Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepulangnya dari Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, Desi Ayu Triana merasa letih dan pegal-pegal selama sepekan. Padahal ia sudah sering naik gunung untuk melakoni hobi birdwatching atau mengamati burung maupun menjadi pemandu wisata birdwatching bagi tamu asing. Biasanya, kalaupun pegal, paling hanya muncul selama tiga hari. “Ini seminggu tidak enak. Baru ketahuan, deh, hamil,” kata Desi kepada Tempo, Rabu, 28 Desember 2022.
Walau tahu tengah berbadan dua, Desi tetap melakoni aktivitas birdwatching hingga usia kandungannya mencapai sembilan bulan. Bahkan, setelah melahirkan pada Maret 2018, Desi mengajak putrinya, Kenkyona, yang berusia 1 bulan, ke Hutan Mangrove PIK untuk mengamati burung-burung liar. Rutinitas tersebut berlanjut hingga sang anak kini telah berusia 4 tahun.
Perempuan berusia 30 tahun itu, selain melakukan birding—nama lain dari birdwatching—di area rumahnya, kerap mengajak Kenkyona ke hutan dan taman kota di Ragunan, Pluit, hingga kamping di gunung setiap tahun. Ia ingin mengenalkan alam kepada si buah hati sejak dini. “Sebisa mungkin pengin dia nyaman di alam. Jadi, nanti punya kemauan sendiri buat jaga alam. Amatin burung di alam, bukan di kandang,” kata Desi.
Selama diajak melakukan birdwatching, Kenkyona tak pernah rewel. Desi mengatakan, menurut teman-temannya sesama birdwatcher, sang anak anteng diajak birding karena sudah dibiasakan sejak dalam kandungan. Desi mengatakan putri semata wayangnya itu selalu antusias mencari spesies burung liar. Jika ada burung yang tampak, Kenkyona akan menunjuk obyek satwa liar yang ditemuinya itu.
Desi Ayu Triana dan putrinya, Kenkyona, di tower pengamatan burung, Pulau Rambut. Dok Pribadi
Desi mengungkapkan, anaknya paling girang ketika diajak mengamati burung di kawasan Teluk Jakarta. Sebab, spesies burung di sana berukuran besar, seperti cikalang Christmas dan cangak abu. “Di Angke melihat cangak abu makan katak atau lele, ‘Wah, makan ikan nih, Bu’,” kata Desi menirukan ucapan anaknya.
Meski usianya baru 4 tahun, Kenkyona sudah mampu mengidentifikasi beberapa spesies burung, seperti burung gereja, kutilang, cangak abu, cangak merah, kuntul kecil, kuntul besar, pecuk padi, dan itik benjut. Jenis yang paling diingat Kenkyona adalah cikalang Christmas karena ukuran tubuhnya yang besar mencapai 2 meter, dan ketika terbang mirip tokoh fiksi pahlawan super, Batman.
Selain mengenalkan satwa lewat aktivitas birdwatching, Desi mengedukasi Kenkyona lewat buku. Sejak hamil, ia sudah mengumpulkan buku-buku bergambar burung, ensiklopedia yang minim tulisan, serta tempelan magnet. Sang anak, kata Desi, juga suka menonton video dokumentasi kegiatan birdwatching. “Kalau pengamatan lagi enggak bawa dia, dia selalu nanya, ‘Ibu lihat apa?’. Ya sudah, saya setelin video, lihatin di laptop,” ujarnya.
Desi menuturkan ada banyak manfaat ketika mengenalkan alam serta satwa kepada anak sejak dini. Sang anak menjadi lebih aktif, ceria, berani, tidak rewel, tidak manja, mudah bersosialisasi dengan orang lain, kemampuan berbicaranya berkembang dengan cepat, serta imajinatif. “Kalau pengamatan, lebih bisa berimajinasi buat ngegambar. Walau gambarnya masih bocah, orang bisa mengenali obyek yang dia gambar.”
Birdwatcher Jakarta, Ady Kristanto, di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta, 28 Desember 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Koordinator Jakarta Birdwatcher’s Society, Ady Kristanto, mengatakan penting mengenalkan anak terhadap alam dan satwa liar sejak dini. Sebab, Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, tapi tidak semua orang mengenalnya. Dengan mendekatkan anak pada alam dan satwa, mereka bisa ikut melestarikan.
Ady bersama komunitasnya pun memiliki program untuk mengajak anak melestarikan satwa liar, terutama burung. Program andalan ini bernama Jakarta Bird Walk, yang selalu diadakan setiap bulan di lokasi berbeda. Pesertanya kerap mengajak anak-anak terlibat dalam aktivitas ini. “Dari beberapa pengalaman saya, mereka excited lihat burung. Terutama di pesisir karena burungnya gede,” kata pria berusia 39 tahun itu.
Peneliti burung dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dewi Malia di Gunung Salak. Dok Pribadi
Peneliti burung dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dewi Malia, turut mendukung para orang tua yang mengenalkan satwa liar, terutama burung, kepada anaknya sejak dini. Selain dapat memberikan pengetahuan, anak akan berupaya mengenali burung dan menjaga alamnya atau peduli terhadap konservasi sejak dini.
Dewi menjelaskan, kegiatan pengamatan burung oleh anak-anak ini sudah menjadi hal lumrah di luar negeri. Ketika melakukan pengamatan pada musim migrasi burung elang di Taiwan, Dewi pernah berjumpa dengan sekelompok anak sekolah yang diajak gurunya untuk melakukan birdwatching. “Jadi sudah tahu tiap tahun ada di situ, tanggal berapa sampai tanggal berapa, mereka belajar. Memang diajar untuk mengamati,” kata perempuan yang sudah lebih dari 40 tahun meneliti keragaman jenis burung di Indonesia itu.
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo