Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Menaikkan Harga, Membatasi Pengguna

Kenaikan harga BBM bersubsidi belum cukup untuk mencegah pembengkakan subsidi dan kompensasi. Pemerintah dinilai juga perlu membatasi pengguna Pertalite dan solar.

1 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Antrean sepeda motor mengular sepanjang 50 meter di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Dr Surya Sumantri, Kota Bandung, kemarin sore. Adam Gozali, 33 tahun, yang ikut dalam barisan, harus menunggu 15 menit untuk dilayani. Padahal biasanya, menurut dia, panjang antrean hanya 7-10 sepeda motor.

Ia mengaku mendengar para pembeli menyerbu SPBU karena ada isu kenaikan harga Pertalite dan solar mulai hari ini. "Saya sendiri mengisi bensin karena memang sudah tiris (bukan karena isu kenaikan harga BBM)," ujar dia. Namun, pada akhirnya, Adam mengisi penuh tangki sepeda motornya karena terpengaruh kabar kenaikan harga BBM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Masih di Kota Bandung, antrean terjadi pula di SPBU PHH Mustofa. Barisan sepeda motor sepanjang 100 meter membuat macet arus lalu lintas. Di kawasan Ibu Kota, antrean terpantau di SPBU Palmerah, Jakarta Selatan, hingga SPBU Ciputat dan Pamulang, Tangerang Selatan. Beberapa media melaporkan pula antrean pembeli di Temanggung, Jawa Tengah; dan Gunungkidul, Yogyakarta.

"Sebagian SPBU diserbu masyarakat karena ada kekhawatiran harga BBM akan naik," kata Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, kemarin.

Munculnya isu kenaikan harga Pertalite dan solar pada hari ini berawal dari sinyal-sinyal yang dikirim pemerintah. Sejak awal bulan lalu, sejumlah menteri menyuarakan beratnya beban keuangan negara akibat subsidi dan kompensasi BBM yang membengkak. Anggaran subsidi dan kompensasi BBM serta elpiji yang disiapkan sebesar Rp 62,7 triliun tidak cukup. Pemerintah lantas menambah alokasi anggaran menjadi Rp 149,4 triliun untuk tahun ini. Sementara itu, kompensasi BBM yang dibayarkan mencapai Rp 252,5 triliun.

Itu sebabnya, dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, hingga Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kompak menyinggung rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Pada Senin, 29 Agustus lalu, pemerintah juga mengumumkan program bantuan sosial yang disebut sebagai hasil pengalihan subsidi BBM. Luhut menyebutkan program ini bertujuan mengantisipasi kenaikan harga BBM.

Produk bahan bakar minyak jenis pertalite di SPBU Malang, Jawa Timur. Tempo/Aris Novia Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan lalu, sumber Tempo menyatakan pemerintah sudah mempersiapkan kenaikan harga Pertalite dan solar hingga Rp 2.000-3.000 per liter. Presiden Joko Widodo bakal mengumumkan kebijakan tersebut dalam waktu dekat. Jika kenaikan harga BBM ini diimplementasikan, Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eddy Soeparno menyatakan kebijakan itu saja belum cukup menyelesaikan masalah subsidi BBM. "Harus diikuti oleh pembatasan Pertalite dan solar," ujarnya. Pemerintah harus menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Di satu sisi, Eddy mengimbuhkan, kenaikan harga BBM subsidi diperlukan agar selisihnya dengan harga keekonomian tak terlalu besar. Dengan begitu, beban yang harus ditanggung pemerintah bisa berkurang. Pertalite sekarang dijual seharga Rp 7.650 per liter, padahal harga sesungguhnya Rp 14.450 per liter. Sementara itu, solar yang memiliki harga keekonomian Rp 13.950 per liter dijual Rp 5.150 per liter.

Pentingnya Pembatasan Konsumsi

Di sisi lain, pembatasan sangat diperlukan untuk mengontrol konsumsi BBM bersubsidi. Anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun ini meningkat karena penyerapan Pertalite serta solar melebihi kuota. Tanpa penambahan anggaran, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan kuota solar yang sebesar 14,9 juta kiloliter dan Pertalite 23 juta kiloliter cuma cukup hingga Oktober.

Eddy mengatakan pembatasan tidak hanya penting untuk mengamankan penyaluran tahun ini, tapi juga dalam jangka panjang. "Tahun ini, penjualan mobil dan sepeda motor sangat tinggi, berarti konsumsi BBM ke depan akan meningkat juga."  

Saat ini hanya solar yang diatur penggunanya oleh pemerintah, meskipun belum detail. Pengaturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Sementara itu, Pertalite belum memiliki aturan khusus. Perpres Nomor 191 Tahun 2014 melarang mobil barang pengangkut hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam membeli solar.

Eddy mengatakan revisi Perpres 191 Tahun 2014 bisa menjadi jalan untuk mewujudkan pembatasan BBM bersubsidi. Selain memperjelas kriteria pengguna solar, harus ditentukan kriteria konsumen Pertalite.

Revisi aturan ini sudah didorong sejak awal tahun oleh Komisi Energi DPR. BPH Migas selesai menyusun rancangan perubahan aturan tersebut pada pertengahan tahun ini. Bicara kepada Tempo pada Juni lalu, Koordinator Pengaturan BBM BPH Migas, I Ketut Gede Aryawan, menyatakan naskahnya sudah sampai ke meja Presiden Joko Widodo.

Namun hingga saat ini belum ada titik terang soal revisi peraturan itu. Saat dihubungi kemarin, Ketut menyatakan masih ada pembahasan lanjutan lintas kementerian. "Ada opsi-opsi baru mengenai kriteria penggunanya, seperti berapa angka cc (kapasitas mesin) kendaraannya," ujarnya.

Pengendara sepeda motor mengisi bahan bakar minyak jenis pertalite di SPBU Pertamina, Jalan Abdul Muis, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Dibatasi Berdasarkan Kapasitas Mesin

Dalam rancangan awal revisi Perpres 191, BPH Migas mengusulkan agar Pertalite dan solar dibatasi berdasarkan jenis kendaraan. Pertalite, misalnya, akan dibatasi untuk kendaraan pelat hitam saja dengan mesin di bawah 2.000 cc. Untuk solar, salah satu usulannya adalah melarang konsumsi bagi kendaraan pelat hitam.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Istana belum bersuara soal kelanjutan revisi perpres itu. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi, Tutuka Ariadji; serta Staf Khusus Presiden, Arif Budimanta, tak menjawab permintaan konfirmasi Tempo. Padahal sebelumnya Menteri Energi Arifin Tasrif menyebutkan aturan baru bisa diterbitkan pada Agustus 2022.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan revisi Perpres 191 merupakan kunci untuk mencegah kebocoran kuota dan penyalahgunaan BBM bersubsidi. Terlebih jika memanfaatkan sistem digital untuk mengawasi pelaksanaannya. Menurut dia, inisiatif menggandeng Pertamina lewat aplikasi MyPertamina patut disiapkan dengan serius sehingga pengawasan lebih mudah.

Dia mengusulkan Pertalite dibatasi untuk kendaraan roda dua dan kendaraan pelat kuning dengan roda maksimal empat. "Lebih mudah dibanding mengatur besaran cc dan tahun kendaraannya," kata dia.

Namun kebijakan tersebut harus dibarengi dengan kenaikan harga BBM. Mamit menilai harga BBM bersubsidi harus dibuat mendekati harga keekonomian agar selisihnya dengan bahan bakar nonsubsidi makin kecil. Dengan begitu, masyarakat yang tidak berhak tak tergoda membeli BBM bersubsidi.



Peneliti senior dari Indef, Faisal Basri, pun menilai sudah saatnya BBM bersubsidi naik harga. Dia menyebutkan harga jual eceran di bawah keekonomian menjadi sumber utama kuota BBM subsidi selalu cepat habis. Sebab, harganya terpaut jauh dari BBM nonsubsidi. Pemerintah pada akhirnya harus menombok biaya belanja karena kuotanya selalu lebih dari estimasi. "Malaikat pun akan membeli yang lebih murah kalau ada dua harga," kata dia.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyatakan pembatasan seharusnya dilakukan sejak awal tahun ini untuk mencegah kuota dan anggaran terlampaui. Melihat kondisi sekarang, dia menilai kebijakan ini makin mendesak. Sebab, tahun ini terjadi kenaikan harga BBM nonsubsidi. "Ada jarak (harga) yang lebar sehingga pasti banyak yang beralih ke BBM bersubsidi yang lebih murah." 

Apa pun cara pembatasan yang akan ditempuh pemerintah, dia berharap tidak ada masalah baru yang timbul. Salah satu yang dia soroti adalah rencana penyaluran lewat aplikasi MyPertamina. "Tidak semua yang berhak membeli BBM bersubsidi melek digital," ucapnya. Skema pembatasan yang dirancang nantinya harus mampu menjawab masalah tersebut.

CAESAR AKBAR | ARRIJAL RACHMAN | KHORY ALFARIZI | MAJALAH TEMPO | VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus