Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Aktivis 1998 yang Tak Masuk Kekuasaan

Sejumlah aktivis tetap berada di luar kekuasaan setelah 1998. Ada yang di organisasi non-pemerintah, ada yang bermusik. 

21 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENDRIK Boli Tobi seharusnya menyelesaikan skripsi untuk lulus dari Jurusan Hubungan Inernasional di Universitas Indonesia pada awal 1998 itu. Ia malah menggalang gerakan mahasiswa bersama koleganya di Komite Aksi Bersama Universitas Indonesia. Ini dimulai dari kelompok studi, lalu menjadi mimbar bebas, dan akhirnya menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada Mei 1998. "UI bisa mengirimkan massa yang menumpang 30 bus ke DPR saat itu," katanya pada Jumat, 19 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu Hendrik aktif di Wahana Pembebasan, kelompok studi yang dibentuk pada 1995, bersama Robertus Robet, rekan sekampusnya yang kemudian menjadi pengajar di Universitas Negeri Jakarta. Adapun Pande Trimayuni, Ketua Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI pada 1998, aktif di kelompok studi Humanis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Presiden Soeharto lengser, banyak aktivis yang bergabung ke partai politik atau pemerintah. "Saya tetap dari luar, tetap mengkritik situasi," ucap Hendrik, yang kini menjadi peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi.

Sejumlah aktivis lain memilih jalan seperti Hendrik. Ada yang berkarir di lembaga swadaya masyarakat seperti Usman Hamid, alumni Universitas Trisakti Jakarta, dan Agung Nugroho, alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Ada yang aktif di organisasi kemasyarakatan seperti Pande Trimayuni, alumni UI; Savic Ali, yang sempat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta; dan Andi Irawan, alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Adapun M. Israfil, yang pernah kuliah di Akademi Teknologi Grafika Indonesia, Jakarta, aktif di kesenian.

Usman, kini Direktur Eksekutif Amnesty International, terlecut kesadaran politiknya sejak kuliah di Universitas Trisakti. Itu berkat persinggungannya dengan mantan aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Dadan Umar Daihani; mantan hakim agung yang juga pengajar, Benjamin Mangkoedilaga; dan Adi Andojo, rektor kampusnya.

Usman menjelaskan, krisis ekonomi pada 1997 yang membuat harga kebutuhan pokok melambung tak cukup berpengaruh bagi Universitas Trisakti yang dijuluki "kampus borjuis". Sebab, mahasiswanya banyak dari kalangan berada. Usman bersama sejumlah aktivis berusaha mengetuk kesadaran kawan-kawannya melalui diskusi, mimbar bebas, dan pentas musik.

Aktivis 1998 Pande K Trimayuni di Jakarta, 16 Mei 2023/Tempo/Subekti.

Upaya itu berbuah. Demonstrasi besar pertama pecah di dalam kampus itu pada 8 Mei 1998 yang diikuti ribuan mahasiswa. Saat demonstrasi besar berikutnya pada 12 Mei 1998, mahasiswa berusaha keluar dari kampus untuk menuju gedung DPR, tapi gagal karena dihadang aparat keamanan. Usman kemudian pulang ke Jelambar, Jakarta Barat. Tiba di rumah, ia mendapat kabar terjadi penembakan yang menewaskan tiga mahasiswa di almamaternya.

Savic Ali berkenalan dengan gerakan mahasiswa di Jakarta melalui Kelompok Studi 164, kelompok studi pemuda Nahdlatul Ulama (NU) yang sekretariatnya berada di Pal Meriam, Matraman, Jakarta. Sebelumnya ia sempat kuliah setahun di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 1993, tapi lebih banyak belajar di Arena, lembaga pers mahasiswa kampus itu. Savic tinggal di perpustakaan dan mengabaikan kuliahnya.

Diskusi di Kelompok Studi 164, kata Savic, banyak membahas dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan sehari-hari. Hampir semua harga barang naik dua kali lipat. "Sarapan nasi uduk Betawi, yang semula Rp 500, naik drastis menjadi Rp 900," ucapnya. Menurut Savic, itu sebabnya tuntutan utama Forum Kota (Forkot), organisasi mahasiswa lintas kampus di Jakarta saat itu, pada awalnya adalah "turunkan harga".

Pande Trimayuni menjadi aktivis setelah melahap literatur kiri di kelompok studi Humanis. Dia lalu keluar dari kampus dan mulai berinteraksi dengan kelompok buruh. Tema yang banyak menjadi pokok diskusi di kelompok studinya adalah dampak krisis ekonomi dalam keseharian masyarakat. Saat itu harga Fanta, minuman bersoda kegemaran Pande, melonjak dari Rp 200 menjadi Rp 700. "Saya sangat ingat karena suka minum itu," ujarnya, Selasa, 16 Mei lalu.

Adapun Agung Nugroho berkenalan dengan gerakan mahasiswa setelah bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), organisasi mahasiswa lintas kampus yang kemudian berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1995. Dia lalu didapuk sebagai Ketua Komisariat SMID di IISIP. Saat terjadi konflik Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pro-Megawati Soekarnoputri dengan PDI pro-Soerjadi, Agung, seperti banyak aktivis PRD lain, kerap datang untuk memberi dukungan kepada PDI Megawati di kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Keadaan berubah setelah massa pro-Soerjadi yang didukung aparat keamanan menyerbu kantor PDI dan bentrok dengan massa pro-Megawati pada 27 Juli 1996. Bentrokan yang berujung kerusuhan itu dikenal sebagai peristiwa Kudatuli, akronim Kerusuhan 27 Juli. Agung lolos dari kerusuhan itu karena lari ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang letaknya tak jauh di sana.

Pemerintahan Presiden Soeharto menuduh PRD sebagai dalang kerusuhan dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Agung dan anggota PRD lain pun "tiarap". Tak bisa beroperasi secara terbuka, ia kemudian mengorganisasi para pelajar yang lantas bergabung dengan mahasiswa saat menduduki gedung DPR pada Mei 1998.

Andi Irawan terlibat dalam gerakan mahasiswa sejak 1993. Ia masuk Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI), kelompok mahasiswa yang anggotanya digebuk aparat keamanan saat berunjuk rasa di gedung DPR pada 14 Desember 1993. Sebanyak 21 mahasiswa akhirnya ditangkap dalam aksi itu. Mereka ditahan, disidang, dan dihukum bervariasi antara 9 dan 18 bulan penjara.

Ada tiga tuntutan FAMI saat itu. Pertama, menghapus haatzaai artikelen, pasal penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sering digunakan Orde Baru untuk membungkam aktivis. Kedua, menghapus pendekatan keamanan. Ketiga, membubarkan lembaga-lembaga ekstra-yudisial seperti Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional. Dalam aksi itu, aktivis FAMI membentangkan spanduk yang berbunyi "Seret Presiden ke Sidang Istimewa MPR". "Gerakan perlawanan terhadap Soeharto dimulai jauh sebelum 1998," tutur Andi, yang kini mengajar di ITS.

Di antara para aktivis mahasiswa itu, ada pula M. Israfil. Ia bergabung dengan gerakan mahasiswa melalui komunitas punk Anti Fascist and Anti Racist Action. Pada 1997, ia terhubung dengan mahasiswa yang berafiliasi dengan Komite Aksi Mahasiswa Rakyat untuk Demokrasi (Kamrad). Ia memberi dukungan melalui musik dan lagu. "Saya terinspirasi setelah melihat tentara yang bersemangat berjalan jauh sambil menyanyikan lagu mars," katanya pada Jumat, 19 Mei lalu.

Savic Ali di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Februari 2023/Facebook.com/Savic Ali

Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Banyak aktivis yang tak menduga bahwa Soeharto akan mundur begitu cepat. "Ini menjadi sumber kebingungan tersendiri bagi aktivis gerakan 1998," ujar Hendrik. Situasi inilah yang berdampak pada nasib gerakan 1998. Para aktivis kemudian mulai terpecah saat B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai presiden dan gerakan mahasiswa makin redup setelah Pemilihan Umum 1999. 

Israfil—yang akrab disapa Mike—meneruskan hidup dengan berkesenian. Pada 1998, ia memakai nama band Anti-ABRI, akronim Anti-Anak Buah Rhoma Irama. "Ini terinspirasi oleh kemarahan terhadap salah satu film Rhoma Irama yang membangun citra buruk kepada anak punk," katanya. Dalam album musiknya terdapat beberapa lagu yang kemudian menjadi semacam lagu wajib demonstrasi mahasiswa, seperti "Buruh Tani" serta "Bersatu dan Bergerak".

Gelombang pertama masuknya aktivis mahasiswa ke pemerintahan, Usman mengungkapkan, terjadi setelah Pemilu 2004 yang memilih Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. "Saya juga ditawari masuk partai, tapi tidak bersedia karena tidak cocok ideologinya," tuturnya. Seandainya Partai Masyumi atau Partai Sosialis Indonesia lama dihidupkan, ia mempertimbangkan untuk bergabung.

Selepas Soeharto turun, Usman masih bergelut dengan kasus penembakan di Universitas Trisakti. Ia menjadi wakil mahasiswa dalam tim yang dibentuk pemerintah untuk mengusut kasus ini. Ia juga berhubungan erat dengan LBH Jakarta dan lembaga seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Usman kemudian menjadi Sekretaris Eksekutif Komite Aksi Solidaritas untuk Munir, anggota tim pencari fakta kasus Munir. Beberapa tahun kemudian dia menjadi koordinator Kontras sebelum akhirnya berlabuh di Amnesty International.

Usman masih terkoneksi kuat dengan almamaternya. "Kayak ada tanggung jawab yang belum tunai. Seperti utang sejarah," ucapnya. Edmund Seko, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Trisakti, mengapresiasi seniornya itu karena selalu menyempatkan diri untuk datang ke kampus. "Usman adalah patron dunia aktivis mahasiswa Trisakti," ujar Edmund, Sabtu, 20 Mei lalu.

Setelah Soeharto mundur, Savic menerangkan, ada perpecahan di Forkot. Ia bersama koleganya kemudian mendirikan  Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) pada Oktober 1998. Lembaga ini tak bertahan lama. Setelah Famred bubar, ia tetap aktif di dunia aktivisme dengan menjadi Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia periode 2001-2003. Kemudian dia bersama koleganya mendirikan NU Online, situs berita NU, dan mengelolanya hingga 2022.

Savic kini menjadi Ketua Pengurus Besar NU, Direktur Islami.co, dan Chief Executive Officer NU Cash, platform pembayaran NU. Dia mengaku pernah mendapat tawaran untuk masuk partai politik, tapi menepisnya. "Saya ingin menjadi manusia merdeka," tuturnya. 

Agung Nugroho kembali aktif di PRD. Ia ikut maju sebagai calon anggota DPR dari PRD pada Pemilu 1999, tapi PRD tak mendapat satu kursi pun di DPR. Ia bersama temannya, Alfan, lalu mendirikan sejumlah organisasi, tapi semuanya tak bertahan lama. Akhirnya, ia bersama kawan-kawannya mendirikan Relawan Kesehatan Indonesia pada 2011.

Andi Irawan/Dok. Pribadi

Meski bergerak di organisasi non-pemerintah, Agung juga sempat bersinggungan dengan politik praktis. Pada 2016, dia mendukung Anies Baswedan sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, tapi tak bersedia masuk tim Anies saat Anies menjabat gubernur. Ia merasa memberikan dukungan itu bukan untuk mendapat jabatan, "Tapi bagaimana mempermudah kemenangan teman-teman yang melakukan advokasi di rumah sakit," ujarnya.

Pande Trimayuni melanjutkan studinya ke London, Inggris, dan kemudian mengajar di UI. Pada 2014, dia menjadi tim relawan Joko Widodo dan ikut mengorganisasi deklarasi dukungan alumnus UI kepada Jokowi saat pemilihan presiden 2019. Namun ia tak masuk ke pemerintahan dan kini menjadi pengajar tidak tetap di UI, Ketua Forum Koordinasi Lintas Alumni UI sejak 2019, dan anggota Tim Kajian Ketatanegaraan di Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak 2019. "Saya tak melakukan aktivitas buat bargaining," kata perempuan yang lahir di Bali pada 1975 ini.

Savic mengakui ada banyak kritik terhadap aktivis yang masuk ke lingkaran kekuasaan. "Kekuasaan itu begitu. Sering memangsa idealisme," tuturnya, sembari menambahkan bahwa banyak aktivis 1998 yang sebenarnya berada di luar lingkaran kekuasaan. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bertahan di Luar Pagar Kekuasaan"

Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus