Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan korupsi menyisakan sejumlah teka-teki. Dua di antaranya terjawab kemarin, yaitu soal sosok pengisi kursi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan nasib pengembangan penyidikan perkara suap proyek Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang sebelumnya santer dikabarkan ikut terseret ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan dalam kasus Firli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tadi malam, setibanya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Presiden Joko Widodo meneken surat keputusan presiden ihwal pemberhentian sementara Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. "Sekaligus menetapkan Nawawi Pomolango sebagai ketua sementara KPK," kata Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, melalui pesan singkat kepada Tempo kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi tiba di Jakarta setelah melawat ke Provinsi Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Barat sejak Rabu lalu. Pada saat yang sama, di Ibu Kota, Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan Firli sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan, gratifikasi, dan penerimaan hadiah atau janji. Penyidikan yang digeber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya ini menarik perhatian publik dalam dua bulan terakhir karena diwarnai beragam intrik.
Adapun Nawawi Pomolango adalah komisioner sekaligus Wakil Ketua KPK. Mantan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta ini terpilih dalam seleksi pimpinan KPK di DPR pada 13 September 2019. Kala itu Nawawi mengantongi 50 suara, terbanyak keempat dari 10 kandidat, dalam voting di Komisi III DPR, yang membidangi hukum. Sedangkan Firli meraup suara terbanyak, yaitu 56 suara, sehingga kemudian disepakati menjadi Ketua KPK.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan pemberhentian sementara Firli Bahuri sudah tepat. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur pimpinan KPK yang menjadi tersangka kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango (tengah), di Gedung KPK, Jakarta, 18 Maret 2020. TEMPO/Imam Sukamto
Yang masih jadi pertanyaan bagi Zaenur adalah penetapan Nawawi sebagai ketua sementara KPK. Dia menilai penetapan ini tak ada dasar hukumnya.
Dia menjelaskan, UU KPK mengatur pergantian pimpinan KPK. Mekanismenya, seperti diatur dalam Pasal 33, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Masalahnya, pergantian yang dimaksudkan hanya jika ada pemimpin yang berhenti atau diberhentikan. Seorang pemimpin KPK diberhentikan jika menjadi terdakwa kejahatan. Firli baru diberhentikan sementara karena statusnya masih sebagai tersangka.
Menurut Zaenur, Presiden memang punya kewenangan untuk mengangkat anggota sementara pemimpin KPK—tanpa melalui mekanisme pencalonan ke DPR. Kewenangan itu diatur dalam Pasal 33A yang lahir melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK Nomor 1 Tahun 2015 yang belakangan diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015. Tapi mekanisme ini baru bisa digunakan jika kekosongan anggota menyebabkan jumlah pimpinan KPK kurang dari tiga orang.
Kalau kondisi sekarang, Zaenur mengatakan, jumlah pemimpin KPK masih empat orang. Firli Bahuri pun baru berstatus diberhentikan sementara. “Maka ketua sementara itu seharusnya bukan ditetapkan oleh presiden," kata Zaenur. "Melainkan dipilih sendiri dari dan oleh pimpinan KPK yang ada, empat orang itu, karena sifatnya kolektif kolegial.”
Zaenur khawatir pengangkatan ketua sementara oleh Presiden yang tak disertai dasar hukum ini akan menimbulkan konsekuensi hukum di kemudian hari. “Dampaknya, saya khawatir ketika Nawawi Pomolango ditetapkan sebagai Ketua KPK sementara, kemudian mengambil tindakan hukum, tindakan hukum itu bisa dipermasalahkan oleh pihak-pihak lain,” ujarnya.
Kemarin malam, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan lembaganya belum menerima petikan keputusan presiden ihwal pemberhentian sementara Firli dan pengangkatan Nawawi sebagai ketua sementara KPK. "Mudah-mudahan Senin nanti kami sudah dapatkan suratnya," kata Tanak.
Tanak hanya memastikan pemberhentian sementara yang diputuskan oleh Presiden akan diikuti pemutusan akses sementara Firli sebagai pemimpin atau Ketua KPK. Akses yang dimaksudkan adalah tugas dan kewajiban seperti mengambil keputusan, termasuk yang berkaitan dengan penanganan perkara di KPK. "Kalau ke kantor sah-sah saja," kata Tanak.
Pengusaha, Muhammad Suryo, seusai memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi, di Gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 11 Juli 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Muhammad Suryo Akhirnya Jadi Tersangka
Setelah Polda Metro Jaya menetapkan Firli sebagai tersangka, giliran KPK menjerat Muhammad Suryo. Pengusaha asal Yogyakarta yang namanya mencuat dalam banyak perkara ini ditetapkan sebagai tersangka dalam pengembangan penyidikan kasus suap proyek pembangunan jalur ganda kereta api Solo Balapan-Kadipiro-Kaliso KM 96+400 sampai KM 104+900 (JGSS 6).
Johanis Tanak membenarkan informasi tentang penetapan Suryo sebagai tersangka. Penetapan itu, kata dia, diputuskan dalam gelar perkara yang dilakukan penyidik beberapa waktu lalu. Dia tak bisa memastikan waktunya. “Saya lupa,” kata Tanak saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, kemarin.
Tanak juga belum bisa merinci konstruksi kasus yang menjerat Suryo. Sementara itu, mengenai pencegahan ke luar negeri, Tanak mengatakan, pihak KPK sedang memproses pengiriman permohonan ke pihak Imigrasi. "Masih dalam proses administrasi," ujarnya.
Sebelumnya, Muhammad Suryo diduga menerima sleeping fee sebesar Rp 9,5 miliar dari rekanan lelang proyek pembangunan jalur ganda kereta api tersebut. Suryo ditengarai menerima komisi itu atas permintaan pejabat pembuat komitmen pada Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan, kepada rekanan proyek, PT Istana Putra Agung.
Pemberian dana buat Suryo tersebut terungkap dalam surat dakwaan Dion Renato Sugiarto, Direktur PT Istana Putra Agung; maupun Putu Sumarjaya, Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah. Dakwaan ini dibacakan jaksa penuntut pada KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang pada 3 Juli dan 14 September lalu.
Awalnya, seperti tertuang dalam dakwaan tersebut, Direktur Prasarana Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Harno Trimadi meminta Putu Sumarjaya dan beberapa pegawai Kementerian Perhubungan memenangkan PT Calista Perkasa Mulia yang dibawa oleh Muhammad Suryo dan Wahyudi Kurniawan sebagai rekanan proyek JGSS 6. Namun, saat proses evaluasi, panitia lelang menemukan PT Calista Perkasa Mulia tidak memenuhi syarat. Walhasil, PT Istana Putra Agung milik Dion menjadi pemenang lelang dengan "syarat" memberikan sleeping fee kepada Suryo.
Saat menjadi saksi dalam sidang terdakwa Dion di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, 3 Agustus lalu, Suryo membantah ikut lelang proyek JGSS 6 lewat bendera PT Calista. "Tidak pernah ikut," katanya.
Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto di Jakarta, 15 November 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Majalah Tempo edisi 29 Oktober lalu dengan judul "Saling Sandera dengan Banyak Perkara" melaporkan penyelidikan baru KPK itu diduga menyandera Polda Metro Jaya yang tengah membidik Firli. Kasus ini ikut terseret dalam pusaran kasus Firli karena Suryo dikenal sebagai kolega Inspektur Jenderal Karyoto, Kepala Polda Metro Jaya.
Ditemui selepas salat Jumat, dua pekan lalu, Karyoto enggan menjawab pertanyaan Tempo ihwal dugaan saling sandera antara kasus Firli dan kasus Suryo. Kemarin, Tempo berusaha meminta konfirmasi ulang lewat pesan WhatsApp, tapi Karyoto belum meresponsnya.
Drama saling sandera dua kasus ini mencapai antiklimaks ketika Polda Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka pada Rabu, 22 November lalu. Ia ditetapkan setelah gelar perkara yang dilakukan di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, pukul 19.00 WIB.
Tiga sumber Tempo di kepolisian menyebutkan Polda awalnya menjadwalkan gelar perkara tersebut sejak penyidik rampung memeriksa Firli untuk yang kedua kalinya sebagai saksi, Kamis pekan lalu. Agenda gelar perkara itu sedari awal hanya satu, yaitu menetapkan FIrli sebagai tersangka.
Di sela pemeriksaan itu, kata sumber Tempo, Karyoto menemui Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Markas Besar Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Di sana Karyoto mendapat sinyal untuk tetap melanjutkan penyidikan perkara tersebut.
Jauh hari sebelum penetapan tersangka ini, seorang sumber Tempo di Mabes Polri menyebutkan Firli sempat dua kali menemui Listyo. Tapi Listyo bergeming terhadap upaya Firli yang disinyalir untuk melobi penanganan kasusnya. "Informasi yang kami peroleh, Pak Kapolri tak mau menghentikan perkara Firli tersebut," kata sumber Tempo ini.
Kuasa hukum Firli, Ian Iskandar, belum menjawab pertanyaan Tempo soal lobi tersebut. Ia hanya merespons permintaan konfirmasi mengenai penetapan status tersangka kliennya. "Kami tidak terima. Penetapan (status tersangka) itu sangat dipaksakan dan tidak obyektif," kata Ian.
EKA YUDHA SAPUTRA | BAGUS PRIBADI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo