Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Potensi pendapatan Garuda dari penerbangan reguler semakin kecil.
Garuda mencatatkan kerugian Rp 36,2 triliun pada triwulan pertama 2021.
Manajemen Garuda berfokus pada pengembalian pesawat milik lessor.
JAKARTA – Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk diperkirakan terus memburuk jika pemangkasan beban operasi tak berjalan cepat. Peneliti badan usaha milik negara (BUMN) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan rendahnya pasar penerbangan selama pembatasan mobilitas membuat potensi pendapatan reguler Garuda semakin kecil. “Sampai akhir 2021, laporan keuangan Garuda masih akan negatif. Apalagi load factor masih rendah,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kuartal pertama lalu, Garuda membukukan pendapatan US$ 353,07 juta atau sekitar Rp 5,1 triliun. Angka ini 54,03 persen di bawah capaian pada periode yang sama tahun lalu, yaitu US$ 768,12 juta. Pendapatan dari penerbangan berjadwal selama tiga bulan pertama tahun ini mencapai US$ 278,2 juta, turun dari Januari-Maret 2020 yang mencapai US$ 654,5 juta. Sebaliknya, pendapatan dari penerbangan tak berjadwal naik dari US$ 5,31 juta pada kuartal pertama 2020 menjadi US$ 22,78 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Utang Garuda juga naik dari US$ 12,7 miliar pada kuartal pertama 2020 menjadi US$ 12,9 miliar pada triwulan pertama 2021. Namun beban usaha turun dari US$ 945,7 juta menjadi US$ 702,17 juta. Garuda mencatatkan kerugian hingga US$ 2,5 miliar atau setara dengan Rp 36,2 triliun. Menurut Toto, manajemen baru Garuda Indonesia harus jeli memangkas biaya yang dominan, seperti kebutuhan sewa atau leasing pesawat. “Harus bisa dikurangi secara bertahap,” ucapnya.
Pesawat Airbus A330-300 (kiri) dan Boeing 777-300ER di hanggar Garuda Maintenance Facility AeroAsia, Cengkareng, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan
Anggota Komisi BUMN DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan Garuda membawa beban utang Rp 1 triliun per bulan. Dari total 142 unit pesawat yang dimiliki perseroan, hanya 41 unit yang mengudara selama masa pandemi. “Pendapatan dari 41 pesawat yang terbang hanya US$ 72 juta. Sisanya hanya membuat rugi sampai US$ 80 juta per bulan, tak akan untung,” tutur dia, kemarin.
Saat ini 136 pesawat Garuda berstatus sewa dan enam sisanya milik sendiri. Pesawat ini meliputi Boeing 777-300, Boeing 737-800, Boeing 737-8 Max, ATR 72-600, CRJ1000 NextGen, Airbus A330-200, Airbus A330-300, dan Airbus A330-900.
Andre mengatakan manajemen Garuda harus menggencarkan renegosiasi sewa pesawat agar lessor mau mempercepat pengembalian pesawat. “Buatlah proposal yang meyakinkan lessor,” kata dia. “Bisa juga mengupayakan skema pay by hour atau hanya dibayar ketika terbang.”
Kepada Tempo, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, membenarkan bahwa pengembalian pesawat sewa menjadi strategi yang paling diutamakan saat ini. Baru-baru ini Garuda mengembalikan sembilan pesawat Boeing 737-800 NG dari perusahaan lessor Aercap Ireland Limited. Armada itu diterbangkan menuju Alice Springs, Australia. “Sifatnya early, tapi masih bagian dari kesepakatan. Jadi, kami berhenti bayar sewa,” kata dia tanpa merinci nilai penghematan dari strategi tersebut.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS
Modal Cekak, Utang Membengkak
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo