Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian narapidana memililh menjadi dai dan mengajar dari penjara ke penjara.
Ada dai mantan napi yang menggunakan pamflet untuk menggugah narapidana.
Pemerintah mengandalkan peran pemuka agama untuk membimbing narapidana narkotik.
DALAM sebuah ceramah, seorang narapidana Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Siak Sri Indrapura, Riau, bertanya kepada Zainul Haq. “Bagaimana cara ustad bertobat di dalam penjara?” kata Zainul menirukan pertanyaan itu kepada Tempo, Senin, 10 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Januari lalu itu, Zainul tengah memberikan tausiah secara daring kepada para narapidana. Cara ini ditempuh demi mencegah penyebaran Covid-19 di dalam penjara. Ia mengaku tak tersinggung lantaran sering menerima pertanyaan sejenis di penjara lain. Ia tak pernah menutupi masa lalunya. “Bagi saya, itu bukan luka lama. Itu sengsara membawa hidayah,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria 37 tahun itu menjadi dai sejak 2016. Tiga tahun sebelumnya, Zainul menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gobah, Pekanbaru, karena menganiaya seorang polisi. Kala itu, ia sedang dalam pengaruh sabu. Ia juga pernah mengedarkan narkotik.
Di dalam penjara, Zainul bertobat. Ia mulai rajin menjalankan salat. Bermodal ilmu yang dipelajari saat menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, ia menggelar majelis taklim dan ceramah bersama napi lain di selnya. Salah satu isi tausiahnya mengajarkan adab, misalnya berbagi makanan kiriman pembesuk penjara. “Akhirnya kamar saya berubah jadi kamar santri,” ucap Zainul, tertawa.
Zainul Haq. Dokumentasi Pribadi
Ia mulai dipanggil dengan sebutan ustad. Dari dalam penjara, ia menghafal 10 juz Al-Quran dan 200 hadis. Setelah bebas pada 2016, ia mendaftar menjadi penceramah di Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Siak. Sejak itu, ia rutin menggelar tausiah di berbagai penjara Riau dua kali dalam sepekan. Topik pembahasan yang kerap diangkat biasanya berkaitan dengan akidah, akhlak, fikih, tajwid, dan sejarah Islam.
Kepada para anggota jemaah, ia sering menyampaikan pengalamannya saat menjadi pecandu sabu. Barang haram itu telah merusak hidup dan hubungan dengan keluarganya. “Jadi saya enggak sekadar ngomong, saya sudah merasakan yang lebih dari mereka alami,” tuturnya.
Menjadi penceramah di dalam penjara bukan perkara mudah. Para narapidana yang menjadi anggota jemaahnya juga pelaku kriminalitas. Cara mengatasinya, Zainul menggunakan gaya ceplas-ceplos saat berdakwah. “Hei, penjahat-penjahat ketengan, tak mampu jadi penjahat beneran, maka jadilah orang baik,” katanya menirukan kalimatnya saat berceramah.
Ustad lain, Hamka Mahmud, menerapkan metode berbeda saat berdakwah di penjara. Pernah menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Maros, Sulawesi Selatan, selama enam bulan karena kasus pencemaran nama, Hamka paham betul kondisi psikologis napi. Para tahanan mudah tersinggung bila kasus yang membuat mereka masuk penjara dibahas. Selain itu, pengaruh tausiah secara lisan sering hanya berdampak sesaat.
Pria 37 tahun ini selalu menyiapkan 50 lembar pamflet sebelum mendatangi penjara. Selama ini, ia berkeliling ke tujuh penjara di Sulawesi Selatan. Anggota jemaahnya kebanyakan berstatus narapidana narkotik. Ia mengetik sendiri tulisan di pamflet itu. Pamflet dibagikan sebelum Hamka menaiki mimbar. “Metode ceramah saya dengan membagikan pamflet, bukan hanya lisan,” ujarnya.
Lewat pamflet, Hamka berupaya menyadarkan narapidana agar tak lagi mengonsumsi narkotik. Dia sering mengutip ayat Al-Quran yang berisi larangan kepada manusia merusak tubuh sendiri. Bagi dia, menggunakan narkotik adalah dosa besar.
Hamka tak akan menyitir isi pamflet sebagai bahan tausiah. Ia berfokus memberikan motivasi kepada narapidana. Misalnya, Hamka sering mengutip kisah inspiratif Nabi Yusuf dalam ceramahnya. Nabi Yusuf, dia menjelaskan, sangat tabah saat berada di penjara. Ketabahan itu kemudian diharapkan berbuah manis di masa depan. Hamka pun mencoba menghibur para tahanan. Misalnya, mereka boleh tak suka berada di penjara, tapi penjara bisa membawa kebaikan, yaitu mereka dapat rajin menunaikan salat dan mengaji.
Pamflet yang dibagikan akan dibawa para narapidana ke sel. Ia meminta napi melakukan itu dengan menuliskan anjuran tersebut di sudut pamflet. Hamka menuliskan permintaan agar para napi membaca isi pamflet saat berselimut sepi di dalam sel. Ia berharap suasana hening akan mempengaruhi jiwa mereka saat membaca isi pamflet.
Hamka pernah mendapat kesan manis dari pembagian pamflet itu. Suatu hari, ia menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal. Ternyata, penelepon adalah mantan narapidana yang pernah menjadi muridnya. Sang murid mengetahui nomor telepon Hamka dari pamflet. Ia memang selalu mencantumkan nomor teleponnya di selebaran itu. Murid itu rajin mengumpulkan pamflet karya Hamka dan tetap membawanya saat bebas.
Di ujung pembicaraan, murid tersebut meminta Hamka berceramah di rumahnya. Ia ingin membuktikan kepada keluarganya bahwa dirinya sudah berubah. “Saya makin yakin efek pamflet itu lebih besar ketimbang ceramah di atas mimbar,” ucapnya.
Ceramah pengajar Pesantren At Tawwabin, Ustad Catur Andriyana di Masjid At Taubah, Kompleks Lapas Narkotika Yogyakarta, 6 Mei 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Hamka mengaku merogoh koceknya sendiri untuk menggandakan pamflet. Dalam berceramah, ia kerap tak menerima bayaran. Sebagai “alumnus” penjara, ia merasa berdakwah di penjara adalah pengabdian. Untuk membiayai hidup, ia menulis buku.
Selain itu, ia kerap menerima tawaran berceramah di tempat lain. Meski jadwalnya makin padat, ia berjanji tak meninggalkan rutinitasnya berdakwah di penjara. “Sebab, seandainya tidak menjadi napi, mungkin saya tidak akan menjadi dai,” tuturnya.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Reynhard Saut Poltak Silitonga mengatakan pendekatan agama merupakan syarat mutlak dalam program rehabilitasi narapidana narkotik. Peran pemuka agama, kata dia, cukup efektif membantu para pecandu memulihkan diri. “Tentunya sangat efektif. Metode ini satu bagian dengan rangkaian kegiatan program rehabilitasi warga binaan pengguna narkotik.”
Reynhard mengungkapkan, sejumlah cara ditempuh untuk melibatkan pemuka agama dalam program tersebut. Beberapa penjara, misalnya, mendirikan pesantren dengan menggandeng pemerintah daerah, organisasi berbasis Islam, dan ulama. Ia mengklaim banyak narapidana berprestasi lewat cara ini. “Banyak dari mereka yang menjadi dai atau ustad,” ujarnya.
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, menggunakan jasa ustad yang merangkap sebagai sipir. “Kalau ustadnya dari luar, mereka bisa jadi takut. Dengan petugas sendiri, kan, enak,” tutur Catur Andriyana, petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman yang juga menjadi ustad di penjara, Kamis, 6 Mei lalu.
Bersama Sumarno, seorang rekannya, Catur bergantian memberikan ceramah di dalam penjara. Keduanya dibantu narapidana lain yang bertugas sebagai tutor. Mereka menerapkan sejumlah syarat untuk menjadi pendamping. Misalnya harus mahir membaca Al-Quran.
Saat ini jumlah tutor mencapai 20 orang. Mereka selalu menemani Catur dan Sumarno. Setiap tutor bisa mendampingi hingga 15 narapidana. Cara ini diharapkan membuat suasana tidak canggung karena tutor mereka adalah teman sesama narapidana.
Catur mengutamakan kenyamanan narapidana dalam pembelajaran agama. Dia menyatakan tak pernah mengenakan peci. Ia memilih tetap berseragam petugas lembaga pemasyarakatan saat membimbing napi dalam kegiatan keagamaan. “Kalau di sini ya menggunakan pakaian petugas, menyesuaikan dengan jemaahnya,” ucap pria yang juga sering memberikan ceramah di luar penjara ini.
Mulai menjadi pedakwah di penjara pada 2012, Catur mempunyai jadwal mendidik di Pesantren At-Tawwabin di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman pada Senin-Sabtu. Sebelum direkrut lembaga pemasyarakatan, pria ini menjabat pengurus Pondok Pesantren Almu’awwanah, Trimulyo, Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia menganggap perannya di penjara sebagai pekerjaan sampingan untuk melakukan amal baik.
Dalam tausiahnya, Catur berupaya membantu narapidana menemukan kembali tujuan hidup, yaitu ajaran agama. “Siapa yang tidak punya tujuan yang jelas, hidupnya tidak nyaman,” katanya. Membaca Al-Quran dan kitab kuning menjadi materi wajib dalam setiap pertemuan yang ia adakan. Dia mengatakan problem para penghuni penjara adalah emosi yang tidak stabil. Dalam pengajarannya, Catur selalu meminta para napi membaca satu ayat dalam satu tarikan napas. Teknik membaca Al-Quran seperti itu, dia menjelaskan, mengajarkan cara mengelola kemarahan kepada napi.
Tapi Catur juga kerap berupaya menahan amarahnya. Misalnya saat ia mengajari mantan pecandu pil koplo yang sarafnya sudah terganggu. “Nuwun sewu, bagi warga binaan yang kena pil koplo, saya baru merasa diuji. Kalau diajari lemot sekali,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo