Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kenaikan itu tak bisa ditunda

Pidato rapbn presiden soeharto di dpr. secara keseluruhan pemerintah menaikkan anggaran semua sektor. gaji pegawai negeri naik. subsidi bbm dihapus. harga-harga barang melonjak.

16 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENUH kejutan, itulah kesan para pakar ekonomi dan pengusaha yang menyimak pidato RAPBN dari Presiden Soeharto di layar televisi masingmasing Kamis pekan lalu. Hampir separuh dari isi pidato kenegaraan itu melaporkan berbagai kemajuan yang membuat hati pendengarnya berbungabunga. Sebut saja beberapa indikator. Laju inflasi misalnya, 5%, neraca pembayaran mantap, defisit menurun. Bahkan dikatakan, hargaharga yang stabil telah membuat pengusaha dan petani menjadi lebih produktif. Dan Presiden memperkuat asumsi itu dengan mengatakan, ''Hargaharga yang terus membumbung, merupakan sumber kesengsaraan masyarakat dan keresahan sosial.'' Sampai di situ adem ayem rasanya. Pemirsa baru termanggumanggu ketika Presiden menekankan tentang pentingnya peningkatan tabungan, dengan cara meningkatkan penerimaan pajak dan menghapuskan subsidi. Lima jenis pajak, yang menjadi sektor penerimaan dalam negeri, kali ini ditargetkan naik, terutama pajak penghasilan (PPh). Target PPh 199394 ditetapkan Rp 14,8 trilyun, naik 36% dari target tahun anggaran berjalan yang Rp 10,93 trilyun. Sementara itu PPN akan naik Rp 650 milyar menjadi Rp 11,68 trilyun. Rendahnya target PPN, oleh kalangan pengusaha yang dihubungi TEMPO, ditafsirkan karena pemerintah menyadari bahwa di tahun ayam ini tidak akan terjadi lonjakan produksi yang berarti. Setelah PPN dan PPh, andalan penerimaan nonmigas dibebankan pada bea masuk dan cukai, yang masingmasing dipatok pada angka Rp 3 trilyun dan Rp 2,4 trilyun. Kedua target tidak mencatat kenaikan berarti. Bea masuk, misalnya, hanya naik Rp 65 milyar, sedangkan kenaikan cukai dianggarkan Rp 57 milyar. Kalau cukai naik sedikit tentulah karena sektor ini sedang dilanda masalah tata niaga cengkeh. Tapi target penerimaan bea masuk, yang nyaris tak berarti, sungguh mengundang tanda tanya. Padahal sejak pertengahan 1991 (tepatnya paket Mei, lalu memuncak di Paket Juli 1992) pemerintah telah menurunkan berbagai deregulasi yang semestinya bisa memacu investasi. Bila saja berbagai deregulasi itu lancar, semestinya target penerimaan bea masuk pada anggaran 199394 bisa lebih tinggi. Sektor migas, kendati sumbangannya terus menurun, masih tetap diandalkan. Dengan memasang harga patokan 18 dolar per barel, penerimaan minyak bumi dan LNG untuk tahun 199394 ditargetkan Rp 15,13 trilyun, atau 24,2% dari total penerimaan. Tentang penetapan harga patokan minyak yang 18 dolar, pemerintah punya alasan yang berbau historis. Menoleh ke belakang, pada tahun 199091, APBN menetapkan harga patokan 19 dolar per barel. Nyatanya harga ratarata minyak hanya 18,55 dolar alias di bawah patokan. Kalau sekarang ditetapkan 18 dolar per barel, menurut seorang pejabat tinggi, sudah cukup realistis. Soalnya, walaupun fluktuasi harga minyak tak pernah berhenti, harga ratarata yang terjadi selalu di atas 18 dolar. Paling tidak, antara Desember 1989 Desember 1992. Tapi pengamat ekonomi melihatnya lain lagi. Djisman Simanjuntak menganggap patokan yang diambil pemerintah terlalu tinggi. Terjadinya slowdown di lingkungan industri di Jepang dan negaranegara Eropa Barat akan mendorong turunnya harga minyak ke angka 16 dolar per barel. Jisman berpendapat, pada angka itulah patokan seharusnya ditetapkan. Ia juga melihat, adanya over estimate dari penetapan target PPh yang naik 36%. Kendati pemerintah akan memperluas wajib pajak serta membenahi administrasi pelaksanaannya, kedua hal itu bukanlah perkara yang mudah dilakukan. Selain itu, tekad pemerintah untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 25% juga dipertanyakan. Soalnya, di samping kenaikan harga BBM serta listrik -- yang jelasjelas akan menaikkan biaya produksi -- pengembangan nonmigas ini pun masih menghadapi berbagai kendala. Masalah infrastruktur belum teratasi secara menyeluruh, sementara itu ekonomi di negara industri masih lesu, belum lagi perisaiperisai proteksi yang dipasang oleh blokblok perdagangan. Terlepas dari beda pendapat itu, secara keseluruhan anggaran semua sektor menaik. Anggaran rutin untuk gaji dan pensiun, contohnya, naik 19,1% karena per Januari ini gaji dan pensiun pokok pegawai negeri akan naik 12%18%. Tak kurang menarik adalah penghapusan subsidi BBM yang terasa begitu khas, terutama karena pemerintah mengumumkannya pada hari yang bersamaan dengan RAPBN, tanpa menunggu rencana anggaran itu dibahas dulu oleh DPR. ''Tidak mudah bagi saya untuk mengambil keputusan ini,'' kata Presiden ketika berbicara soal migas. ''Tapi saya sadar, penundaan keputusan ini hanya berarti penundaan kesulitan yang lebih besar di kemudian hari.'' Presiden lalu mengemukakan beberapa alasan. Harga Premium dinaikkan 27% menjadi Rp 700 per liter, karena BBM jenis ini lebih banyak digunakan oleh kendaraankendaraan pribadi (lihat tabel). Akan halnya solar, yang selama ini diperlakukan sebagai anak emas, terpaksa dinaikkan Rp 80 rupiah menjadi Rp 380 per liter (26,6%) lantaran terlalu banyak menyerap subsidi. Adapun minyak tanah, lain lagi pertimbangannya. Pertama, pemerintah punya niat untuk menggiring konsumen supaya berangsurangsur menggunakan batu bara, yang harganya lebih murah. Kabarnya sudah ada persiapan ke arah sana, kendati belum dipastikan kapan briket batu bara sebagai bahan bakar akan diperkenalkan. Yang pasti, harga minyak tanah ''terpaksa'' ikut dinaikkan agar harganya tak terlalu jauh dari harga solar. Juga, seperti kata Ginanjar, untuk menghindari pemakaian minyak tanah sebagai pencampur solar, yang akibatnya mempercepat kerusakan mesin. Dari penghapusan subsidi BBM, pemerintah bisa menghemat anggaran sekitar Rp 3 trilyun. Namun dampak kenaikan BBM ini mengibas ke kiri dan ke kanan. Banyak yang menjadi korban. Pertama yang terkena adalah PLN, yang menghabiskan 56% dari total biayanya untuk membayar solar dan minyak bakar. Kini biaya produksi (sekaligus harga jual) setrum PLN ikut terkerek sebesar 13%. Dan jika listrik ikut naik, maka biaya produksi di berbagai sektor industri pun dengan sendirinya membengkak. Untuk memperkecil dampak negatif dari kenaikan listrik dan BBM, pemerintah memasang berbagai ''barikade''. Tarif listrik untuk rumah tangga golongan berpenghasilan rendah serta pengusaha kecil misalnya, kendati sudah dinaikkan, masih berada di bawah harga pokok produksi. Untuk menutupinya, tarif setrum golongan pamakai besar (seperti hotel mentereng dan industri raksasa) ditetapkan di atas biaya produksi. Jadi ada semacam subsidi silang di PLN. Sedangkan untuk mengendalikan akibat dari kenaikan BBM, pemerintah hanya mengizinkan kenaikan tarif bagi angkutan udara sebesar 10%, laut 6%, kereta api kelas ekonomi 5%, dan tarif bus antarkota sebesar 6,5%. Secara tersirat bisa diartikan juga bahwa kenaikan biaya operasi bagi taksi, bus kota, dan metromini sepenuhnya menjadi tanggungan pihak pengemudi. Tapi andai kata kenaikan hargaharga kebutuhan pokok semakin menekan daya tahan ekonomi mereka, bukan mustahil angkutan swasta ini kelak juga ikut menaikkan tarif. Lagi pula kan tidak ada larangan untuk melakukan hal itu. Di sektor angkutan barang mungkin akan terjadi hal yang sama. Padahal angkutan barang merupakan faktor utama, dan paling mudah menjadi pemicu bertambah tingginya harga jual produk industri maupun pertanian. Tak pelak lagi, konsumen dalam negerilah yang paling dirugikan. Dan tampaknya, konsumen lokal memang tak dijadikan pertimbangan utama oleh pemerintah dalam mengambil keputusan. Menteri Ginanjar pun hanya memperhitungkan dampak kenaikan terhadap daya saing barang dan jasa produksi Indonesia di pasar internasional. Katanya, dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya, harga BBM dan tarif listrik di Indonesia masih jauh lebih murah, sehingga kenaikan ini tidak akan berpengaruh pada daya saing produkproduk Indonesia. Entah mengapa, konsumen lokal luput dipertimbangkan. Padahal, dibandingkan dengan rekanrekan seASEAN, pendapatan per kapita Indonesia masih paling kecil (lihat tabel). Berdasarkan laporan Bank Dunia 1991, pendapatan per kapita Indonesia hanya 570 dolar. Itu pun belum merata benar sebab, beberapa bulan setelah laporan itu diterbitkan, ada seorang pengamat ekonomi dari Jawa Timur yang menyebutkan bahwa di banyak daerah (terutama Indonesia Bagian Timur) pendapatan per kapitanya masih antara 80 dan 200 dolar per tahun. Lihatlah Filipina yang tahun 1988 saja sudah mencatat pendapatan per kapita 667 dolar. Sedangkan Malaysia dan Thailand (tahun 1989) masingmasing 2.130 dolar dan 1.170 dolar. Jika dibandingkan dengan Singapura (8.700 dolar pada 1988) dan Brunai (20 ribu dolar pada 1989), Indonesia benarbenar ketinggalan jauh. Akhirnya, haruslah dilirik pengeluaran pembangunan yang naik 10,1% menjadi Rp 25,22 trilyun, sedangkan prioritasnya berubah sedikit. Sektor perhubungan dan prasarana tetap anggarannya terbesar -- Rp 3 trilyun di antaranya untuk rehabilitasi dan pemeliharaan jalan sepanjang 48 ribu kilometer. Adapun jalan baru yang akan dibangun 375 kilometer dan jembatan sepanjang 365 meter. Akan halnya subsektor Pariwisata -- yang dua tahun ini gencar dipromosikan -- hanya kebagian Rp 57,7 milyar. Menteri Keuangan Sumarlin membantah kalau dikatakan jumlah ini tak seberapa. Alasannya, pengembangan pariwisata ditunjang oleh sektorsektor lain, seperti jalan dan pelabuhan. Sedangkan untuk promosi ke mancanegara lebih diserahkan kepada pihak swasta, seperti pemilik hotel dan maskapai penerbangan. Nomor dua dalam kapasitas menyedot anggaran adalah Sektor Pendidikan, direncanakan Rp 3,564 trilyun, dengan alokasi terbesar untuk biaya peningkatan mutu 278.500 guru SD SLTA. Terbesar ketiga adalah Sektor Pembangunan Daerah, Desa, dan Kota yang menyerap anggaran Rp 3,561 trilyun. Dengan kenaikan 22%, bantuan untuk DT I dan DT Il naik. Contoh: Untuk DT II besarnya bantuan ditetapkan Rp 5.000 per jiwa (naik Rp 1.000). Sedangkan bantuan minimum per kabupaten meningkat sepertiganya menjadi Rp 1 milyar. Sektor Pertambangan dan Energi (peringkat keempat) akan menerima kucuran Rp 3,3 trilyun, terutama digunakan untuk menaikkan kapasitas listrik menjadi 2.218 MW, Peringkat kelima jatuh pada Sektor Pertanian dan Pengairan, dengan anggaran Rp 3 trilyun yang sebagian akan dipakai untuk mencetak 50 ribu hektare sawah Dari berbagai angka tersebut, apakah Indonesia sudah mencatat kemajuan dalam membiayai pembangunannya sendiri? Ya dan tidak. Pada RAPBN, sisi penerimaan untuk biaya proyek dan program terlihat adanya penurunan tipis yakni sekitar Rp 100 milyar, Dan dananya tetap dari pinjaman luar negeri, namun yang sudah committed sejak tahun lalu. Tidak adanya upaya pemerintah untuk mencari sum ber pinjaman baru mudah mudahan saja merupakan rintisan ke depanuntuk mandiri. Ini penting dan tak bisa ditunda, terutama karena dalam RAPBN tahun ini cicilan utang dan bunga yang harus dibayar masih tinggi, yakni Rp 1614 trilyun, hampir setengah (44,2%) dari total anggaran pengeluaran, Budi Kusumah, Ivan Haris, Iwan Qodar, Dwi S , Irawanto, Llnda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus