Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Berita Tempo Plus

Kehilangan Pendapatan Akibat Berobat ke Luar

Negara berpotensi kehilangan Rp 110 triliun setiap tahun karena masyarakat memilih berobat dan membeli obat ke luar negeri.

14 Maret 2023 | 00.00 WIB

Sejumlah obat Hepatitis C yang dibeli di India. Dok. TEMPO/Frannoto
Perbesar
Sejumlah obat Hepatitis C yang dibeli di India. Dok. TEMPO/Frannoto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Indonesia diperkirakan kehilangan pendapatan Rp 110 triliun tiap tahun karena warganya membeli obat di luar negeri.

  • Jasa penitipan marak untuk obat penyakit khusus yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.

  • Pemerintah mesti memetakan produk obat yang masa patennya sudah habis agar bisa ikut memproduksi.

JAKARTA – Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia memperkirakan pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan mencapai triliunan rupiah dari transaksi obat masyarakat di luar negeri saban tahun. Masyarakat memilih membeli obat di luar negeri karena harga obat di dalam negeri lebih mahal daripada di negara lain akibat pemerintah belum bisa memproduksi obat paten secara mandiri.

"Banyak masyarakat yang membeli obat di luar negeri karena harganya lebih murah. Tapi tidak semuanya karena harga obat generik di Indonesia juga sudah murah,” kata Ketua Umum GP Farmasi Indonesia, Elfiano Rizaldi, kemarin, 13 Maret 2023.

Kementerian Kesehatan mencatat negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp 110 triliun setiap tahun karena masyarakat memilih berobat dan membeli obat ke luar negeri. Per tahun, Kemenkes mencatat jumlah orang Indonesia yang berobat dan membeli obat ke luar negeri mencapai 1-2 juta orang. Selain itu, sebagian warga Indonesia memanfaatkan jasa penitipan untuk membeli obat di Singapura dan Malaysia lantaran mahalnya obat berkualitas di dalam negeri.

Elfiano mengatakan jasa penitipan marak dimanfaatkan untuk membeli obat penyakit khusus, seperti kanker dan jantung, di luar negeri. Obat-obat tersebut belum bisa diproduksi di dalam negeri. “Obat yang dibeli itu merupakan obat yang tidak ditanggung BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan karena mahal. Dan yang membelinya itu orang mampu,” ucapnya.

Pemerintah belum bisa memproduksi obat tersebut karena sebagian besar masa patennya belum habis. Dengan demikian, harga di dalam negeri bergantung pada perusahaan asing yang mengimpor obat itu. “Dan dijual mahal. Seharusnya pemerintah mengklasifikasi dan mengidentifikasi obat yang dianggap mahal serta marak di-jastip sekarang,” ujarnya. “Setelah diidentifikasi, jika terlalu mahal, bisa langsung ditanyakan ke perusahaan yang memasukkan obat itu. Mengapa jual mahal.”

Masalah lain yang menyebabkan harga obat di Indonesia lebih mahal adalah 90 persen bahan baku obat belum bisa diproduksi di dalam negeri. Indonesia, kata dia, belum bisa seperti India yang memproduksi sendiri bahan baku obat. “Kalau bahan baku impor kan kena pajak.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Imam Hamdi

Bergabung dengan Tempo sejak 2017, setelah dua tahun sebelumnya menjadi kontributor Tempo di Depok, Jawa Barat. Lulusan UPN Veteran Jakarta ini lama ditugaskan di Balai Kota DKI Jakarta dan mendalami isu-isu human interest.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus