Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak di Desa Marade Kalada, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, tidak punya waktu untuk beristirahat ataupun bermain ketika pulang sekolah. Alih-alih belajar, mereka justru membantu orang tuanya mencari kayu bakar, menimba air, hingga membawa ternak hewan dengan jarak berkilo-kilo meter. Kenyataan itu menggetarkan hati Empriani Maria Ina Magi.
Perempuan berusia 29 tahun ini prihatin terhadap kondisi anak-anak di desanya yang lebih sibuk bekerja dibanding bermain dan belajar. Begitu lulus kuliah, ia pun menginisiasi Sekolah Alam Dyatame di halaman rumahnya pada 2017. Dyatame diambil dari nama orang tua Empriani, yaitu Debora dan Yahya. Sedangkan "tame" merupakan akronim dari tanah merah karena rumahnya berdiri di atas tanah merah. “Berharap rumah kami bisa jadi rumah berkat semua orang, terutama anak-anak yang punya akses terbatas,” kata perempuan yang akrab disapa Empri ini kepada Tempo, Selasa, 6 September lalu.
Sebelum menjadi sekolah alam, Dyatame awalnya merupakan kelompok belajar, dengan jumlah murid empat orang. Pada tahun pertama, Empri mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak di desanya. Ia punya pengalaman pahit tidak lulus ujian nasional bahasa Inggris semasa sekolah. Padahal bahasa asing penting dikuasai untuk memajukan pariwisata di daerahnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah anak-anak yang bergabung dengan Dyatame semakin banyak. Materi yang diajarkan juga bervariasi, dari matematika, sains, ilmu kesehatan, hingga seni. Jumlah muridnya kini lebih dari 350 orang dari tingkat PAUD, SD, SMP, hingga SMA. Dyatame juga memiliki empat cabang di tiga kecamatan dan 12 desa di seluruh Sumba Barat Daya.
Penggagas Sekolah Alam Dyatame di Desa Mareda Kalada, Sumba Barat Daya, Empriani Maria Ina Magi. Dok pribadi
Meski tak memiliki kurikulum, Empri bisa mengelola sekolah alam ini dengan bantuan 20 relawan dari berbagai profesi. Kegiatan belajar di lembaga pendidikan nonformal ini dilakukan tiga kali dalam sepekan. Namun, setelah muncul pandemi, pertemuan dibatasi menjadi sepekan sekali. Tiap akhir bulan, relawan bersama anak-anak akan melakukan bakti lingkungan. “Saya ajak mereka melihat alam dan fenomena apa yang dirasakan. Anak-anak diajak berdiskusi dan menemukan solusi,” ujar dia.
Dengan akses pendidikan yang terbatas di kabupaten itu, Empri tak kaget bila masih ada anak-anak yang belum lancar baca-tulis ataupun buta aksara. Di antara murid sekolah alamnya juga ada yang kesulitan membaca, mengeja, dan menggabungkan kalimat. Antisipasinya, Empri meminta mereka melihat gambar di buku-buku, lalu merangkai kalimat dengan kata-kata sendiri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, persentase penduduk buta huruf di NTT masih cukup tinggi. Pada kelompok usia 15 tahun, misalnya, persentase penduduk buta huruf pada tahun lalu mencapai 6,15 persen. Pada kelompok usia 15-44 tahun, NTT menjadi daerah keempat dengan jumlah penduduk buta aksara terbanyak, yaitu 2,13 persen pada 2021. Sementara itu, pada kelompok usia 45 tahun ke atas, persentase penduduk buta huruf pada tahun lalu mencapai 13,79 persen.
Kehadiran Sekolah Alam Dyatame sebagai solusi gerakan literasi ini tak selamanya berjalan mulus. Empri mengungkapkan, banyak orang tua di lingkungannya yang menuding dirinya hanya memanfaatkan anak-anak untuk keuntungan semata. Ia juga mendapat stigma negatif karena selalu pulang malam. Padahal itu terjadi karena ia mengajar anak-anak sejak pukul lima sore. “Dipikirnya aneh-aneh. Tapi orang tua saya luar biasa. Mereka percaya saya dan perlahan stigma itu hilang.”
Untuk menyokong kegiatan operasional taman bacaan, Empri mengatakan dananya murni dari kantong para relawan. Bantuan dari masyarakat mulai berdatangan setelah temannya mengunggah informasi tentang Sekolah Alam Dyatame di media sosial. “Karena niatnya baik, ada saja berkat. Ada yang mengirim alat tulis dan buku,” ucap anak sulung dari tujuh bersaudara ini.
Menurut Empri, anak-anak di desanya mulai memiliki kemajuan di bidang akademik ataupun sikap setelah belajar di sana. Mereka juga terliterasi dengan baik serta memiliki niat tinggi untuk bersekolah. Bahkan, orang tua mereka mulai memandang bahwa anak-anaknya harus mengenyam pendidikan. Pasalnya, kata Empri, banyak orang tua di daerahnya yang menganggap anak-anak, terutama perempuan, tidak perlu berpendidikan tinggi.
Pegiat literasi lainnya adalah Syarifudin Yunus, yang mendirikan Taman Bacaan Masyarakat Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Memiliki misi memutus mata rantai anak putus sekolah, Syarifudin memanfaatkan sebuah rumah hibah dari seorang warga yang sudah tiada sebagai taman bacaan untuk anak-anak di Desa Sukaluyu. Sejak didirikan pada 5 November 2017, TBM Lentera Pustaka sudah memiliki 14 program. Kegiatannya tidak hanya menyediakan buku bacaan untuk anak-anak, tapi juga memberdayakan masyarakat.
Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Lentera Pustaka, Syarifudin Yunus, sedang mendampingi anak-anak di Desa Sukaluyu Kaki Gunung Salak, Bogor. Dok: pribadi
Awalnya, taman bacaan ini hanya memiliki 14 warga belajar usia sekolah. Kini, ada 130-an anak pembaca aktif yang berasal dari tiga desa dengan dibantu lima wali baca dan 18 relawan. Anak-anak datang setiap Rabu, Jumat, dan Minggu pagi. Syarif juga mendoktrin mereka untuk memiliki daya tolak terhadap kecenderungan putus sekolah akibat kemiskinan. “Saya bahkan mendoktrin bahwa itu tidak durhaka untuk bilang tidak mau jika tidak sekolah.”
Untuk anak-anak yang terhalang biaya sekolah, Syarif akan meminta orang tua mereka membuat surat pernyataan tidak mampu. Jadi, pendidikan mereka akan disponsori taman bacaan. Saat ini, ada empat anak yang dibiayai TBM Lentera Pustaka, yaitu dua orang yang berkuliah dan dua orang lagi duduk di bangku SMP.
Setahun sejak TBM Lentera Pustaka hadir, program kedua lahir secara tidak sengaja. Namanya Geber Bura atau Gerakan Berantas Buta Aksara. Program ini menyasar ibu-ibu yang tidak bisa membaca atau mengenali huruf sama sekali. “Pertama kali saya mengajarkan itu, saya baru berhadapan langsung, ada orang punya nama tapi enggak bisa tulis namanya,” ujar Syarif. Dari empat orang, kini jumlah ibu-ibu yang belajar membaca di taman bacaan berkembang menjadi sembilan orang.
Program lainnya adalah santunan untuk anak yatim dan jompo. Syarif menyebutkan ada 14 anak yatim dan 12 kelompok lansia yang dibina taman bacaannya. Mereka disantuni Rp 100 ribu per bulan. Program berikutnya adalah ramah difabel. TBM Lentera Pustaka memiliki dua anak difabel yang menjadi warga belajar. Sejak bergabung, kedua anak ini, menurut Syarif, jadi lebih percaya diri.
Syarif juga membentuk Koperasi Lentera Pustaka sebagai program taman bacaan. Koperasi yang berdiri pada tahun lalu ini memiliki misi membebaskan warga, khususnya kaum ibu, dari jeratan rentenir. Anggota koperasinya saat ini mencapai 33 ibu dengan aset mencapai Rp 12 juta. “Berjalan lancar. Tidak ada kredit macet,” katanya.
Ada pula program rajin menabung. Sekitar 130 pembaca aktif di taman bacaan memiliki celengan dari kaleng. Mereka menabung mulai awal Januari dan akan membongkar celengan pada November bertepatan dengan ulang tahun TBM. Anak dengan jumlah tabungan terbanyak akan diberi uang dengan besaran yang sama.
Karena kehadiran TBM Lentera Pustaka ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, warga di kampung lain meminta Syarif membangun taman bacaan serupa. Namun, karena lokasi yang jauh dan tidak ada orang yang bisa mengawasi, Syarif berinisiatif membuat pustaka keliling. Program barunya ini dinamai Motor Baca Keliling (Mobake). Setiap Ahad sore, Syarif datang ke dua kampung dengan sepeda motor yang sudah dilengkapi boks berisi 200 buku.
Syarif menuturkan, kehadiran taman bacaan ini berdampak positif. Anak-anak mulai gemar membaca dan terbebas dari belenggu putus sekolah. Ibu-ibu yang semula buta huruf, kata dia, kini bisa menemani putra-putrinya membaca. “Buat saya itu tidak ternilai. Seorang ibu jadi punya martabat di mata anaknya,” ucapnya.
Hanya, menurut Syarif, yang kini jadi persoalan adalah adanya tarik-menarik antara warga taman belajarnya dan anak-anak yang tidak tergabung. Jika pengaruh dari luar taman bacaan lebih kuat, bukan tidak mungkin ada anak-anak pembaca aktif yang terpengaruh dan berpotensi putus sekolah lagi. Syarif mengungkapkan kegiatan literasi mesti berlangsung sepanjang hayat karena dapat menjadi kunci persoalan bangsa.
Di samping baca-tulis, kegiatan literasi dasar yang perlu dimiliki adalah literasi digital. Salah satu pegiatnya adalah Elvi Rahmi. Dosen Politeknik Negeri Bengkalis ini mendirikan Demi Masa Institute, organisasi pelatihan cek fakta di Riau, pada Maret 2021. Salah satu sasarannya adalah mahasiswa. “Karena aku merasa mahasiswa ini agen perubahan dan dekat dengan teknologi. Mereka paling banyak menggunakan media sosial,” kata dia.
Founder Demi Masa Institute Elvi Rahmi. Dok pribadi
Elvi mengatakan para mahasiswa perlu dipersenjatai dengan kemampuan dan literasi media yang baik, setidaknya untuk diri mereka sendiri. Pasalnya, masyarakat saat ini sedang berada di era big data sehingga informasi yang dihadirkan lebih cepat, banyak, dan bervariasi. Namun tidak semua orang bisa menangkap informasi itu dengan tepat.
Menurut Elvi, setiap individu berkewajiban meningkatkan kemampuan mereka ketika mau bermain media sosial. Minimal tahu mengenai dasar-dasarnya. Misalnya, menyaring sebelum membagikan informasi, lalu melihat kredibilitas pihak yang membagikan informasi. “Tidak perlu mereka sampai komparasi video dan teks, cukup beretika bermedia sosial dengan baik. Target aku itu saja,” ujar dia. Selain menjaring mahasiswa, Elvi menyasar para jurnalis di Riau untuk pelatihan jurnalisme data.
Dalam mengadakan pelatihan, Elvi bekerja sama dengan sejumlah pihak, seperti organisasi masyarakat sipil Mafindo, Persatuan Wartawan Indonesia, serta kampus-kampus. Namun, tahun ini, pelatihan jurnalisme data belum akan diadakan lantaran dia berfokus pada lokakarya public speaking dalam waktu dekat.
***
Empri, Syarif, dan Elvi merupakan segelintir kelompok masyarakat pegiat literasi yang berjuang memberantas buta aksara. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan persentase masyarakat Indonesia yang bisa membaca terus meningkat. Dari hasil Survei Ekonomi Nasional atau Susenas 2021, tingkat buta aksara di Indonesia kini tinggal 1,56 persen atau sekitar 2,7 juta orang.
Meski begitu, Nadiem menilai hal tersebut bukan capaian tertinggi yang ingin diraihnya. Tapi hal itu bisa menjadi modal dasar bagi pemerintah untuk bergerak ke tahap selanjutnya, yakni peningkatan kompetensi literasi. “Kami di Kemendikbudristek saat ini terus mendorong berbagai upaya untuk mencapai tujuan itu,” kata Nadiem dalam peringatan Hari Aksara Internasional, Kamis lalu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. TEMPO/M Taufan Rengganis
Dalam mencapai tujuan tersebut, Nadiem mengatakan terobosan besar dalam program Merdeka Belajar adalah penerapan asesmen nasional (AN) sebagai pengganti ujian nasional (UN). Asesmen kompetensi minimum yang diukur dengan AN bertujuan mengukur kemampuan literasi dan numerasi peserta didik. Hasil AN tersebut tidak menentukan kelulusan peserta didik, melainkan sebagai bahan refleksi dan evaluasi pembelajaran untuk sekolah.
Hasil AN 2021, kata Nadiem, menunjukkan bahwa hanya sekitar 43 persen pelajar yang memenuhi standar minimum untuk literasi. “Temuan itu menunjukkan bahwa kita harus semakin mendorong inisiatif-inisiatif yang berfokus pada peningkatan kemampuan literasi.”
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo