Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Ketika Batas Religi Meleleh

Sekat agama bisa pudar di daerah bencana. Di tenda-tenda pengungsian, kebersamaan terjalin.

14 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum sempat Felix Mahmudi mendinginkan kepala yang nyut-nyutan diterjang terik matahari Aceh. Dia baru saja menjejakkan kaki di sebuah ruang pertemuan di Desa Babah Jurong, Kuto Baro, Aceh Besar. Sepotong pertanyaan lugas dari seorang penduduk menyodok Felix, "Bapak ini agamanya apa?"

Felix Mahmudi, Wakil Direktur Padma (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian) Indonesia, sadar bahwa pertanyaan semacam ini pasti akan muncul di tengah kerja sosial di Nanggroe Aceh Darussalam. Lalu, dengan tenang pria berusia 34 tahun ini menjawab: "Saya beragama Katolik."

Percakapan itulah yang membuka jalinan kerja sama Padma Indonesia dengan Dayah (pesantren) Riyadussalihin, Kuta Baro, Aceh Besar. Pada Januari silam, Padma menyatakan niat untuk membantu Riyadussalihin. Pesantren tertua di Aceh ini umurnya sudah seabad, memang, sedang meng-alami kesulitan. Setelah tsunami menghantam bumi Aceh, akhir 2004, pesantren ini ramai didatangi anak-anak yatim yang kehilangan orang tua dan kerabat. Dengan diantar sanak famili, bocah-bocah yatim ini memohon diberi kesempatan menjadi santri Riyadussalihin.

Persoalannya, daya tampung Riyadussalihin tidak cukup besar. Gedung pesantren ini cuma sanggup memuat 150 anak. Bangunannya pun sudah reot di sana-sini. Kini, de-ngan tambah-an anak yatim pascatsunami, Riyadussalihin terpaksa dihuni 275 anak. Yang juga mengenaskan, pesantren ini hanya punya tiga bilik tidur untuk anak perempuan. Padahal, ada 30 santri perempuan di sana. Walhasil, sebagian anak gadis mesti tidur di balai pengajian. Karena itulah Padma Indonesia ingin mengulurkan ta-ngan, membantu pembangunan asrama yang lebih layak. "Fungsi pesantren sebagai tempat pembinaan rohani sangatlah penting," kata Felix.

Tapi, niat Padma Indonesia tidak dengan serta-merta disambut gegap-gempita. Pekan-pekan pertama, penduduk banyak yang bersikap waspada. Mereka curiga jangan-jangan Padma datang dengan agenda kristenisasi, sebuah kecurigaan yang dengan gampang meledak jadi keresahan sosial. "Saya menghadapi kecurigaan ini dengan sikap blak-blakan sejak awal," kata Felix. Identitas pribadi tim Padma, terutama dalam soal agama, dibeberkan secara terbuka.

Sementara itu, Teungku Muhammad Daud Zamzami, 71 tahun, pemimpin Dayah Riyadussalihin, juga menguji keteguhan niat Padma. Ulama sepuh ini mengajukan persyaratan. "Bantuan harus diberikan tanpa syarat apa pun," katanya. Daud yang sudah empat dasawarsa memimpin Riyadussalihin ini melanjutkan, tak boleh ada sedikit pun indikasi kristenisasi berlangsung.

Felix sepakat. Di hadapan t-okoh pesantren, kelurahan, dan warga setempat, Felix memberi jaminan: "Padma murni bekerja untuk kemanusiaan." Pria asal Sangir Talaud, Sulawesi Utara, ini menambahkan bahwa organisasinya tidak mengusung agama tertentu. Relawan Padma juga berlatar agama yang campur sari. Ada yang beragama Katolik, Islam, dan Protestan.

Oke, dengan jaminan ini, Padma dan Riyadussalihin sepakat. Dua asra-ma untuk santri putra dan putri segera dibangun. Total jenderal, biaya pembangunan asrama diperkirakan Rp 1,5 miliar.

Demi semangat kebersamaan, pembangunan tidak dilakukan oleh kontraktor. "Kami kerjakan bersama-sa-ma. Warga, santri, dan relawan Padma," ucap Felix. Penduduk yang bekerja mendapat upah Rp 40 ribu per hari, sementara para tukang mendapat Rp 60 ribu per hari. Pada September nanti, pembangunan kedua asrama diharapkan bakal tuntas.

l l l

Pastor Norbert Betan, Direktur Padma Indonesia, berkisah tentang kiprah Padma. Lembaga ini mendapatkan dana dari Vivat International, lembaga swadaya masyarakat yang bermarkas di New York dan beranggotakan pastor, suster, dan bruder gereja Katolik di seluruh dunia. Namun, "Organisasi- kami tidak masuk dalam struktur hie-rarki gereja," kata pria asal Waiba-lun, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu.

Khusus untuk rekonstruksi Aceh-Nias pascatsunami, Vivat mengum-pulkan dana sampai Rp 20 miliar-. Berbagai program bantuan diseleng-garakan di Aceh Besar, Lhokseuma-we, Banda Aceh, Singkil, hingga Pulau Nias. Untuk memudahkan distribusi bantuan, Padma berkoordinasi dengan Keuskupan Agung Medan dan Keuskupan Sibolga.

Benar, sandungan selalu saja ada. Di Blang Krueng, Baitussalam, Aceh Besar, misalnya, Padma sempat dituduh melakukan kristenisasi. Kejadiannya-, pada Juli 2005, Padma memberikan pelatihan bagi para relawan yang akan menjalankan program penangan-an trauma untuk korban tsunami.

Saat pelatihan berlangsung, remaja masjid di Blang Krueng melihat ada gerakan tangan kanan seolah menggergaji tangan kiri. "Itu lambang kerja sama," Norbert menjelaskan. Tapi, oleh para remaja masjid, kedua ta-ngan yang saling melintang itu diar-tikan sebagai lambang salib. Kehadir-an Padma seketika diprotes dan ditolak oleh mereka. Akhirnya, program pe-nanganan trauma dihentikan. "Padma pun menyingkir dari Blang K-rueng," kata Pastor Benton.

Syukurlah, tak ada "insiden salib" yang mengganggu kerja di Riyadussalihin. Daud Zamzami, para santri, dan warga tidak khawatir bakal ada upaya kristenisasi di Babah Jurong. "Saya tahu mereka Katolik yang fanatik," kata Daud, "Tapi, yang penting, me-reka menghormati kami."

Kerukunan Padma-Riyadussalihin memang telah terjalin. Kecurigaan sudah lama menguap. Wujud kerukun-an ada beragam. Pada hari Jumat, misalnya, diberlakukan setengah hari kerja agar relawan dan pekerja muslim bisa menunaikan salat Ju-m-at. Sebaliknya, meski ber-ada di dalam komunitas Islam, para penganut Katolik dan Protestan tetap nyaman menjalankan ibadah di hari Ming-gu. "Saya seperti tinggal di rumah sendiri," kata Felix.

Toleransi yang kuat telah terbangun. Daud bahkan mengaku sangat akrab de-ngan Felix. "Sepintas, kami seakan saudara satu agama," kata Daud.

l l l

Kisah tentang kebersamaan umat beragama bukan hanya milik Padma-Riyadussalihin. Segera setelah tsunami menggebrak Aceh-Nias, ribuan relawan, ribuan lembaga, dari seluruh dunia mengulurkan tangan. Ber-bagai organisasi dari segala agama dan kepercayaan, misalnya Islamic Relief, Muslim Aid, Red Crescent, Buddha Tsu Chi, Catholic Relief Service, World Vision yang Kristen, sampai gereja Scientology yang dimotori Tom Cruise, semuanya turun tangan. Bendera agama juga menjadi tak relevan dalam konteks ini.

Kebersamaan serupa juga terjadi kala lindu meretakkan Yogyakarta dan Jawa Tengah, 27 Mei lalu. Tiga setengah jam setelah gempa, Pela-yanan Pengungsi Serikat Yesus (Jesuit Refugee Service) bergegas menyebarkan bantuan untuk tanggap darurat.

"Makanan dan obat-obatan diambil sementara dari stok yang disediakan untuk antisipasi letusan Gunung Merapi," kata Romo Adrianus Suyadi, Direktur JRS Indonesia. Selanjutnya, JRS terus melakukan penggalangan dana dan logistik untuk korban gempa. Sampai kini, sekitar Rp 3 miliar telah dibelanjakan untuk membeli bahan bantuan logistik, obat-obatan, terpal, dan barang keperluan pengungsi yang lain. Seluruh barang dan bantuan darurat itu, kata Romo Suyadi, diberikan tanpa pandang bulu. "Kami tak melihat latar belakang agama," katanya.

Mengusung nama Jesuit tentulah punya risiko. "Isu kristenisasi akan selalu mungkin menimpa kami," kata Romo Suyadi. Namun, dengan kerja keras dan dedikasi pada kemanusiaan, Suyadi tak khawatir lembaga-nya akan dituding yang bukan-bukan. Katanya, "Isu itu akan hilang dengan sendirinya."

Pengalaman pahit bukannya tak pernah dialami JRS. Seperti diungkapkan seorang staf JRS, sempat muncul sandungan isu kristenisasi pada program pembangunan rumah untuk korban tsunami di Pulau Breueh, Aceh. Menjelang akhir 2005, penduduk yang termakan isu bahkan sempat membakar puluhan rumah yang sedang dalam proses pembangunan. Setelah kejadian pembakaran, sesudah amarah mereda, penduduk mulai mencoba mencari kejelasan duduk perkara yang terjadi. Dan, memang, kecurigaan kristenisasi tidak terbukti. Akhirnya, beberapa utusan penduduk bertemu dengan JRS, meminta maaf, dan meminta JRS meneruskan prog-ramnya di Aceh.

Spirit kemanusiaan memang sebaiknya mengungguli batas agama. Apalagi, menurut Romo Suyadi, di tendatenda yang terserak, korban benca-na tidak peduli akan latar belakang agama sesama pengungsi atau relawan. "Semangat gotong-royong masyarakat lebih kuat ketimbang mempersoalkan latar belakang agama," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus