MARGARET Thatcher pucat pasi. Seluruh anggota Majelis Rendah
Inggris saat itu terpukul. Pada hari Selasa yang naas di awal
Mei yang lalu, Menteri Pertahanan John Nott mengumumkan berita
duka: tenggelamnya kapal perusak H.M.S. Sheffield di Atlantik
Selatan. Kapal berbobot 4100 ton dengan julukan kesayangan
'Sheff yang Cemerlang' itu sedang patroli 70 mil dari Kepulauan
Malvinas ketika terperangkap dalam radar Super Etendard, pesawat
tempur Argentina.
Pilot rupanya tidak membuang kesempatan. Dua Exocet, peluru
kendali anti-kapal perang buatan Prancis, ditembakkan. Satu
meleset, satunya menghantam kamar kontrol Sheffield sebelum
kepalanya meledak. "Telah terjadi pembinasaan," begitu komentar
James Salt, sang kapten.
Tamat sudah riwayat kapal Inggris yang jaya. Dan itu merupakan
pembalasan dari Argentina. Sehari sebelumnya, Inggris berhasil
menenggelamkan General Belgrano, kapal penjelajah Argentina
yang berbobot 13.645 ton. Rupanya Belgrano sudah beberapa hari
dibayang-bayangi kapal selam Inggris H.M.S. Conqueror. Dua
torpedo dari tipe Tigerfish menghantam kapal penjelajah itu,
dan hanya dalam tempo 40 menit Belgrano lenyap dari radar.
Inilah malapetaka paling pahit dalam Perang Malvinas. General
Belgrano sendiri tercatat sebagai kapal perang terbesar yang
bisa ditenggelamkan sejak Laksamana William Halsey menyerang
Kepulauan Jepang tahun 1945.
Pelajaran macam apa dapat ditarik dari perang di Atlantik
Selatan, terbesar dalam 40 tahun terakhir itu? Benarkah
Sheffield dan Belgrano hanya mewakili kejayaan kapal perang yang
sudah berakhir? Untuk pertanyaan penting itu ternyata Amerika
Serikat menyediakan jawabannya.
Satu generasi yang lalu, 'New Jersey' pernah merontokkan 20
pesawat tempur Jepang dan mengkoyak-koyak pantai Okinawa dan
Iwojima. Dan kini, kapal tempur 57.000 ton itu bergoyang
berderik-derik di kawasan latihan Angkatan Laut AS, beberapa mil
dari pantai California -- untuk mengadakan latihan tembak dengan
meriam-meriam kaliber berat.
Saat itu kapal bergerak dengan kecepatan 15 knot, sementara
bendera-bendera sinyal dikibas-kibaskan angin. Geladak harus
bersih dari mahluk hidup, karena ledakan meriam 16 inci itu
dapat memenggal kepala seseorang yang terlalu dekat dengan
moncongnya. Bahkan di anjungan, 32 meter dari meriam terdekat,
Kapten William M. Fogarty menyingkir dari kemungkinan pecahnya
gendang telinga. 'Telinga Mickey Mouse' adalah sandi yang
dipakai hari itu.
Tiba-tiba, klakson kapal meraung-raung: "Aung -- aung, aung!",
memberi peringatan. Dan meriam-meriam pun mulai bermuntahan.
Dari moncongnya melesat bola-bola api merah muda diiringi
kepulan asap hitam kental. Kapal tempur berumur 39 tahun itu
terlunjak-lunjak. Kemudian terdengar lagi gelegar, dan
gedebam-gedebum.
"Air laut hangat menyembur ke muka kami," tulis wartawan William
H. Hogan yang meliput latihan tembak-tembakan itu untuk The New
York Times Magazine. Dan lapisan baja pembungkus cerobong asap
compang-camping bagai kain rombeng. Dari bawah terdengar
gemerincing kaca pecah. Barang apa pun yang rapuh tidak akan
selamat.
Meriam-meriam di lambung kanan kapal sudah pula ditembakkan. Dua
bongkah baja yang menyala sebesar-besar mobil sedan, membuat
'lubang' di udara. Melesat menjulang setinggi puncak Pegunungan
Rocky, benda itu kemudian nyemplung ke laut, menciptakan dua
muncratan air berkilauan seakan mengapung di udara, beberapa
detik lamanya.
Seorang perwira yang bertugas datang melapor: 2 bom yang
ditembakkan tepat mengenai sasaran. Lalu perintah menembak
serentak dan beruntun pun diberikan, dan kesembilan meriam New
Jersey menyalak-nyalak mengirimkan rentetan anak peluru seberat
16 ton per menit. Kemudian, seperti anda saksikan di film-film
perang: laut bagai diaduk dan dituangi gincu merah jambu.
Kemampuan New Jersey itu dianggap wartawan Honan ajaib. Yaitu
dalam hal 'menghukum' dan bertarung, memuntahkan peluru dengan
"beban dan bobot yang paling besar dalam kecepatan yang paling
tinggi." Inilah, katanya, yang membuat kapal itu "ratu samudra
sampai dengan pertengahan Perang Dunia II."
Toh kemampuan kapal-kapal tua macam New Jersey kadang diragukan
orang -- malah ditolak. Tapi keberatan ini dapat tanggapan dari
Laksamana I Lord John (Jackie) Fisher, anggota staf Mabal
Inggris, yang sering dianggap sebagai bapak kapal tempur modern.
"Jika anda dihina di meja makan," katanya, "jangan lemparkan
prop (penutup) botol anggur ke arah si penghina. Lemparkan
botolnya sekalian! " Ternyata Jackie Fisher ini menyukai New
Jersey. "Dan ia dapat melemparkan meja makan," kata Honan
berolok-olok.
Ya, botol anggur dan meja makan. "Tapi kini tahun ke-37 abad
nuklir" masih wartawan kita yang memberi komentar, "era satelit
pembunuh dan kapal selam nuklir." Akankah kapal perang menjadi
raksasa lumpuh (seperti) di Pearl Harbour, dan menjadi
ketinggalan zaman dibanding kapal pengangkut pesawat udara alias
kapal induk?
Tahun lalu, ketika Congress menyetujui rencana Presiden Reagan
untuk "mempersenjatai kembali Amerika" -- termasuk pembiayaan
pesawat pengebom B-1 dan peluru kendali MX -- ke dalamnya
terhitung juga pengeluaran US$ 325 juta bagi peningkatan New
Jersey dan kapal sejenisnya towa. Akhirnya, dua kapal sejenis
lainnya, Wisconsin dan Missouri (yang terakhir itu dipakai
sebagai tempat penandatanganan bertekuk lututnya Jepang, 1945),
juga akan bergabung dalam armada kapal tua itu dengan biaya yang
diancang-ancang sebesar US$ 1,5 juta sampai US$ 3,5 juta.
KAPAL New Jersey sendirii tampaknya sudah melampaui tahap
pentingnya, melalui 'pesta kembang api' yang gempita itu.
Bersama dengan itu kapal Admiral William (Bull) Halsey -- yang
pernah menjadi kapal-bendera dalam Perang Dunia II --diluncurkan
dari galangannya di West Coast. Iowa akan mengalami modernisasi
akhir tahun ini -- tapi akan tetap dipertahankan bak mandi segi
empat di dalamnya, yang dulu dibangun Presiden Franklin D.
Roosevelt ketika ia berlayar ke Casablanca untuk kemudian hadir
dalam Konperensi Teheran -- 1943. Iowa dipersenjatai baik dengan
peluru-peluru kendali defentif maupun ofensif, sebagai tambahan
untuk meriam-meriam 16 inci yang telah dipunyainya.
Pengaktifan kembali kapal-kapal tua memang sedang terjadi dan
itu telah melahirkan sejumlah tanggapan, menurut Honan yang
editor Seni dan Hiburan The Times. "Kayak mengaktifkan kembali
kavaleri berkuda," ujar Senator Dale Bumpers dari Partai
Demokrat Arkansas. "Aneh," kata Norman Polmar, bekas editor AS
untuk buku Jane's Fighting Ships dan bekas pejabat Jawatan
Angkutan Laut terkemuka. Ia beranggapan, kekuatan laut yang
memerlukan 1.800 awak dengan keahlian yang kurang tidak akan
membawa manfaat.
Direkrutnya kembali kereta-kereta perang tua itu telah
menjadikannya bahan olok-olok. "Memodernisasikannya?" tanya
seorang anggota muda staf Pentagon. "O, tentu. Dengan membuang
jauh-jauh semua pengayuhnya." Itu tentu cuma ejekan
setua-tuanya kapal perang dari Perang Dunia II tak ada yang
berasal dari zaman Romawi purba.
Kendati banyak datang kritik, para pendukung kapal-kapal tua itu
berjaya juga akhirnya. "Meskipun tantangan datang dengan
gemuruh, misalnya dari Senator Partai Republik Alaska, Ted
Stevens, hendaknya diketahui program itu telah berhasil lolos
dari para penggunting anggaran belanja Congress kata Honan yang
sering menulis masalah-masalah bahari itu.
Kisah bagaimana kapal-kapal perang membuat comeback-nya yang
dramatis adalah cerminan adanya perubahan berarti dalam
masyarakat Amerika, katanya pula. "Sudah ada pengakuan di
kalangan militer," ia menulis, "bahwa kekuatan udara bukanlah
senjata menentukan dalam medan-medan tempur." Dan ini "pada
gilirannya telah menimbulkan debat antara kubu kekuatan udara
dan kekuatan laut yang berkepanjangan." Itu yang pertama.
Yang kedua, didudukinya Kedubes AS di Iran oleh pengikut
Komeini, dan invasi Soviet di Afganistan, memaksa AS bersiap
menghadapi tumbuhnya konflik di negeri-negeri ketiga yang lain
pada masa-masa mendatang. Ketiga, modernisasi keempat kapal tua
tadi, dengan mempersenjatai mereka dengan peluru-peluru kendali
sophisticated, dapat menambah dengan segera jumlah kapal-kapal
utama dalam jajaran AL-AS. Ini secara mencengangkan
menyebarluaskan perubahan pemikiran terhadap strategi perang
semesta dunia.
Lebih jauh masalah ini akan tetap menjadi biang sengketa dan
persaingan antara instansi -- sebelum diterima secara layak di
kongres.
"Bagaimana kapal-kapal perang dapat dihargai sebagai
dinosaurus?" tanya Honan. Hampir segera sesudah kapal-kapal
bercerobong besi mendominasi samudra --diikuti duel seru kapal
Monitor d an Merrimeck bulan Maret 1862 -- para pengkritik
menganggap torpedo-torpedo mampu segera menyudahi
kesimarajalelaannya. Benar saja -- dan Jepang yang melakukannya.
Pertama di Sungai Yalu, 1894, dan kedua di Port Arthur 1904,
torpedo-torpedo Jepang itu berhasil melumpuhkan kedua raksasa
Cina dan Rusia.
Dalam masa Perang Dunia I, kapal-kapal selam (U-boat) Jerman
menciptakan kemenangan yang mengesankan terhadap kapal-kapal
apung Inggris dan Amerika. Dan pada gilirannya kapal-kapal apung
itu mencoba membikin semacam tameng (blister) pada tubuh
luarnya, semacam lapisan yang mampu 'mencairkan' serangan
torpedo dari bawah permukaan air. Juga 'konstruksi sarang madu',
yang diharapkan mampu membendung kebocoran melalui dinding kapal
yang ditembus torpedo. Di samping itu dikembangkan pula teknik
pelacakan kapal selam.
Tapi dalam periode antara dua perang dunia, kapal perang
menghadapi musuh baru: pesawat udara. Malah beberapa
penganalisa, termasuk Brigjen Billy Mitchell, perintis penerbang
militer ternama, mengemukakan bahwa "kapal-kapal perang adalah
benda masa silam". Untuk membuktikannya Mitchell mengumumkan
nama serangkaian kapal perang yang dibom dan mengalami
kerusakan, bahkan tenggelam, oleh serangan udara. Ia menyebut
kapal perang Osrfriesland milik Jerman, kemudian juga kapal tua
Virginia serta New Jersey, keduanya milik AS. New Jersey inilah
yang menjadi pendahulu New Jersey yang kita kenal belakangan.
Di hari-hari pertama Perang Dunia II, sukses cemerlang pesawat
torpedo Inggris Swordfish terhadap kapal-kapal perang Italia di
Taranto, dan berjayanya pesawat tempur Jepang terhadap
kapal-kapal perang AS di Pearl Harbour, tampaknya mengesahkan
segala yang telah dikhotbahkan oleh Billy Mitchell itu.
"Tapi di pihak lain justru kapal-kapal peranglah yang berjaya
dalam pertempuran di Kepulauan Santa Cruz tahun 1942," tulis
Honan. "Misalnya kapal perang South Dakota, dengan meriam-meriam
anti-serangan udaranya, yang berhasil merontokkan 26 pesawat
tempur Jepang."
Perselisihan pendapat tampaknya akan selesai akhirnya dengan
terjadinya apa yang disebut 'Pertempuran Tengah Hari' (The
Battle of Midday), Juni 1942. Ini adalah pertempuran pertama
dalam sejarah, yang masing-masing armada, atau lebih tepat,
meriam-meriamnya, tidak saling gempur. "Pukulan-pukulan
menentukan justru diberikan oleh pesawat-pesawat tempur -- yang
(hanya) berpangkalan di kapal-kapal perang," kata Honan.
Pertempuran tengah hari itu, katanya lebih jauh, menunjukkan hal
yang jelas: bukan apakah pesawat terbang dapat saling
melumpuhkan kapal perang, tapi sebaliknya: senjata mana yang
berjaya mencapai jarak tembak yang terjauh. "Jarak tembak meriam
kapal terbatas pada 23 mil, sementara pesawat pengangkut udara
mampu mencapai berlipat-lipat lebih dari itu."
Kapal perang memang memiliki beberapa keuntungan dalam situasi
taktis tertentu. Tapi perang laut di Pasifik -- dan semua perang
laut yang dapat diramalkan sebelumnya -- dapat diselesaikan oleh
pengangkut pesawat udara. Itu pendapat Honan.
Setelah pertempuran tengah hari itu, kapal-kapal yang sedang
dirakit buru-buru diubah menjadi kapal pengangkut udara. Sedang
kapal-kapal perang yang ada, "dengan cara menghina dipakai
sebagai kapal minyak," kata Honan. Juga dipakai sebagai kapal
taksi bagi para laksamana, di samping untuk pengeboman pantai.
Misalnya kapal Iowa dkk, yang dengan meriam-meriamnya pernah
jadi penggempur pantai selama Perang Korea. Pada 1958, Wisconsin
dan Iowa-kapal-kapal tempur ukuran dunia yang masih aktif saat
itu -- dinonaktifkan. New Jersey sebaliknya bangun dari lelapnya
pada 1968 untuk bertugas di Vietnam.
Di Vietnam, meriam-meriam 16 incinya memuntahkan 5.688 peluru --
ketimbang 771 buah dalam seluruh masa dinasnya dalam Perang
Dunia II. Para pengkritik kapal perang memang berucap,
"peluru-peluru itu hanya mampu membunuh "pasti" 113 musuh,
sedang yang 74 hanya "kemungkinan" mati." Tapi para pendukungnya
ganti menunjuk pada serdadu-serdadu musuh yang terpaksa hengkang
dari wilayah yang jadi sasaran bombardemen New Jersey itu.
Kemudian tiba masa istirahatnya. Setelah 4 bulan alih tugas, New
Jersey dikirim pulang. Ia dibiarkan menginap di dalam kepompong
fibreglass di gudang kapal-kapal AL-AS di Bremengton,
Washington.
Dari waktu ke waktu seseorang di Hankam memang dapat saja
merancang pengaktifan kembali kapal perang. Tapi "gagasan itu
tak ayal dianggap tidak praktis," tulis Honan. "Masa jaya kapal
perang telah lewat." Agaknya.
***
Musim semi 1978. Charles Myers Jr. -- botak dan kocak -- adalah
bekas penerbang pesawat tempur dan penerbang uji coba di awal
1950-an. Suatu hari di tahun itu ia terbang ke Wilmington, N.C.,
untuk mengunjungi North Corolina, sebuah kapal perang yang sudah
dijadikan museum terapung. Berjam-jam ia menggelandang di sana,
dari geladak sampai ke kamar mesin, bahkan kakus.
"Apa yang membuat begitu tertariknya spesialis dalam taktik ilmu
penerbangan ini untuk berada di tengah para pendekar Perang
Dunia?" tanya Honan. Ternyata, menurut dia, Myers mulai percaya
bahwa kapal perang mampu memainkan peranan vital dalam berbagai
jenis perang yang mungkin diakukan AS dalam tahun-tahun
mendatang. "Keyakinan itu menjadikannya seorang pelopor
penggunaan kembali kapal perang," komentar wartawan yang sama.
Seperti umumnya udarawan dari generasinya, Myers mulai yakin,
kekuatan udara hanya akan unggul jika didukung secara nyata oleh
kekuatan di laut.
MYERS masuk dinas AU pada hari ulang tahunnya yang ke-18, pada
1943. Menerbangkan B-25 di gelanggang perang Pasifik, ia
berkali-kali menyerang iring-iringan kapal Jepang. "Hal yang
selalu mengesankan saya," katanya, "adalah betapa mudahnya
kapal-kapal apung itu diserang. Kami selalu menenggelamkan
kapal-kapal yang berhasil kami kerjai."
Pada 1951 Myers dipindahkan ke AL dan menerbangkan Grunman
Panther F9F2, pesawat tempur jet pertama, dari geladak kapal
pengangkut Bon Home Richard yang beroperasi di sekitar pantai
timur Korea. "Ketika di sana," katanya, "saya mulai ragu-ragu
akan cara-cara pelaksanaan taktik penerbangan kita. Kita tetap
diperintahkan menyerang sasaran-sasaran yang mati-matian
dipertahankan, hingga kita kehilangan banyak kawan yang
jempolan. Saya sendiri berkali-kali diperintahkan menyerang
tambang-tambang penting Sindok, Korea Utara. Kalau
sasaran-sasaran itu memang harus dihancurkan semuanya, saya kira
banyak cara lain yang lebih baik dapat ditempuh."
Dari medan Perang Korea, Myers kemudian kembali ke Amerika untuk
menjadi penerbang uji coba di AL. 1973 ia masuk Pentagon,
sebagai spesialis taktik perang udara. Dan di sanalah ia pertama
kali mengembangkan kontak-kontak, dan apa yang disebut Honan
sebagai 'ketulian politik', dalam usahanya mempertahankan
penggunaan kapal perang.
Ia terlibat, umpamanya, dalam debat Pentagon tentang Stealth --
program yang bermaksud memperkecil kemampuan musuh melacak
kekuatan udara AS dan peralatan tempur lain. "Mulanya", menurut
Honan, "mayoritas menghendaki dilanjutkannya pembangunan
sejumlah besar kekuatan udara, yang direncanakan melakukan
penyerbuan terhadap pertahanan musuh."
"Myers adalah salah seorang pemimpin mereka," tulis Honan pula.
"Mereka berpendapat ada gunanya mengorbankan daya muatnya jika
kekuatan udara dapat dibuat tidak terlacaki -- dan ternyata
pendangannya itu yang menang."
Myers meninggalkan Pentagon pada 1978 dan bekerja sebagai
konsultan partikelir, yang mengkhususkan diri dalam apa yang
disebutnya "Pengembangan secara konsep senjata-senjata taktis.
"Ternyata bejibun banyaknya konsultan bidang pertahanan yang
berpraktek di Washington. Mereka adalah para jenderal dan
laksamana pensiunan yang memperdagangkan kontak-kontak
pribadinya dengan berbagai instansi tertentu. Termasuk juga
konsultan ahli fisika dan insinyur yang menjual barang dagangan
yang kurang lazim diperdagangkan secara bebas: radar atau
optik-elektro.
Salah satu studi yang dilakukannya adalah analisa tentang AL.
"Mulanya," katanya, "saya menemui kesukaran untuk mengerti nilai
AL 'di atas air'. Memang benar saya sudah memahaminya sejak
1941. Tapi ketika perang menjadi global --menjadi perang-darat
antara NATO lawan Pakta Warsawa -- hal itu menjadi kabur
kembali."
"Apa yang akhirnya saya ketahui," katanya lebih jauh, "ialah
ketika kita semua lebih khawatir akan konflik di dunia ketiga,
fungsi nonnuklir yang teramat penting dari Departemen AL --
termasuk Korp Marine -- adalah kemampuan melakukan terobosan ke
daerah musuh."
Departemen AL, menurut Myers, diperlengkapi kemampuan untuk
mengangkut pasukan, menyebarkannya, memberikan logistik dan
perlengkapan anti-kebakaran, dan kemudian mengembalikannya ke
induk pasukan. "Tidak ada satu instansi kemiliteran yang berada
di bawah satu komando memiliki kemampuan itu," kata Myers.
AL seperti yang diandalkan Myers itu memang ada kurangnya --
sesuatu yang dianggapnya perlu, justru: daya terobosnya. "Kita
tidak memiliki pangkalan yang berdaya tembak kuat untuk
mendukung pasukan yang melakukan terobosan ke daerah-daerah
musuh," kata Myers. "Saya agak khawatir mengenai hal itu. Banyak
orang beranggapan hal itu dapat dilakukan oleh penerbangan
taktis. Tahu kan, itu kan memang mainan saya. Saya tahu apa yang
mungkin dikerjakan dengannya, tapi juga tahu semua
keterbatasannya. Gampang dikenai, mudah diganggu cuaca, dan
tidak kontinyu. Ketika dibutuhkan di medan tempur, bantuannya
harus siap secara kontinyu, tidak hanya kadang-kadang."
"Hal paling besar yang saya dapatkan dari studi itu," masih
Myers yang bicara, "adalah sumbangan berharga dari meriam-meriam
kapal perang dari sejumlah operasi militer yang sukses, yang
pernah dilakukan negeri ini (AS)."
Dalam pendaratan di Salerno, Italia, pada bulan September 1943,
ia memberi contoh, 100 tank Jerman dalam siap tempur menunggu di
pantai. Kekuatan udara (5 kapal induk berikut 3700 pesawat
tempur) terbang dari Sisilia untuk mendukung pendaraan -- "tapi
mereka tidak mampu menangkis tank-tank itu." Pimpinan pasukan
Jerman, Marsekal Kesselring, belakangan mengatakan bahwa
tembakan-tembakan meriam AL Sekutulah yang akhirnya memaksanya
memerintahkan tank-tank itu ditarik mundur.
Myers buru-buru menyimpulkan bahwa "jika pangkalan tembak itu
yang dibutuhkan AL, kapal-kapal peranglah jawabannya." Ia
mengemukakan pendapatnya itu dalam makan siang di restoran
Portofino dengan Charles Haskell. Jawaban kuncinya adalah apakah
Iowa dan rekan-rekannya memang cocok untuk penugasan kembali
itu.
Haskell lalu memperkenalkan Myers kepada Laksamana J. Edward
Snyder, nakoda yang membawa New Jersey ke Vietnam pada 1968.
"New Jersey," kata Laksamana Snyder, "bukanlah keranjang besi
karatan. Ia dibuat dari baja campur nikel bermutu tinggi dan tak
gampang berkarat."
Myers selanjutnya berbicara dengan Kapten Robert C. Penniston --
nakoda New Jersey terakhir -- yang memimpin pelaksanaan
penonaktifan kapal induk tersebut. "Kapten Penniston menyatakan
ia (New Jersey) cukup 'fit' untuk bertugas kembali," menurut
Honan. 'Hidup' kapal, katanya, ditentukan oleh masa tugas
aktifnya, bukan oleh usianya. Dan New Jersey baru dipergunakan
selama 13 tahun, dari masa-masa kelayakannya yang 30 tahun.
Lebih jauh, Myers menyimpulkan bahwa kapal-kapal perang punya
nilai yang relatif. AL dapat mengaktifkan kembali kapal perang
ukuran 57.500 ton yang biayanya sama untuk membuat sebuah fregat
baru ukuran 3.000 ton, atau kira-kira satu lusin pesawat baru.
Kini pasti sudah: Iowa dan kawan-kawan akan -- dan dapat --
diaktifkan kembali, kesimpulan Myers maju selangkah lagi. Dan
lobbying di kalangan Congress pun dilakukannya -- sambil
mengkampanyekan dana untuk maksud pengaktifan kembali
kapal-kapal perang itu.
Myers mengakui, bahwa ia dimotivasikan oleh harapan memperoleh
keuntungan --bagi dirinya atau klin perusahaannya. Dan matanya
yang jeli terhadap bidang hankam ini tak meragukan lagi. Ia
mengaku pula bertindak bukan atas dasar keyakinan -- kendati ia
tahu bahwa itikad pribadi konsultan dan kepentingan komersial
klinnya seringkali berjalan seiring. Misalnya, salah seorang
klinnya, Martin Marietta yang mau menjual sistem peluncur
kendalinya. Tapi Myers berujar: "Itu baru kira-kira, dan
bagaimanapun juga, jumlah dollarnya tidak berarti."
Myers menggambarkan keterlibatannya sebagai hasil lumrah dari
karyanya yang lumrah -- mengembangkan gagasan-gagasan hankamnas
dan upaya untuk melihat realisasinya. "Secara profesional, itu
lebih baik bagi saya," katanya, "jika saya dapat menguji
pendapat atau gagasan saya dengan mencoba menjajakannya."
"Keputusan tentang anggaran belanja pertahanan adalah hal yang
paling dipolitisasi," tulis Honan lebih jauh, "dan Congress
seringkali tidak berbuat apa-apa." Usul-usul baru mula-mula
diperiksa oleh para staf ahli, baik dari Komisi AB Senat maupun
dari DPR. Setelah melalui pengamatan pemimpin-pemimpin militer
dan spesialis sipil, kata akhirnya datang dari "para
pedagang-sapi yang tak punya malu," tuding Honan
terang-terangan.
Penulis masalah-masalah AL ini bukannya tak memberi contoh soal.
Disebutnya seorang senator dari Connecticut terang-terangan
menyetujui penambahan kapal-kapal selam baru "karena itu bikinan
Electric Boat Company dari Groton, Connecticut." Tapi dukungan
itu ternyata ada udang di balik karang." Ia juga menyokong
dikeluarkannya dana bagi pembuatan pengebom-pengebom tempur
bikinan perusahaan milik koleganya dari Texas -- sebagai imbalan
dukungan si Texas terhadap pengeluaran dana bagi pembuatan
kapal-kapal selam baru tadi." Dukung-mendukung yang komersial
juga ini.
Tentu saja, hampir semua anggota Congress setuju dengan ampuhnya
hankamrata. "Tapi mereka tidak dapat mengendalikan nafsu serakah
para pendukungnya dan selalu menyokong dikeluarkannya dana bagi
pembikinan senjata-senjata yang (bahkan menurut
petinggi-petinggi berbaju seragam sendiri) tidak dibutuhkan?"
Usaha keras untuk penambahan persenjataan baru dengan
mengorbankan dana untuk pemeliharaan, reparasi dan latihan
ternyata banyak membangkitkan amarah para profesional.
Myers faham benar akan hasil kerja Congress -- dan ia tahu bahwa
perjuangan untuk pengaktifan kembali kapal-kapal perang bukan
hal gampang. Namun Myers juga tahu jumlah ancer-ancer dari
sementara anggota Congress. Yaitu hanya 4 kapal. Dan ini tidak
dapat dibandingkan dengan yang diperoleh perusahaan Chrysler
untuk order 7.000 tank, atau penerimaan General Dynamic sebesar
US$ 40 milyar untuk kontrak pembuatan pesawat-pesawat tempur
F-16 yang baru.
LEBIH jauh lagi, Myers tahu pula bahwa perusahaan-perusahaan
besar perkapalan dapat mempengaruhi pemungutan suara Congress --
yang celakanya menentang dirinya. "Mengapa membuang-buang uang
untuk kapal-kapal tua itu?" demikian tentu keberatan itu
dikemukakan. "Tengok kapal-kapal baru yang anda sekalian dapat
beli," (dan kami dapat jual). Dan bagi Myers, ini juga menjadi
barang dagangan yang harus dijajakannya ke mana-mana.
"Pengaktifan kembali kapal-kapal perang kalas Iowa: Dasar
Anjuran", adalah nama proposalnya yang setebal 50 halaman. 50
sampai 60 kopi proposal itu dibagi-bagikannya kepada para
anggota Congress, para ahli kalangan angkatan bersenjata dan
petinggi-petinggi hankam.
Ternyata proposal Myers mendapat dukungannya di kalangan staf
yang berpengaruh. Russel D. Hale, bekas penerbang seperti Myers
dan kemudian anggota staf senior sub-komisi angkatan laut DPR,
mengirim sejumlah kopi proposal yang berupa laporan itu kepada
beberapa anggota kuat Congress -- disertai pernyataan
dukungannya. Di antaranya juga: W. Graham Clayton Jr., kemudian
Menteri AL.
"Tapi AL yang berseragam tidak tertarik," tulis Honan
selanjutnya. Keengganan akan kapal-kapal perang rupanya bukan
barang baru bagi mereka ini. Pada 1966, Laksamana David L.
McDonald, kemudian Komandan Operasi AL, dengan ngotot menolak
diaktifkannya kembali New Jersey untuk beroperasi di Vietnam.
Penganjur utama pengaktifan kembali pada saat itu adalah Senator
Richard B. Russel, ketua komisi AB di Senat. Ia pemercaya besar
terhadap kapal-kapal perang.
Untuk menghindari heboh publik, Pemerintah dan Senator Russ
menunggu sampai tiba hari pemensiunan McDonald -- setelah itu
barulah diumumkan bahwa New Jersey akan bergabung dalam armada.
Dan begitu kapal perang itu kembali dari Vietnam, AL segera
menambal lubang bocor pada dinding kapal di bawah air pada saat
Senat lagi reses.
"Itu dilakukan," menurut Honan, "untuk membuktikan bahwa New
Jersey tidak dapat bertugas tanpa masuk dok duu, sekurangnya
120 hari. Dan ini memberikan peluang bagi AL untuk mengerahkan
oposisi Congress terhadap tindakan Senator Russel apa pun bagi
pengoperasian kembali kapal itu."
Apa yang membuat banyak orang AL berpaling dari kapal-kapal
perang? Pertama-tama: di akhir 1960-an, AL memutuskan
mengistirahatkan kapal-kapal karena menciutnya anggaran -- dan
dalam keadaan demikian para laksamana tidak ingin kehilangan
sebuah pesawat angkutan udara pun. Bahkan pada 1980, ketika AL
tak perlu risau dengan anggaran belanja, Laksamana Thomas B.
Hayward, Komandan Operasi AL, ragu-ragu menyuruh pulang Iowa dan
kawan-kawan -- karena takut dapat menyerimpung pengaktifan
kembali pesawat angkut udara Oriskany.
Persaingan intern ternyata berperan bagi perubahan sikap AL
terhadap kapal-kapal perang. "Tidak berkembangnya teknik
persenjataan meriam AL dalam 20 tahun terakhir adalah suatu
tragedi," kata seorang perwira yang banyak pengalaman di
Washington. "Dahulu, ketika meriam-meriam AL dipergunakan
menghadapi kapal-kapal musuh, AL mendukung sepenuhnya. Tapi
kini, meriam-meriam itu hanya digunakan untuk pengeboman pantai,
'pemberi nafkah' itu (AL) bukan lagi 'pewaris'nya."
"Anda tidak mendengar lagi," kata perwira yang sama," ucapan AL
bahwa kita harus menolong kalian, sobat-sobat, di AD dan di Korp
Marinir. AL menganggapnya itu memerlukan penawaran lain yang
harus dipersaingkan, seperti halnya juga terhadap penerbangan
pengangkutan, kapal selam, dan sebagainya."
Mereka memang berbeda pendapat sesama rekan sendiri: jika ada
laksamana setuju dipakainya kembali kapal perang, yang sedang
berada di Departemen AL bilang tidak. Pada awal kampanyenya,
Myers makan siang bersama dua pensiunan perwira Marinir di
restoran Portofino. Dan dengan rekomendasi tangguh mereka
berdua, Myers berhasil bikin janji temu dengan Jenderal Robert
H. Barrow, orang Lousiania yang pernah jadi komandan di Marinir.
Dan ternyata Barrow menjadi pendukung terang-terangan penggunaan
kembali kapal perang. Pada dengar pendapat Congress, Februari
1980, umpamanya, ia diminta memberikan komentar terhadap
penjelasan Menteri Hankam. Menteri berkata bahwa kuatan udara
adalah pengganti yang cukup memadai bagi meriam-meriam AL --
yang dengannya sebuah kapal perang dapat membantu pendaratan
marinir. Barrow ternyata bertentangan dengan boss-nya. "Tidak
tuan, saya tidak setuju," katanya. "Hanya sejumlah kekuatan
udara kita yang mempunyai kemampuan di segala cuaca . . . Jika
kita memasang SAM (peluru kendali antipesawat terbang) yang
lebib besar, umpamanya, kita harus meperkecil risiko terhadap
pesawat-pesaat kita -- dengan pembebanan sasaran yang lebih
besar kepada meriam-meriam AL."
Kini Jenderal Barrow mengurangi peranannya dalam kampanye itu.
"Pemeran utamanya," katanya, "adalah Chuck Myers. Ia tidak
pernah mundur."
Didudukinya Kedubes AS di Iran pada 1979 dan invasi Soviet di
Afganistan satu bulan kemudian memberikan bobot tak terduga
terhadap kapal perang. Kedua peristiwa itu mendorong
banyaky7nkee bernostalgia pada: suatu masa di awal abad ini
ketika bangsa-bangsa di dunia menaruh lebih banyak hormat
kepada kekuatan negeri ini (AS) -- serta takut akan amarahnya.
"Iran dan Afganistan juga sudah mereka-reka sebelumnya bahwa
kapal selam nuklir maupun peluru kendali MX tidaklah menjadi
senjata pengganti yang sesuai untuk menghadapi kekuatan
konvensional yang tangguh, dalam usaha melindungi kepentingan AS
di dunia ketiga." Komentar panjang ini datangnya dari Honan.
Dalam iklim yang demikian, Congress secara luas ternyata dapat
menerima kehadiran berbagai proyek militer, dan secara khusus
dirasakan manfaatnya kapal-kapal perang itu. Di sinilah
perlambang hari-hari Amerika hampir mutlak tak tertandingi di
dunia. Terlebih-lebih lagi, dengan keperkasaan yang mencuat,
kapal perang jelas alat yang sempurna untuk mematikan teror
terhadap pemimpin-pemimpin negara-negara kecil -- yang mau
menyepelekan AS.
Dengan sedikit mujur, intisari laporan Myers tentang usul
pemanfaatan kembali kapal-kapal perang muncul juga dalam laporan
Institut Angkatan Laut AS, November 1979. Itu beberapa hari
setelah Kedubes AS di Teheran diduduki demonstran pro-Khomeini.
"Myers menerima berlusin-lusin surat penuh kegairahan. Beberapa
di antaranya dari anggota Congress, lainnya dari orang-orang
hankam, yang tidak dihubunginya dalam kampanye putaran
pertamanya."
Dan mendadak, fokus baru tentang perang terbatas dan
persenjataan konvensional, tampil kembali ke permukaan. Bagai
gituan ngambang. 'Perang suci' untuk pemakaian kembali
kapal-kapal perang tua, tampaknya sudah dapat angin buritan.
Dalam musim semi 1980, untuk pertama kali, Rancangan UU
pembiayaan pengaktifan kapal-kapal perang itu -- bersama-sama
dana buat pengebom B-1 -- muncul di hadapan yang dipertuan
anggota Congress. US$ 6,2, milyar yang diajukan sebagai
tambhan anggaran pertahanan itu berhasl lolos dari DPR dan
diajukan ke Komisi AB Senat.
Tapi "Presiden Carter menentang RUU itu," kata Honan. Proposal
Myers itu berada dalam urutan paling atas dari daftar serangan
Carter seperti yang ditulisnya dalam suratnya kepada John
Stennis, ketua komisi AB tesebut. Itu "tidaklah efisien,"
tulisnya, "menggunakan beratus-ratus juta dollar untuk
menghidupkan kembali teknologi tahun 1940-an." Sang Presiden
didorong pula oleh kenyataan bahwa setelah invasi Soviet di
Afganistan, ia telah merevisi anggaran belanja militer. Anggaran
"yang terbesar dalam sejarah masa damai, dan ia tidak berselera
terhadap tambahan pengeluaran."
Mei 1980, Komisi AB menolak otorisasi tambahan itu -- dengan
kekurangan dukungan tiga suara. "Kami kalah," Myers mengaku,
"karena yang kita hadapi Presiden." Dan sang Presiden menganggap
kapal-kapal perang sebagai "teknologi 1940-an". Ini mempunyai
efek yang menentukan. "Itu melukai kami," kata Myers.
* * *
TAPI usul tentang kapal perang tidak akan berhenti," Honan
menyimpulkan dalam lanjutan karangannya. "Anjuran baru yang
lebih tangguh akan tumbuh." Di antara orang-orang yang telah
berhasil dicekokinya adalah seorang ilmuwan hankam bernama John
Lehman, 38 tahun ketua komisi hankam Partai Repubik. Ia adalah
orang yang dipersiapkan menjadi Kepala Staf AL dalam
pemerintahan Ronald Reagan.
Lehman -- seperti perwira penerbang AL lainnya -- pertama kali
dikasak-kusuki soal pengaktifan kembali kapal perang pada 1973
-- ketika New Jersey diusulkan berpatroli di Zona Demiliterisasi
Vietnam. Tapi rencana pengaktifan kembali kapal perang Myers itu
dirasakan Lehman "sangat memaksakan" atau berkelebihan -- dalam
hal penambahan peluru kendali Tomahawk sebagai perlengkapan
persenjataan kapal.
Peluru-peluru kendali itu, dengan jarak capai ke sasuan 1.500
mir, mampu menjadikan kapal perang itu salah satu kapal
berpotensi besar -- itu menurut Lehman. Dan tidak seperti
pesawat angkut udara, yang membutuhkan 8 tahun masa
pembuatannya. Sedangkan empat kapal perang itu hanya memerlukan
4 tahun pemugaran untuk mengaktifkannya kembali. Waktu relatif
singkat ini memperkuat pertahanan negeri itu, dan dilaksanakan
secara sungguh-sungguh, sementara tim Reagan dapat memanen
hasilnya. Pengaktifan kembali lebih murah dibandingkan dengan
pembangunan kapal-kapal baru.
Desember 1980, Lehman dan Richard V. Allen -- yang segera
menjadi penasihat keamanan nasional Gedung Putih -- bersama-sama
mengusulkan pengaktifan kembali Iowa dkk kepada Presiden
terpilih Reagan dalam pertemuan di Blir House. Tuan Reagan
"sangat antusias", menurut Lehman -- dan ini menuju ke arah
rencana dimasukkannya New Jersey dan Iowa dalam rencana anggaran
belanja pertahanan tahun fiskal 1982 ini.
Dalam musim semi 1981, Congress menyediakan US$237 juta untuk
New Jersey. Pengajuan dana untuk memperlengkapi kapal perang
kedua, Iowa, masuk ke Congress akhir November. "Tapi usul itu
membangkitkan perdebatan yang panasnya luar biasa," kata Honan,
selama kalangan penerbangan AL lainnya tetap berperanan
memanas-manasi keadaan.
Senator Bumpers suatu saat sempat mengejek. "Jika meriam-meriam
16 inci begitu hebatnya," katanya, "mengapa tidak dipasang di
sebuah kapal satu di antaranya pada 35 tahun lalu?"
Senator Jeremiah A. Denton Jr., dari Partai Republik Alabama,
yang bangkit menjawab. Seperti yang rekannya tahu benar, Denton
pernah ditembak jatuh di atas Vietnam Utara pada 1965 dan
ditahan di "Hanoi Hilton" -- tak syak lagi julukan untuk penjara
komunis di sana -- selama 7% tahun. Sebagian besar pendengarnya
mengira ia sebagai bekas penerbang tentu akan melecehkan
kegunaan kapal-kapal perang.
Ternyata pembelaannya panjang lebar. "Saya tahu tanggapan rekan
Senator yang terhormat itu diberikan dengan tulus hati, dan
dengan tulus hati pula saya ingin menjawab," Senator Denton
memulai.
"Di Vietnam, kita kehilangan beratus-ratus pesawat dengan korban
jiwa yang besar, seperti juga dollarnya, yang mungkin dapat
diselamatkan jika kapal-kapal perang ada di sana. Sebuah kapal
perang telah menghancurkan jembatan Thanh Hoa, yang sedang saya
bom ketika tiba-tiba saya ditembak jatuh. Kita kehilangan lima
pesawat dalam satu hari hanya pada satu sasaran itu. Perlu saya
tekankan, bahwa jembatan Thanh Hoa berada hanya 12 mil ke
pedalaman --suatu jarak dengan enaknya dapat dicapai oleh meriam
16 inci yang dapat dipasang pada kapal-kapal semacam Iowa. Ini
alasan tambahan untuk mendukung penggunaan kapal-kapal perang
dan puji Tuhan, AL sedang mengusahakan pengaktifan kapal-kapal
semacam itu." Demikian Denton.
Tanggapan Senator Denton meluas dengan cepatnya ke sekitar Bukit
Capitol. Sejumlah rekan-rekan Denton berkata padanya: mereka
telah mengubah pikirannya. Beberapa hari kemudian, rencana
anggaran pertahanan untuk pengaktifan kembali kapal-kapal perang
-- yang masa depannya tak menentu itu -- mencapai perbandingan
suara 51 : 29.
Myers dan sobat lama AL-nya, Charles Haskell, bergembira. Dan
ketika mereka membaca bahwa Kapten Fogarty, komandan skuadron
kapal perusak, oleh AL telah diangkat sebagai nakoda New Jersey,
mereka menemuinya dan mengajaknya makan siang. Tentu di restoran
Portofino, ketika semua itu dimulai. "Kita mendukungnya, kata
Myers, tertawa tertahan. Dan dengan bergairah, pasangan
penerbang itu bercerita pada sang nakoda bagaimana mereka
menyelamatkan kapalnya --sementara Billy Mitchell, entah sedang
berada di mana, dalam keadaan bermurung-murung.
Pada tahun 1982, setelah meluncurkan kapal pengangkut bertenaga
nuklir Vinson, AL memiliki 13 pangkalan terapung semacam itu --
ke-13-nya pengangkut pesawat udara. Tapi kapal induk ini
terbilang 'anak manja'. Karena untuk setiap kali penugasan, dua
di antaranya pulang kandang untuk perbaikan, pengisian air dan
bahan bakar. Atau para awaknya ditatar kembali, penataran P4
misalnya. Inilah sebabnya, dalam prakteknya, setiap waktu hanya
4 atau 5 kapal induk yang mampu menggelandang ke seluruh penjuru
dunia.
"Keempat kapal perang klas Iowa telah diubah menjadi pangkalan
ofensif utama dengan dipasangnya peluru kendali Tomahawk," tulis
Honan. Tomahawk ini serupa dengan torpedo terbang, dengan
sayap-sayap pendek. Senjata perusak ini mampu menghantam
kapal-kapal pada jarak 1.500 mil. Kembali dipakainya kapal-kapal
perang telah meningkatkan jumlah pangkalan-pangkalan ofensif
terapung dari 13 menjadi 17 -- dampak praktisnya lebih dari itu.
Gertakannya dong.
Kapal-kapal perang ini ibarat kuda beban yang kurang memerlukan
overhaul (pemeriksaan) dibanding kapalkapal induk. Karena hanya
2 dari 4 kapal perang memerlukan pulang kandang pada waktu-waktu
tertentu. AL dapat meningkatkan jumlah pangkalan-pangkalan
ofensif yang bertugas di garis depan, dari 4 atau 5 menjadi 6
atau 7 buah. Pada 1986, setiap kapal perang dapat menjadi pusat
apa yang disebut 'kelompok aksi terapung' -- yang kekuatannya
hanya nomor dua di belakang kapal induk.
Para ahli strategi AL melihat peningkatan ofensif
pangkalan-pangkalan ini sebagai hal yang istimewa penting. --
"dalam kerangka konflik non-nuklir antara negara-negara
super-power. "Dalam keadaan demikian, musuh akan mencoba
menghadapinya dari pusatpusat pemusatan kekuatan militer lainnya
dan dari kekuatan AL di medan pertempuran. "Dan ini akan
menjurus ke arah konfrontasi di seluruh dunia yang dapat dengan
cepatnya beralih dari konflik lokal menjadi perang berskala
dunia," sang wartawan menyimpulkan.
Kebijaksanaan penugasan kembali kapal-kapal perang dalam
kerangka konflik kayak begini, dengan serunya diperdebatkan
dalam Congress -- sehubungan dengan rencana pengaktifan kembali
kapal-kapal tua itu tadi. Senator Ted Stevens, anggota Partai
Republik dari Alaska, mengemukakan bahwa kapal-kapal perang
telah menjadi "bukan apa-apa kecuali gudang peluru kendali
terapung." Ia menganggap kapal selam dapat melakukan hal yang
lebih baik. Kapal selam, ujarnya, "lebih sukar dilacak oleh
musuh."
John Lehman, Kepala Staf AL, sependapat dengan manfaat yang
lebih dari kapal selam. Ia menunjuk bahwa 4 kapal selam
bertenaga nuklir telah diperlengkapi dengan peluru-peluru
kendali. Ia mengakui, memperlengkapi kapal-kapal selam dengan
peluru kendali adalah urusan yang berjalan lambat dan mahal. Dan
ia menentang pembancian kapal-kapal selam sebagai bagian dari
senjata pamungkas anti-senjata nuklir nasional, ke dalam wadah
persenjataan konvensional. Dari segi jumlah, katanya,
"pengaktifan kembali kapal-kapal perang lebih cepat dan lebih
murah ketimbang membangun kapal-kapal selam." Buktinya, dengan
pengaktifan kembali itu, ongkos yang dapat dihematkan berkisar
sekitar sekian ratus dollar lebih murah dibanding jika dilakukan
pembangunan sebuah kapal selam baru.
Norman Polmar, juga menulis masalah AL, lebih menyukai kapal
perusak klas Spruance sebagai pangkalan peluru kendali khusus
kapal. Diperlukan 3 kapal perusak untuk mengangkut sejumlah
peluru kendali yang mampu diangkut oleh satu kapal perang saja
-- yang Polmar sendiri iyakan. Tapi, katanya berdalih, kan bisa
jadi sasaran musuh yang telanjang dan tunggal? "Bagi sebuah
satelit," katanya. "Kapal perang nongol seperti jempol yang
sakit. Tapi, jika kita menempatkan peluru kendali di 3 kapal
perusak musuh sukar memilih yang mana di antara 50 kapal perusak
kita yang ada peluru kendalinya. Ini memaksa musuh mengirimkan
kapal-kapal terbangnya untuk,,mengintip setiap kapal perusak
kita".
NAMUN Lehman mengatakan bahwa AL tidak berminat memasang
peluru-peluru kendali di kapal-kapal perusak klas Spruance, jika
tiba masanya kapal-kapal perusak itu harus diperbaharui
persenjataannya.
Lehman tidak setuju jika kapal-kapal perang seperti seseorang
sedang nongkrong di atas punggung bebek. "Dengan satelit dan
lain peralatan pengintai," katanya, "Kapal 10.000 ton dengan
gampang dapat ditemukan bagai menemukan kapal 70.000 ton." Dalam
keadaan demikian, menurut Lehman, kapal yang besar harus pula
memiliki kemampuan yang sama besar -- baik dalam membaui musuh
maupun dalam persenjataan. Ini termasuk dimilikinya peralatan
kontrol pamungkas, serta ketahanan menangkis serangan dan
melancarkan serangan.
"Kapal-kapal perang klas Iowa secara khusus mampu tetap berjaya
kini," katanya pula. "Mereka dibangun untuk mampu bertahan dan
melawan berbagai peluru persenjataan yang ampuh dalam Perang
Dunia II. Dan peluru-peluru itu mempunyai daya penetrasi yang
lebih besar daripada senjata-senjata pilihan masa kini
sejenisnya -- misalnya: peluru kendali dengan daya ledaknya yang
begitu tinggi." Peluru kendali dengan kepala yang sangat
eksplosif itu dapat membinasakan secara total kapal-kapal
raksasa bikinan sesudah Perang Dunia II --yang dibuat dari
aluminium dan fibreglass, tapi tidak seberat kapal besi jenis
Iowa. Permusnahan umat manusia yang tanpa ampun.
"Yakinlah," kata wartawan Honan di bagian akhir tulisannya,
"perang yang sesungguhnya -- di luar perang dalam kamar penuh
tombol-tombol yang sedang dipersiapkan AS dan Soviet -- tidaklah
akan berakhir dengan rapi seperti yang direncanakan dalam
skenario." Sekali peti-peti mati terselimut bendera berarak
pulang, pertanyaan serius akan muncul: apakah kedua belah pihak
dapat menahan diri dari jor-joran membikin senjata-senjata
nuklir?
Tapi seperti dalam kisah Armageddon dalam Injil (pertarungan
akhir buruk-baik), apakah konflik itu dapat membuat orang
berpikir 2 kali? "Yang alasan masuk akal akan berjaya, bahwa
kapal-kapal perang yang masih terus dilecehkan itu akan mampu
berperan secara bermanfaat bagi pemeliharaan demokrasi".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini