Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG itu sudah renta dengan catnya yang mengelupas. Jendela dan kaca-kacanya sudah luntur kilapnya. Penampilannya kian angker dengan tumbuhnya rumput ilalang setinggi lutut di halamannya. Akibatnya, pintu besi yang menjadi gerbang gedung itu pun ikut tak terawat. Pintu itu tidak bisa lagi dibuka. "Biasanya tamu atau pengurus masuk lewat pintu samping," ujar seorang penjaga gedung tersebut.
Pengurus? Ada kegiatan apa sebenarnya di dalam bangunan yang berdiri sejak zaman Belanda itu? Sejak tahun lalu, gedung tua yang pernah dipakai menjadi kantor pos itu memang digunakan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Reformasi sebagai markas untuk menjalankan partai ini di wilayah Jawa Tengah.
Meski terletak di kawasan elite di "Kota Lumpia", secara fisik, markas partai Ka'bah plus lima bintang ini jauh dari kelayakan. Lihat saja, ruang tunggunya melompong. Dan yang tak kalah mencengangkan, sebagai markas partai Islam, musalanya cuma beralas selembar karpet merah yang sudah banyak bolong dan "full debu".
Mari kita tengok bagian dalamnya. Waduh! Rupanya, penghuninya tak kalah kusam. Siang di akhir tahun lalu, seorang pegawai sekretariat kepergok tengah terlelap tidur di atas kursi sambil menyandarkan kakinya yang lain ke atas kursi lainnya. Sebuah komputer yang masih on ikut menemaninya bersama sejumlah buku serta dokumen lain yang berantakan di sana-sini.
Tapi tak salah memang bila pegawai itu malah asyik ngorok. Maklumlah, siang itu kantornya memang lagi senyap dari kegiatan. Semua urusan surat-menyurat dengan menggunakan mesin faks bisa dilakukan di rumah salah satu pengurus karena kantor itu belum memiliki mesin faksimile. Untuk urusan organisasi, di kantor itu hanya ada dua buah komputer.
Suasana di kantor Dewan Pimpinan Wilayah PPP Reformasi Jawa Tengah itu seperti sedang menegaskan bagaimana keadaan umum partai politik baru yang marak dalam setahun belakangan ini. Buat mereka, karena peraturan mewajibkan mereka memiliki kepengurusan di tiap-tiap daerah, tak ada akar rotan pun jadi. Daripada menunggu kantor lengkap dengan alat-alat pelengkap, ya apa boleh buat, dengan alat-alat seadanya tak apalah. "Rata-rata barang yang ada di kantor ini merupakan sumbangan para pengurus partai," ujar penjaga gedung itu kepada TEMPO.
Partai baru ini memang ngos-ngosan. Untuk keperluan operasional kantornya saja, setidaknya mereka membutuhkan duit sejuta hingga dua juta rupiah. Dari mana duit sebesar itu diperoleh? Berharap bantuan dari pusat? Mereka cukup tahu diri karena PPP Reformasi merupakan partai baru yang belum punya cukup dana.
Ali Aksan Wijaya, bendahara Dewan Pimpinan Wilayah PPP Reformasi Jawa Tengah, punya cerita. Untuk mencukupi kebutuhan itu, setiap pengurus rela bantingan duit iuran minimal Rp 50 ribu. Beruntung, hasil urunan itu bisa menghidupi mereka selama ini, termasuk untuk membiayai ongkos sewa kantor itu. "Gedung ini milik pemerintah, yang kini kami sewa Rp 27 juta setahun," tutur Ali Aksan.
Ali memang patut bersyukur. Bila dibandingkan dengan keadaan yang dialami Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK) pimpinan Eros Djarot, nasib mereka lebih beruntung. Keadaan kantor di "Partai Banteng Ketaton" ini lebih parah. Gedung yang berukuran 15 x 10 meter persegi itu harus digunakan berbareng antara Dewan Pimpinan Daerah PNBK Jawa Tengah dan Dewan Pimpinan Cabang PNBK Kota Semarang.
Tidak hanya itu, kondisi bangunan ini jauh lebih kumuh. Beberapa bagian eternitnya terlihat bolong besar dan karpet lantai tampak kotor karena dipenuhi debu yang menebal. Problemnya ternyata sama saja: duit tiris.
Menurut Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah PNBK Jawa Tengah, Jundi Wasono Hadi, pihaknya kesulitan dana untuk biaya operasional sehari-hari, yang mencapai sejuta rupiah per bulannya. Untuk menutupinya, Jundi dan pengurus lainnya mengaku urunan dengan iuran minimal Rp 50 ribu. Yang menguntungkan, gedung itu dimiliki simpatisan partai sehingga mereka tak perlu mengeluarkan banyak fulus. Toh, setiap bulan, mereka masih harus mengeluarkan biaya perawatan gedung Rp 2 juta.
Bagi partai politik baru, sumbangan berupa gedung atau peralatan bisa meringankan beban. Itulah yang terjadi di Dewan Pimpinan Provinsi Partai Islam Indonesia Jawa Timur. Berbekal gedung milik salah seorang pengurusnya, partai ini memiliki sebuah kantor yang lumayan resik di Jalan Pucang Sewu, Surabaya. Dua buah umbul-umbul mentereng berkibar-kibar di depan kantor yang dipoles cat hijau muda itu.
Bangunan ini sudah menyerupai kantor yang sesungguhnya. Memiliki luas 200 meter persegi, kantor partai pimpinan Hartono Mardjono ini memiliki dua buah ruangan yang lengkap dengan sarana kerja. Meja kerja, tempat duduk, dan seperangkat sofa tertata rapi. Kalaupun mereka harus mengeluarkan duit, paling juga dipergunakan untuk biaya operasional tiap bulannya, yang mencapai Rp 1 juta-Rp 2,5 juta. Uniknya, biarpun kantor mereka mentereng, menurut Singgih, S.H., sekretaris Dewan Pimpinan Provinsi Partai Islam Indonesia Jawa Timur, kantor itu malah belum punya staf atau karyawan yang khusus menangani kesekretariatan.
Namun, seperti partai yang lain, Singgih membantah mendapat bantuan dari pengurus pusat. Menurut dia, bantuan dari Jakarta cuma sebatas biaya untuk pengkaderan dan latihan yang dilakukan partai. "Pusat sendiri susah cari dana," ujar Singgih.
Keadaan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, yang dipimpin pakar pemerintahan Ryaas Rasyid, lebih beruntung. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, partai ini memilih berkantor di Jalan Dr. Sam Ratulangi, Makassar, dengan fasilitas nan lengkap. Layaknya kantor sebuah perusahaan, kantor itu memiliki kamar mandi dan dapur.
Untuk kegiatan partai, mereka memiliki mesin faksimile dan komputer. Sedangkan kalau mereka kepingin adem, biar nyaman bekerja, dua buah mesin penyejuk udara yang nemplok di ruang tamu siap menyegarkan udara kantor itu. Tidak hanya itu, mereka pun bisa membayar pegawai untuk urusan rumah tangganya dengan gaji sekitar Rp 800 ribu per bulan.
Eh, omong-omong, dari mana mereka mendapatkan dana luber itu? Menurut bendahara umum Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan Sulawesi Selatan, Jimmy Torar, pendanaan untuk kantornya itu sepenuhnya hasil urunan pengurus partai. Partai ini memang tak kekurangan. Sekadar gambaran, kata Jimmy, untuk menyelenggarakan pelantikan pengurus pusat beberapa waktu lalu saja, mereka menghabiskan uang hingga ratusan juta rupiah. Tak semua parpol baru kere, memang.
Toh, sehebat-hebatnya mereka, semua itu seolah tiada artinya bila dibandingkan dengan partai politik yang lebih dulu eksis dan lagi asyik bercumbu dengan kekuasaan. Kantor sekretariat PDI Perjuangan dan Partai Golkar di Semarang bisa menjadi contoh. Sejak menang dalam pemilu dan banyak kadernya yang duduk enak di jabatan, PDI Perjuangan langsung merehab kantornya dengan dana yang tak main-main, yakni Rp 10 miliar!
Gedung yang diresmikan Presiden Megawati tahun lalu itu, yang diberi nama Panti Marhaenis, memang mengagumkan. Fasilitasnya lengkap. Mereka malah memiliki auditorium di dua lantainya yang mampu menampung sekitar 3.000 orang. Keadaan yang hampir serupa terjadi di kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya Jawa Tengah, yang memiliki tiga gedung besar yang dipergunakan untuk sekretariat dan satu gedung lain bertingkat tiga untuk ruangan pertemuan. Semuanya dilengkapi mesin penyejuk udara.
Lantas apa sih sebenarnya yang membuat para pengurus partai rela membuang-buang duit? Bagi Singgih, S.H., semua itu dilakukannya semata demi perjuangan ideologi. "Ini untuk memperjuangkan agama. Perjuangan ini berdasarkan keikhlasan, seperti infak, sehingga ada nilai pahala dari Allah," katanya sambil tersenyum. Karena itu, dia mengaku tidak rugi menyisihkan sebagian rezekinya untuk partainya. "Kalau dihitung-hitung, sebenarnya belum tentu mendapat apa-apa. Karena kita tidak mengharapkan kedudukan di dewan, kita ikhlas," ujarnya.
Ali Aksan Wijaya menyampaikan alasan serupa. Baginya, pengorbanan itu dilakukannya karena tuntutan idealisme dan cita-cita perjuangan partai. "Jadi sama sekali bukan untuk gaya-gayaan atau membanggakan diri," kata Ali Aksan.
Irfan Budiman, Ecep S. Yasa (Semarang), Adi Mawardi (Surabaya), Muannas (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo