkan pula teknik pelacakan kapal selam. Tapi dalam periode antara dua perang dunia, kapal perang menghadapi musuh baru: pesawat udara. Malah beberapa penganalisa, termasuk Brigjen Billy Mitchell, perintis penerbang militer ternama, mengemukakan bahwa "kapal-kapal perang adalah benda masa silam". Untuk membuktikannya Mitchell mengumumkan nama serangkaian kapal perang yang dibom dan mengalami kerusakan, bahkan tenggelam, oleh serangan udara. Ia menyebut kapal perang Osrfriesland milik Jerman, kemudian juga kapal tua Virginia serta New Jersey, keduanya milik AS. New Jersey inilah yang menjadi pendahulu New Jersey yang kita kenal belakangan. Di hari-hari pertama Perang Dunia II, sukses cemerlang pesawat torpedo Inggris Swordfish terhadap kapal-kapal perang Italia di Taranto, dan berjayanya pesawat tempur Jepang terhadap kapal-kapal perang AS di Pearl Harbour, tampaknya mengesahkan segala yang telah dikhotbahkan oleh Billy Mitchell itu. "Tapi di pihak lain justru kapal-kapal peranglah yang berjaya dalam pertempuran di Kepulauan Santa Cruz tahun 1942," tulis Honan. "Misalnya kapal perang South Dakota, dengan meriam-meriam anti-serangan udaranya, yang berhasil merontokkan 26 pesawat tempur Jepang." Perselisihan pendapat tampaknya akan selesai akhirnya dengan terjadinya apa yang disebut 'Pertempuran Tengah Hari' (The Battle of Midday), Juni 1942. Ini adalah pertempuran pertama dalam sejarah, yang masing-masing armada, atau lebih tepat, meriam-meriamnya, tidak saling gempur. "Pukulan-pukulan menentukan justru diberikan oleh pesawat-pesawat tempur -- yang (hanya) berpangkalan di kapal-kapal perang," kata Honan. Pertempuran tengah hari itu, katanya lebih jauh, menunjukkan hal yang jelas: bukan apakah pesawat terbang dapat saling melumpuhkan kapal perang, tapi sebaliknya: senjata mana yang berjaya mencapai jarak tembak yang terjauh. "Jarak tembak meriam kapal terbatas pada 23 mil, sementara pesawat pengangkut udara mampu mencapai berlipat-lipat lebih dari itu." Kapal perang memang memiliki beberapa keuntungan dalam situasi taktis tertentu. Tapi perang laut di Pasifik -- dan semua perang laut yang dapat diramalkan sebelumnya -- dapat diselesaikan oleh pengangkut pesawat udara. Itu pendapat Honan. Setelah pertempuran tengah hari itu, kapal-kapal yang sedang dirakit buru-buru diubah menjadi kapal pengangkut udara. Sedang kapal-kapal perang yang ada, "dengan cara menghina dipakai sebagai kapal minyak," kata Honan. Juga dipakai sebagai kapal taksi bagi para laksamana, di samping untuk pengeboman pantai. Misalnya kapal Iowa dkk, yang dengan meriam-meriamnya pernah jadi penggempur pantai selama Perang Korea. Pada 1958, Wisconsin dan Iowa-kapal-kapal tempur ukuran dunia yang masih aktif saat itu -- dinonaktifkan. New Jersey sebaliknya bangun dari lelapnya pada 1968 untuk bertugas di Vietnam. Di Vietnam, meriam-meriam 16 incinya memuntahkan 5.688 peluru -- ketimbang 771 buah dalam seluruh masa dinasnya dalam Perang Dunia II. Para pengkritik kapal perang memang berucap, "peluru-peluru itu hanya mampu membunuh "pasti" 113 musuh, sedang yang 74 hanya "kemungkinan" mati." Tapi para pendukungnya ganti menunjuk pada serdadu-serdadu musuh yang terpaksa hengkang dari wilayah yang jadi sasaran bombardemen New Jersey itu. Kemudian tiba masa istirahatnya. Setelah 4 bulan alih tugas, New Jersey dikirim pulang. Ia dibiarkan menginap di dalam kepompong fibreglass di gudang kapal-kapal AL-AS di Bremengton, Washington. Dari waktu ke waktu seseorang di Hankam memang dapat saja merancang pengaktifan kembali kapal perang. Tapi "gagasan itu tak ayal dianggap tidak praktis," tulis Honan. "Masa jaya kapal perang telah lewat." Agaknya. *** Musim semi 1978. Charles Myers Jr. -- botak dan kocak -- adalah bekas penerbang pesawat tempur dan penerbang uji coba di awal 1950-an. Suatu hari di tahun itu ia terbang ke Wilmington, N.C., untuk mengunjungi North Corolina, sebuah kapal perang yang sudah dijadikan museum terapung. Berjam-jam ia menggelandang di sana, dari geladak sampai ke kamar mesin, bahkan kakus. "Apa yang membuat begitu tertariknya spesialis dalam taktik ilmu penerbangan ini untuk berada di tengah para pendekar Perang Dunia?" tanya Honan. Ternyata, menurut dia, Myers mulai percaya bahwa kapal perang mampu memainkan peranan vital dalam berbagai jenis perang yang mungkin diakukan AS dalam tahun-tahun mendatang. "Keyakinan itu menjadikannya seorang pelopor penggunaan kembali kapal perang," komentar wartawan yang sama. Seperti umumnya udarawan dari generasinya, Myers mulai yakin, kekuatan udara hanya akan unggul jika didukung secara nyata oleh kekuatan di laut. MYERS masuk dinas AU pada hari ulang tahunnya yang ke-18, pada 1943. Menerbangkan B-25 di gelanggang perang Pasifik, ia berkali-kali menyerang iring-iringan kapal Jepang. "Hal yang selalu mengesankan saya," katanya, "adalah betapa mudahnya kapal-kapal apung itu diserang. Kami selalu menenggelamkan kapal-kapal yang berhasil kami kerjai." Pada 1951 Myers dipindahkan ke AL dan menerbangkan Grunman Panther F9F2, pesawat tempur jet pertama, dari geladak kapal pengangkut Bon Home Richard yang beroperasi di sekitar pantai timur Korea. "Ketika di sana," katanya, "saya mulai ragu-ragu akan cara-cara pelaksanaan taktik penerbangan kita. Kita tetap diperintahkan menyerang sasaran-sasaran yang mati-matian dipertahankan, hingga kita kehilangan banyak kawan yang jempolan. Saya sendiri berkali-kali diperintahkan menyerang tambang-tambang penting Sindok, Korea Utara. Kalau sasaran-sasaran itu memang harus dihancurkan semuanya, saya kira banyak cara lain yang lebih baik dapat ditempuh." Dari medan Perang Korea, Myers kemudian kembali ke Amerika untuk menjadi penerbang uji coba di AL. 1973 ia masuk Pentagon, sebagai spesialis taktik perang udara. Dan di sanalah ia pertama kali mengembangkan kontak-kontak, dan apa yang disebut Honan sebagai 'ketulian politik', dalam usahanya mempertahankan penggunaan kapal perang. Ia terlibat, umpamanya, dalam debat Pentagon tentang Stealth -- program yang bermaksud memperkecil kemampuan musuh melacak kekuatan udara AS dan peralatan tempur lain. "Mulanya", menurut Honan, "mayoritas menghendaki dilanjutkannya pembangunan sejumlah besar kekuatan udara, yang direncanakan melakukan penyerbuan terhadap pertahanan musuh." "Myers adalah salah seorang pemimpin mereka," tulis Honan pula. "Mereka berpendapat ada gunanya mengorbankan daya muatnya jika kekuatan udara dapat dibuat tidak terlacaki -- dan ternyata pendangannya itu yang menang." Myers meninggalkan Pentagon pada 1978 dan bekerja sebagai konsultan partikelir, yang mengkhususkan diri dalam apa yang disebutnya "Pengembangan secara konsep senjata-senjata taktis. "Ternyata bejibun banyaknya konsultan bidang pertahanan yang berpraktek di Washington. Mereka adalah para jenderal dan laksamana pensiunan yang memperdagangkan kontak-kontak pribadinya dengan berbagai instansi tertentu. Termasuk juga konsultan ahli fisika dan insinyur yang menjual barang dagangan yang kurang lazim diperdagangkan secara bebas: radar atau optik-elektro. Salah satu studi yang dilakukannya adalah analisa tentang AL. "Mulanya," katanya, "saya menemui kesukaran untuk mengerti nilai AL 'di atas air'. Memang benar saya sudah memahaminya sejak 1941. Tapi ketika perang menjadi global --menjadi perang-darat antara NATO lawan Pakta Warsawa -- hal itu menjadi kabur kembali." "Apa yang akhirnya saya ketahui," katanya lebih jauh, "ialah ketika kita semua lebih khawatir akan konflik di dunia ketiga, fungsi nonnuklir yang teramat penting dari Departemen AL -- termasuk Korp Marine -- adalah kemampuan melakukan terobosan ke daerah musuh." Departemen AL, menurut Myers, diperlengkapi kemampuan untuk mengangkut pasukan, menyebarkannya, memberikan logistik dan perlengkapan anti-kebakaran, dan kemudian mengembalikannya ke induk pasukan. "Tidak ada satu instansi kemiliteran yang berada di bawah satu komando memiliki kemampuan itu," kata Myers. AL seperti yang diandalkan Myers itu memang ada kurangnya -- sesuatu yang dianggapnya perlu, justru: daya terobosnya. "Kita tidak memiliki pangkalan yang berdaya tembak kuat untuk mendukung pasukan yang melakukan terobosan ke daerah-daerah musuh," kata Myers. "Saya agak khawatir mengenai hal itu. Banyak orang beranggapan hal itu dapat dilakukan oleh penerbangan taktis. Tahu kan, itu kan memang mainan saya. Saya tahu apa yang mungkin dikerjakan dengannya, tapi juga tahu semua keterbatasannya. Gampang dikenai, mudah diganggu cuaca, dan tidak kontinyu. Ketika dibutuhkan di medan tempur, bantuannya harus siap secara kontinyu, tidak hanya kadang-kadang." "Hal paling besar yang saya dapatkan dari studi itu," masih Myers yang bicara, "adalah sumbangan berharga dari meriam-meriam kapal perang dari sejumlah operasi militer yang sukses, yang pernah dilakukan negeri ini (AS)." Dalam pendaratan di Salerno, Italia, pada bulan September 1943, ia memberi contoh, 100 tank Jerman dalam siap tempur menunggu di pantai. Kekuatan udara (5 kapal induk berikut 3700 pesawat tempur) terbang dari Sisilia untuk mendukung pendaraan -- "tapi mereka tidak mampu menangkis tank-tank itu." Pimpinan pasukan Jerman, Marsekal Kesselring, belakangan mengatakan bahwa tembakan-tembakan meriam AL Sekutulah yang akhirnya memaksanya memerintahkan tank-tank itu ditarik mundur. Myers buru-buru menyimpulkan bahwa "jika pangkalan tembak itu yang dibutuhkan AL, kapal-kapal peranglah jawabannya." Ia mengemukakan pendapatnya itu dalam makan siang di restoran Portofino dengan Charles Haskell. Jawaban kuncinya adalah apakah Iowa dan rekan-rekannya memang cocok untuk penugasan kembali itu. Haskell lalu memperkenalkan Myers kepada Laksamana J. Edward Snyder, nakoda yang membawa New Jersey ke Vietnam pada 1968. "New Jersey," kata Laksamana Snyder, "bukanlah keranjang besi karatan. Ia dibuat dari baja campur nikel bermutu tinggi dan tak gampang berkarat." Myers selanjutnya berbicara dengan Kapten Robert C. Penniston -- nakoda New Jersey terakhir -- yang memimpin pelaksanaan penonaktifan kapal induk tersebut. "Kapten Penniston menyatakan ia (New Jersey) cukup 'fit' untuk bertugas kembali," menurut Honan. 'Hidup' kapal, katanya, ditentukan oleh masa tugas aktifnya, bukan oleh usianya. Dan New Jersey baru dipergunakan selama 13 tahun, dari masa-masa kelayakannya yang 30 tahun. Lebih jauh, Myers menyimpulkan bahwa kapal-kapal perang punya nilai yang relatif. AL dapat mengaktifkan kembali kapal perang ukuran 57.500 ton yang biayanya sama untuk membuat sebuah fregat baru ukuran 3.000 ton, atau kira-kira satu lusin pesawat baru. Kini pasti sudah: Iowa dan kawan-kawan akan -- dan dapat -- diaktifkan kembali, kesimpulan Myers maju selangkah lagi. Dan lobbying di kalangan Congress pun dilakukannya -- sambil mengkampanyekan dana untuk maksud pengaktifan kembali kapal-kapal perang itu. Myers mengakui, bahwa ia dimotivasikan oleh harapan memperoleh keuntungan --bagi dirinya atau klin perusahaannya. Dan matanya yang jeli terhadap bidang hankam ini tak meragukan lagi. Ia mengaku pula bertindak bukan atas dasar keyakinan -- kendati ia tahu bahwa itikad pribadi konsultan dan kepentingan komersial klinnya seringkali berjalan seiring. Misalnya, salah seorang klinnya, Martin Marietta yang mau menjual sistem peluncur kendalinya. Tapi Myers berujar: "Itu baru kira-kira, dan bagaimanapun juga, jumlah dollarnya tidak berarti." Myers menggambarkan keterlibatannya sebagai hasil lumrah dari karyanya yang lumrah -- mengembangkan gagasan-gagasan hankamnas dan upaya untuk melihat realisasinya. "Secara profesional, itu lebih baik bagi saya," katanya, "jika saya dapat menguji pendapat atau gagasan saya dengan mencoba menjajakannya." "Keputusan tentang anggaran belanja pertahanan adalah hal yang paling dipolitisasi," tulis Honan lebih jauh, "dan Congress seringkali tidak berbuat apa-apa." Usul-usul baru mula-mula diperiksa oleh para staf ahli, baik dari Komisi AB Senat maupun dari DPR. Setelah melalui pengamatan pemimpin-pemimpin militer dan spesialis sipil, kata akhirnya datang dari "para pedagang-sapi yang tak punya malu," tuding Honan terang-terangan. Penulis masalah-masalah AL ini bukannya tak memberi contoh soal. Disebutnya seorang senator dari Connecticut terang-terangan menyetujui penambahan kapal-kapal selam baru "karena itu bikinan Electric Boat Company dari Groton, Connecticut." Tapi dukungan itu ternyata ada udang di balik karang." Ia juga menyokong dikeluarkannya dana bagi pembuatan pengebom-pengebom tempur bikinan perusahaan milik koleganya dari Texas -- sebagai imbalan dukungan si Texas terhadap pengeluaran dana bagi pembuatan kapal-kapal selam baru tadi." Dukung-mendukung yang komersial juga ini. Tentu saja, hampir semua anggota Congress setuju dengan ampuhnya hankamrata. "Tapi mereka tidak dapat mengendalikan nafsu serakah para pendukungnya dan selalu menyokong dikeluarkannya dana bagi pembikinan senjata-senjata yang (bahkan menurut petinggi-petinggi berbaju seragam sendiri) tidak dibutuhkan?" Usaha keras untuk penambahan persenjataan baru dengan mengorbankan dana untuk pemeliharaan, reparasi dan latihan ternyata banyak membangkitkan amarah para profesional. Myers faham benar akan hasil kerja Congress -- dan ia tahu bahwa perjuangan untuk pengaktifan kembali kapal-kapal perang bukan hal gampang. Namun Myers juga tahu jumlah ancer-ancer dari sementara anggota Congress. Yaitu hanya 4 kapal. Dan ini tidak dapat dibandingkan dengan yang diperoleh perusahaan Chrysler untuk order 7.000 tank, atau penerimaan General Dynamic sebesar US$ 40 milyar untuk kontrak pembuatan pesawat-pesawat tempur F-16 yang baru. LEBIH jauh lagi, Myers tahu pula bahwa perusahaan-perusahaan besar perkapalan dapat mempengaruhi pemungutan suara Congress -- yang celakanya menentang dirinya. "Mengapa membuang-buang uang untuk kapal-kapal tua itu?" demikian tentu keberatan itu dikemukakan. "Tengok kapal-kapal baru yang anda sekalian dapat beli," (dan kami dapat jual). Dan bagi Myers, ini juga menjadi barang dagangan yang harus dijajakannya ke mana-mana. "Pengaktifan kembali kapal-kapal perang kalas Iowa: Dasar Anjuran", adalah nama proposalnya yang setebal 50 halaman. 50 sampai 60 kopi proposal itu dibagi-bagikannya kepada para anggota Congress, para ahli kalangan angkatan bersenjata dan petinggi-petinggi hankam. Ternyata proposal Myers mendapat dukungannya di kalangan staf yang berpengaruh. Russel D. Hale, bekas penerbang seperti Myers dan kemudian anggota staf senior sub-komisi angkatan laut DPR, mengirim sejumlah kopi proposal yang berupa laporan itu kepada beberapa anggota kuat Congress -- disertai pernyataan dukungannya. Di antaranya juga: W. Graham Clayton Jr., kemudian Menteri AL. "Tapi AL yang berseragam tidak tertarik," tulis Honan selanjutnya. Keengganan akan kapal-kapal perang rupanya bukan barang baru bagi mereka ini. Pada 1966, Laksamana David L. McDonald, kemudian Komandan Operasi AL, dengan ngotot menolak diaktifkannya kembali New Jersey untuk beroperasi di Vietnam. Penganjur utama pengaktifan kembali pada saat itu adalah Senator Richard B. Russel, ketua komisi AB di Senat. Ia pemercaya besar terhadap kapal-kapal perang. Untuk menghindari heboh publik, Pemerintah dan Senator Russ menunggu sampai tiba hari pemensiunan McDonald -- setelah itu barulah diumumkan bahwa New Jersey akan bergabung dalam armada. Dan begitu kapal perang itu kembali dari Vietnam, AL segera menambal lubang bocor pada dinding kapal di bawah air pada saat Senat lagi reses. "Itu dilakukan," menurut Honan, "untuk membuktikan bahwa New Jersey tidak dapat bertugas tanpa masuk dok duu, sekurangnya 120 hari. Dan ini memberikan peluang bagi AL untuk mengerahkan oposisi Congress terhadap tindakan Senator Russel apa pun bagi pengoperasian kembali kapal itu." Apa yang membuat banyak orang AL berpaling dari kapal-kapal perang? Pertama-tama: di akhir 1960-an, AL memutuskan mengistirahatkan kapal-kapal karena menciutnya anggaran -- dan dalam keadaan demikian para laksamana tidak ingin kehilangan sebuah pesawat angkutan udara pun. Bahkan pada 1980, ketika AL tak perlu risau dengan anggaran belanja, Laksamana Thomas B. Hayward, Komandan Operasi AL, ragu-ragu menyuruh pulang Iowa dan kawan-kawan -- karena takut dapat menyerimpung pengaktifan kembali pesawat angkut udara Oriskany. Persaingan intern ternyata berperan bagi perubahan sikap AL terhadap kapal-kapal perang. "Tidak berkembangnya teknik persenjataan meriam AL dalam 20 tahun terakhir adalah suatu tragedi," kata seorang perwira yang banyak pengalaman di Washington. "Dahulu, ketika meriam-meriam AL dipergunakan menghadapi kapal-kapal musuh, AL mendukung sepenuhnya. Tapi kini, meriam-meriam itu hanya digunakan untuk pengeboman pantai, 'pemberi nafkah' itu (AL) bukan lagi 'pewaris'nya." "Anda tidak mendengar lagi," kata perwira yang sama," ucapan AL bahwa kita harus menolong kalian, sobat-sobat, di AD dan di Korp Marinir. AL menganggapnya itu memerlukan penawaran lain yang harus dipersaingkan, seperti halnya juga terhadap penerbangan pengangkutan, kapal selam, dan sebagainya." Mereka memang berbeda pendapat sesama rekan sendiri: jika ada laksamana setuju dipakainya kembali kapal perang, yang sedang berada di Departemen AL bilang tidak. Pada awal kampanyenya, Myers makan siang bersama dua pensiunan perwira Marinir di restoran Portofino. Dan dengan rekomendasi tangguh mereka berdua, Myers berhasil bikin janji temu dengan Jenderal Robert H. Barrow, orang Lousiania yang pernah jadi komandan di Marinir. Dan ternyata Barrow menjadi pendukung terang-terangan penggunaan kembali kapal perang. Pada dengar pendapat Congress, Februari 1980, umpamanya, ia diminta memberikan komentar terhadap penjelasan Menteri Hankam. Menteri berkata bahwa kuatan udara adalah pengganti yang cukup memadai bagi meriam-meriam AL -- yang dengannya sebuah kapal perang dapat membantu pendaratan marinir. Barrow ternyata bertentangan dengan boss-nya. "Tidak tuan, saya tidak setuju," katanya. "Hanya sejumlah kekuatan udara kita yang mempunyai kemampuan di segala cuaca . . . Jika kita memasang SAM (peluru kendali antipesawat terbang) yang lebib besar, umpamanya, kita harus meperkecil risiko terhadap pesawat-pesaat kita -- dengan pembebanan sasaran yang lebih besar kepada meriam-meriam AL." Kini Jenderal Barrow mengurangi peranannya dalam kampanye itu. "Pemeran utamanya," katanya, "adalah Chuck Myers. Ia tidak pernah mundur." Didudukinya Kedubes AS di Iran pada 1979 dan invasi Soviet di Afganistan satu bulan kemudian memberikan bobot tak terduga terhadap kapal perang. Kedua peristiwa itu mendorong banyaky7nkee bernostalgia pada: suatu masa di awal abad ini ketika bangsa-bangsa di dunia menaruh lebih banyak hormat kepada kekuatan negeri ini (AS) -- serta takut akan amarahnya. "Iran dan Afganistan juga sudah mereka-reka sebelumnya bahwa kapal selam nuklir maupun peluru kendali MX tidaklah menjadi senjata pengganti yang sesuai untuk menghadapi kekuatan konvensional yang tangguh, dalam usaha melindungi kepentingan AS di dunia ketiga." Komentar panjang ini datangnya dari Honan. Dalam iklim yang demikian, Congress secara luas ternyata dapat menerima kehadiran berbagai proyek militer, dan secara khusus dirasakan manfaatnya kapal-kapal perang itu. Di sinilah perlambang hari-hari Amerika hampir mutlak tak tertandingi di dunia. Terlebih-lebih lagi, dengan keperkasaan yang mencuat, kapal perang jelas alat yang sempurna untuk mematikan teror terhadap pemimpin-pemimpin negara-negara kecil -- yang mau menyepelekan AS. Dengan sedikit mujur, intisari laporan Myers tentang usul pemanfaatan kembali kapal-kapal perang muncul juga dalam laporan Institut Angkatan Laut AS, November 1979. Itu beberapa hari setelah Kedubes AS di Teheran diduduki demonstran pro-Khomeini. "Myers menerima berlusin-lusin surat penuh kegairahan. Beberapa di antaranya dari anggota Congress, lainnya dari orang-orang hankam, yang tidak dihubunginya dalam kampanye putaran pertamanya." Dan mendadak, fokus baru tentang perang terbatas dan persenjataan konvensional, tampil kembali ke permukaan. Bagai gituan ngambang. 'Perang suci' untuk pemakaian kembali kapal-kapal perang tua, tampaknya sudah dapat angin buritan. Dalam musim semi 1980, untuk pertama kali, Rancangan UU pembiayaan pengaktifan kapal-kapal perang itu -- bersama-sama dana buat pengebom B-1 -- muncul di hadapan yang dipertuan anggota Congress. US$ 6,2, milyar yang diajukan sebagai tambhan anggaran pertahanan itu berhasl lolos dari DPR dan diajukan ke Komisi AB Senat. Tapi "Presiden Carter menentang RUU itu," kata Honan. Proposal Myers itu berada dalam urutan paling atas dari daftar serangan Carter seperti yang ditulisnya dalam suratnya kepada John Stennis, ketua komisi AB tesebut. Itu "tidaklah efisien," tulisnya, "menggunakan beratus-ratus juta dollar untuk menghidupkan kembali teknologi tahun 1940-an." Sang Presiden didorong pula oleh kenyataan bahwa setelah invasi Soviet di Afganistan, ia telah merevisi anggaran belanja militer. Anggaran "yang terbesar dalam sejarah masa damai, dan ia tidak berselera terhadap tambahan pengeluaran." Mei 1980, Komisi AB menolak otorisasi tambahan itu -- dengan kekurangan dukungan tiga suara. "Kami kalah," Myers mengaku, "karena yang kita hadapi Presiden." Dan sang Presiden menganggap kapal-kapal perang sebagai "teknologi 1940-an". Ini mempunyai efek yang menentukan. "Itu melukai kami," kata Myers. * * * TAPI usul tentang kapal perang tidak akan berhenti," Honan menyimpulkan dalam lanjutan karangannya. "Anjuran baru yang lebih tangguh akan tumbuh." Di antara orang-orang yang telah berhasil dicekokinya adalah seorang ilmuwan hankam bernama John Lehman, 38 tahun ketua komisi hankam Partai Repubik. Ia adalah orang yang dipersiapkan menjadi Kepala Staf AL dalam pemerintahan Ronald Reagan. Lehman -- seperti perwira penerbang AL lainnya -- pertama kali dikasak-kusuki soal pengaktifan kembali kapal perang pada 1973 -- ketika New Jersey diusulkan berpatroli di Zona Demiliterisasi Vietnam. Tapi rencana pengaktifan kembali kapal perang Myers itu dirasakan Lehman "sangat memaksakan" atau berkelebihan -- dalam hal penambahan peluru kendali Tomahawk sebagai perlengkapan persenjataan kapal. Peluru-peluru kendali itu, dengan jarak capai ke sasuan 1.500 mir, mampu menjadikan kapal perang itu salah satu kapal berpotensi besar -- itu menurut Lehman. Dan tidak seperti pesawat angkut udara, yang membutuhkan 8 tahun masa pembuatannya. Sedangkan empat kapal perang itu hanya memerlukan 4 tahun pemugaran untuk mengaktifkannya kembali. Waktu relatif singkat ini memperkuat pertahanan negeri itu, dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh, sementara tim Reagan dapat memanen hasilnya. Pengaktifan kembali lebih murah dibandingkan dengan pembangunan kapal-kapal baru. Desember 1980, Lehman dan Richard V. Allen -- yang segera menjadi penasihat keamanan nasional Gedung Putih -- bersama-sama mengusulkan pengaktifan kembali Iowa dkk kepada Presiden terpilih Reagan dalam pertemuan di Blir House. Tuan Reagan "sangat antusias", menurut Lehman -- dan ini menuju ke arah rencana dimasukkannya New Jersey dan Iowa dalam rencana anggaran belanja pertahanan tahun fiskal 1982 ini. Dalam musim semi 1981, Congress menyediakan US$237 juta untuk New Jersey. Pengajuan dana untuk memperlengkapi kapal perang kedua, Iowa, masuk ke Congress akhir November. "Tapi usul itu membangkitkan perdebatan yang panasnya luar biasa," kata Honan, selama kalangan penerbangan AL lainnya tetap berperanan memanas-manasi keadaan. Senator Bumpers suatu saat sempat mengejek. "Jika meriam-meriam 16 inci begitu hebatnya," katanya, "mengapa tidak dipasang di sebuah kapal satu di antaranya pada 35 tahun lalu?" Senator Jeremiah A. Denton Jr., dari Partai Republik Alabama, yang bangkit menjawab. Seperti yang rekannya tahu benar, Denton pernah ditembak jatuh di atas Vietnam Utara pada 1965 dan ditahan di "Hanoi Hilton" -- tak syak lagi julukan untuk penjara komunis di sana -- selama 7% tahun. Sebagian besar pendengarnya mengira ia sebagai bekas penerbang tentu akan melecehkan kegunaan kapal-kapal perang. Ternyata pembelaannya panjang lebar. "Saya tahu tanggapan rekan Senator yang terhormat itu diberikan dengan tulus hati, dan dengan tulus hati pula saya ingin menjawab," Senator Denton memulai. "Di Vietnam, kita kehilangan beratus-ratus pesawat dengan korban jiwa yang besar, seperti juga dollarnya, yang mungkin dapat diselamatkan jika kapal-kapal perang ada di sana. Sebuah kapal perang telah menghancurkan jembatan Thanh Hoa, yang sedang saya bom ketika tiba-tiba saya ditembak jatuh. Kita kehilangan lima pesawat dalam satu hari hanya pada satu sasaran itu. Perlu saya tekankan, bahwa jembatan Thanh Hoa berada hanya 12 mil ke pedalaman --suatu jarak dengan enaknya dapat dicapai oleh meriam 16 inci yang dapat dipasang pada kapal-kapal semacam Iowa. Ini alasan tambahan untuk mendukung penggunaan kapal-kapal perang dan puji Tuhan, AL sedang mengusahakan pengaktifan kapal-kapal semacam itu." Demikian Denton. Tanggapan Senator Denton meluas dengan cepatnya ke sekitar Bukit Capitol. Sejumlah rekan-rekan Denton berkata padanya: mereka telah mengubah pikirannya. Beberapa hari kemudian, rencana anggaran pertahanan untuk pengaktifan kembali kapal-kapal perang -- yang masa depannya tak menentu itu -- mencapai perbandingan suara 51 : 29. Myers dan sobat lama AL-nya, Charles Haskell, bergembira. Dan ketika mereka membaca bahwa Kapten Fogarty, komandan skuadron kapal perusak, oleh AL telah diangkat sebagai nakoda New Jersey, mereka menemuinya dan mengajaknya makan siang. Tentu di restoran Portofino, ketika semua itu dimulai. "Kita mendukungnya, kata Myers, tertawa tertahan. Dan dengan bergairah, pasangan penerbang itu bercerita pada sang nakoda bagaimana mereka menyelamatkan kapalnya --sementara Billy Mitchell, entah sedang berada di mana, dalam keadaan bermurung-murung. Pada tahun 1982, setelah meluncurkan kapal pengangkut bertenaga nuklir Vinson, AL memiliki 13 pangkalan terapung semacam itu -- ke-13-nya pengangkut pesawat udara. Tapi kapal induk ini terbilang 'anak manja'. Karena untuk setiap kali penugasan, dua di antaranya pulang kandang untuk perbaikan, pengisian air dan bahan bakar. Atau para awaknya ditatar kembali, penataran P4 misalnya. Inilah sebabnya, dalam prakteknya, setiap waktu hanya 4 atau 5 kapal induk yang mampu menggelandang ke seluruh penjuru dunia. "Keempat kapal perang klas Iowa telah diubah menjadi pangkalan ofensif utama dengan dipasangnya peluru kendali Tomahawk," tulis Honan. Tomahawk ini serupa dengan torpedo terbang, dengan sayap-sayap pendek. Senjata perusak ini mampu menghantam kapal-kapal pada jarak 1.500 mil. Kembali dipakainya kapal-kapal perang telah meningkatkan jumlah pangkalan-pangkalan ofensif terapung dari 13 menjadi 17 -- dampak praktisnya lebih dari itu. Gertakannya dong. Kapal-kapal perang ini ibarat kuda beban yang kurang memerlukan overhaul (pemeriksaan) dibanding kapalkapal induk. Karena hanya 2 dari 4 kapal perang memerlukan pulang kandang pada waktu-waktu tertentu. AL dapat meningkatkan jumlah pangkalan-pangkalan ofensif yang bertugas di garis depan, dari 4 atau 5 menjadi 6 atau 7 buah. Pada 1986, setiap kapal perang dapat menjadi pusat apa yang disebut 'kelompok aksi terapung' -- yang kekuatannya hanya nomor dua di belakang kapal induk. Para ahli strategi AL melihat peningkatan ofensif pangkalan-pangkalan ini sebagai hal yang istimewa penting. -- "dalam kerangka konflik non-nuklir antara negara-negara super-power. "Dalam keadaan demikian, musuh akan mencoba menghadapinya dari pusatpusat pemusatan kekuatan militer lainnya dan dari kekuatan AL di medan pertempuran. "Dan ini akan menjurus ke arah konfrontasi di seluruh dunia yang dapat dengan cepatnya beralih dari konflik lokal menjadi perang berskala dunia," sang wartawan menyimpulkan. Kebijaksanaan penugasan kembali kapal-kapal perang dalam kerangka konflik kayak begini, dengan serunya diperdebatkan dalam Congress -- sehubungan dengan rencana pengaktifan kembali kapal-kapal tua itu tadi. Senator Ted Stevens, anggota Partai Republik dari Alaska, mengemukakan bahwa kapal-kapal perang telah menjadi "bukan apa-apa kecuali gudang peluru kendali terapung." Ia menganggap kapal selam dapat melakukan hal yang lebih baik. Kapal selam, ujarnya, "lebih sukar dilacak oleh musuh." John Lehman, Kepala Staf AL, sependapat dengan manfaat yang lebih dari kapal selam. Ia menunjuk bahwa 4 kapal selam bertenaga nuklir telah diperlengkapi dengan peluru-peluru kendali. Ia mengakui, memperlengkapi kapal-kapal selam dengan peluru kendali adalah urusan yang berjalan lambat dan mahal. Dan ia menentang pembancian kapal-kapal selam sebagai bagian dari senjata pamungkas anti-senjata nuklir nasional, ke dalam wadah persenjataan konvensional. Dari segi jumlah, katanya, "pengaktifan kembali kapal-kapal perang lebih cepat dan lebih murah ketimbang membangun kapal-kapal selam." Buktinya, dengan pengaktifan kembali itu, ongkos yang dapat dihematkan berkisar sekitar sekian ratus dollar lebih murah dibanding jika dilakukan pembangunan sebuah kapal selam baru. Norman Polmar, juga menulis masalah AL, lebih menyukai kapal perusak klas Spruance sebagai pangkalan peluru kendali khusus kapal. Diperlukan 3 kapal perusak untuk mengangkut sejumlah peluru kendali yang mampu diangkut oleh satu kapal perang saja -- yang Polmar sendiri iyakan. Tapi, katanya berdalih, kan bisa jadi sasaran musuh yang telanjang dan tunggal? "Bagi sebuah satelit," katanya. "Kapal perang nongol seperti jempol yang sakit. Tapi, jika kita menempatkan peluru kendali di 3 kapal perusak musuh sukar memilih yang mana di antara 50 kapal perusak kita yang ada peluru kendalinya. Ini memaksa musuh mengirimkan kapal-kapal terbangnya untuk,,mengintip setiap kapal perusak kita". NAMUN Lehman mengatakan bahwa AL tidak berminat memasang peluru-peluru kendali di kapal-kapal perusak klas Spruance, jika tiba masanya kapal-kapal perusak itu harus diperbaharui persenjataannya. Lehman tidak setuju jika kapal-kapal perang seperti seseorang sedang nongkrong di atas punggung bebek. "Dengan satelit dan lain peralatan pengintai," katanya, "Kapal 10.000 ton dengan gampang dapat ditemukan bagai menemukan kapal 70.000 ton." Dalam keadaan demikian, menurut Lehman, kapal yang besar harus pula memiliki kemampuan yang sama besar -- baik dalam membaui musuh maupun dalam persenjataan. Ini termasuk dimilikinya peralatan kontrol pamungkas, serta ketahanan menangkis serangan dan melancarkan serangan. "Kapal-kapal perang klas Iowa secara khusus mampu tetap berjaya kini," katanya pula. "Mereka dibangun untuk mampu bertahan dan melawan berbagai peluru persenjataan yang ampuh dalam Perang Dunia II. Dan peluru-peluru itu mempunyai daya penetrasi yang lebih besar daripada senjata-senjata pilihan masa kini sejenisnya -- misalnya: peluru kendali dengan daya ledaknya yang begitu tinggi." Peluru kendali dengan kepala yang sangat eksplosif itu dapat membinasakan secara total kapal-kapal raksasa bikinan sesudah Perang Dunia II --yang dibuat dari aluminium dan fibreglass, tapi tidak seberat kapal besi jenis Iowa. Permusnahan umat manusia yang tanpa ampun. "Yakinlah," kata wartawan Honan di bagian akhir tulisannya, "perang yang sesungguhnya -- di luar perang dalam kamar penuh tombol-tombol yang sedang dipersiapkan AS dan Soviet -- tidaklah akan berakhir dengan rapi seperti yang direncanakan dalam skenario." Sekali peti-peti mati terselimut bendera berarak pulang, pertanyaan serius akan muncul: apakah kedua belah pihak dapat menahan diri dari jor-joran membikin senjata-senjata nuklir? Tapi seperti dalam kisah Armageddon dalam Injil (pertarungan akhir buruk-baik), apakah konflik itu dapat membuat orang berpikir 2 kali? "Yang alasan masuk akal akan berjaya, bahwa kapal-kapal perang yang masih terus dilecehkan itu akan mampu berperan secara bermanfaat bagi pemeliharaan demokrasi".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus